Bebas dari hukuman dosa dan maut (Roma 8)


By: Yuke
Materi dari Romo Daniel




Semantic Content
Roma 8:1


Ide Pokok                   : Bebas dari hukuman dosa dan maut
Ide Pendukung          :
1.     Ada di dalam terang, menyukai terang, tidak ada di dalam kegelapan, membenci kejahatan.
2.     Bebas dari hukum taurat artinya bebas dari kegelapan
3.     Berdiri teguh, tidak mau lagi Dan inilah hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat. (Joh 3:19 ITB) dosa
4.     Kita juga sekarang berjuang  melawan kedangingn
5.     Hidup di dalam Kristus itu juga berarti tinggal di dalam Firman-Nya berarti hiup bahwa hidup Roh yang memberi kehidupan
6.     Gal 5:6 hidup di bawah hukum Roh yang dibimbing ole Roh Kudus bukan keinginan daging. Sama artinya hidup menurut perkataan atau firman Kristus.


          Dari ide-ide pendukung diatas dapat dijelaskan bahwa manusia tidak diciptakan untuk mati. Maut hanya diancamkan “pada hari” ( Kejadian 2:16-17) manusia melanggar perintah Allah. Dan ternyata manusia melanggar perintah itu ( Kejadian 3: 6), maka mautpun menjadi akibatnya ( Kejadian 3: 19), karena memang “upah dosa adalah maut” (Roma 6:23). Manusia kehilangan hidup kekal, dan terusir dari sorga ( Kejadian 3:22), jadi manusia berada dibawah kuasa maut. Dengan mengenakan Tubuh Kemanusiaan oleh InkarnasiNya itu, Firman Allah telah meminjam “..daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa” karena adanya dosa itu tadi (Roma 8:3), meskipun secara pribadi Firman Allah Yang Menjelma itu “tidak mengenal dosa” ( II Kor. 5:21). Setelah mengenakan “daging yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa itu” Firman Allah yang Menjelma : Yesus Kristus itu lalu “menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam daging” (Roma 8:3) yang telah dikenakan-Nya itu. Hal dilakukan-Nya atas dasar kasih-Nya yang begitu besar pada dunia ini (Yoh 3:16). Mengapa Ia begitu mengasihi dunia? Sebab dunia adalah tempat yang gelap dan memerlukan terang daripada orang-orang percaya. Jika melihat awal mula tujuan Allah, manusia dari semula telah didesign Allah untuk menjadi terang yang sumbernya dari Allah sendiri (1 Yohanes 1:5; Yohanes 1:9). Allah yang adalah terang memberikan terang-Nya dengan memberikan anak-Nya yang tunggal kepada dunia yang telah menjadi gelap supaya dunia yang gelap ini menjadi terang kembali (Yohanes 3:17-21; 8:12).
          Demikian seorang yang telah merubah dunia dari kegelapan menjadi terang adalah
seorang yang digantung terkutuk oleh Allah,  itulah ketetapan Hukum Taurat. Jadi secara hukum seolah-olah Yesus itu terkutuk, namun secara fakta dan realita Ia tak memiliki kutuk sedikitpun dan tidak berada dibawah kutuk itu. Karena “Firman yang menjelma” itu adalah hakikat dari Firman itu sendiri. Itulah sebabnya diatas Salib itu Kristus telah membatalkan kutuk yang ditetapkan Taurat, dengan demikian membatalkan semua kutuk yang pernah dikenakan kepada manusia ( Galatia 3:13). Dengan demikian manusia telah bebas dari hukum taurat yang artinya bebas dari kegelapan dan menjadi ciptaan baru di dalam Kristus Yesus (2 Kor 5:17).
          Meskipun telah mengenakan kemanusiaan baru, sifat daripada kemanusiaan lamanya masih tetap ada dan masih dapat berbuat dosa. Oleh karena itu ia harus terus menempel dengan Kristus dengan cara tetap tinggal dalam firman-Nya (Gal 5:6). Oleh sebab disamping manusia diluar Kristus itu berada di bawah tirani si Jahat yaitu Iblis, mereka juga dibawah tirani kekuatan negatif yang menyebabkan mereka tak dapat melakukan apa yang baik yang mereka kehendaki. Karena itu lebih mudah manusia berbuat buruk daripada berbuat baik, dan kekuatan negatif inilah tirani Dosa, yang membuat manusia diperbudak kepada hawa-nafsu, sebagaimana yang dikatakan:”sebab bukan apa yang kukehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat.  melainkan apa yang tidak aku kehendaki yaitu yang jahat, yang akau perbuat. jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam  aku…..dan membuat aku menjadi  tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku”  ( roma 7:19-21).
Dengan demikian syarat untuk tetap menempel dalam Kristus guna berjuang  melawan kedangingan kita adalah hidup di dalam Kristus yaitu dengan hidup Roh yang memberi kehidupan. Maksudnya adalah hidup dengan memiliki roh yang sudah dibangkitan. Artinya rohnya dihidupkan kembali untuk memiliki persekutuan dengan Kristus, sebab meskipun secara fisik ia masih hidup tetapi secara roh ia pernah mati oleh dosa, dengan demikian dapat mencapai pencarian dan pemikiran hal-hal di atas dimana Kristus ada. Yang dimaksud adalah mematikan dosa dan hidup bagi Allah sebab hal itu syarat untuk mencari hal-hal di atas dan beroleh persekutuan dengan Allah (dibangkitkan bersama dengan Kristus). Sebuah pengertian hidup bagi Allah adalah percaya bahwa Allah itu Allah yang hidup dan sanggup membangkitkan orang mati, sehingga kita dapat bersatu dengan Allah melalui Kristus. Dengan demikian di dunia ini kita perlu menjalani suntification, yaitu dengan mematikan dosa sebagai latihan untuk hidup di surga nanti dengan Allah. Pengudusan itu sendiri adalah proses dalam hidup kita yang terus menerus diperbaharui sehingga kita dapat hidup bagi Allah. Demikian maksud daripada tidak ada lagi penghukuman bagi mereka yang ada dalam Kristus Yesus adalah kita telah dibenarkan melalui sebuah Repetance (pertobatan) yang mendatangkan born again (lahir baru) sehingga kita diadopsi dan dibenarkan (justification). Serta menjalani pengudusan (sanctification) dalam perjalanan iman kita, sampai pada akhirnya kita mencapai puncak glorification dimana kita bersatu dengan Allah melalui Kristus atau Teosis. Adapun Bebas dari maut sebab manusia telah ditebus yang mencakup:
a.      Penebusan sebagai Pemulihan Kodrat Manusia

Dengan mengenakan Tubuh Kemanusiaan oleh InkarnasiNya itu, Firman Allah telah menyandang “..daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa” karena adanya dosa itu tadi (Roma 8:3), meskipun secara pribadi Firman Allah Yang Menjelma itu “tidak mengenal dosa” ( II Kor. 5:21).

Setelah mengenakan “daging yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa itu” Firman Allah yang Menjelma : Yesus Kristus itu lalu “menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam daging” (Roma 8:3) yang telah dikenakan-Nya itu. Caranya dengan masuk dalam derita, naik ke atas salib, mati, dan dikuburkan. Kematian Kristus adalah wujud taatNya secara mutlak kepada Allah : ”…Kristus Yesus…dalam rupa Allah ( karena Ia adalah Firman Allah yang adalah “Allah”, Yoahanes 1:1)….kesetaraan dengan  Allah itu sebagai milik….mengosongkan diri-Nya…menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan TAAT sampai mati,bahkan sampai MATI DI KAYU SALIB”  (Filipi 2: 5 -8). Inti kejatuhan Adam yang berakibat kehilangan hidup kekal itu adalah “tidak taat”.

Firman Allah yang sejak kekal berada satu di dalam Bapa ( Allah Yang Esa) yang Roh itu ( Yohanes 4:24), juga berwujud Roh dan tak memiliki tubuh jasmani. Tubuh Jasmani yang dimiliki sebagai manusia itu diambil dari Maryam. Dengan demikian kemanusiaan Firman Allah yang menjelma itu adalah kemanusiaan baru yang tak terjadi melalui pertemuan “benih lelaki” dan “benih wanita”. Karena itu adalah kemanusiaan baru, maka Firman Allah Yang Menjelma: Yesus Kristus ini adalah “Adam yang Baru “ atau lebih tepatnya “Adam Yang Akhir” ( I Kor. 15: 45).

Sebagai Adam yang Akhir Ia bertindak memulihkan apa yang telah dihilangkan oleh Adam pertama.  “Mati di Kayu Salib” adalah wujud “taat” yang mutlak kepada kehendak Allah. Kemanusiaan Adam yang dikenakan Firman Allah itu adalah “kemanusiaan yang serupa dengan daging berdosa’ yaitu kemanusiaan yang dalam status “TIDAK TAAT” tadi. Jika kemanusiaan yang TIDAK TAAT ini telah dikenakan untuk  melaksankan karya “TAAT sampai mati, bahkan sampai MATI DI KAYU SALIB”, berarti ketidak-taatan dari kemanusiaan Adamiah yang dikenakan  Firman Allah yang Menjelma itu dilebur dan dimusnahkan oleh ketaatan mutlak Firman Allah yang menjelma itu.

Maka Salib itu menjadi sarana peleburan dan pelepasan kemanusiaan Adam dari kuasa “ketidak-taatan” yaitu Dosa. Maka Salib itu telah menghukum dosa yang ada dalam daging, karena yang disalibkan adalah daging kemanusiaan yang dikenakan Firman Allah dalam PenjelmaanNya itu. Demikianlah melalui Salib itu kemanusiaan Adam dipulihkan oleh Adam yang Akhir: Yesus Kristus, Firman Allah Yang Menjelma ini.

b.      Penebusan sebagai Pembenaran dari Tuntutan Hukum Allah

Demikian juga akibat dari ketidak-taatan awal oleh Adam itu, semua manusia yang telah berada dibawah kuasa dosa  yaitu pada “keinginan daging”  itu berada dalam “perseteruan terhadap Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini memang tidak mungkin baginya” ( Roma 8:6).

Tuntutan Hukum Allah adalah manusia supaya taat secara mutlak terhadap perintah-perintahnya. Padahal manusia itu dalam keadaan “tidak mungkin” untuk taat itu, karena ada kekuatan ketida-taatan asli yang ada dalam dirinya itu. Sehingga di hadapan Hukum Allah, manusia berada dalam keberadaan terhukumkan, dan menjadi tidak benar secara hukum.

Kemanusiaan yang demikian ini telah dikenakan oleh Firman Allah itu. Lalu dibawa dalam karya “TAAT sampai mati, dan bahkan sampai mati DI KAYU SALIB”.  Dengan demikian kemanusiaan yang dalam keberadaan  “TIDAK TAKLUK KEPADA HUKUM ALLAH” ini, dijadikan takluk secara mutlak. Sehingga kemanusiaan yang berada diatas Kayu Salib itu telah menggenapai inti terdalam dari segenap Hukum Allah. Padahal karena “tidak takluk kepada hukum Allah” inilah manusia berada dalam perseteruan dengan Allah ( Kolose 1:21), maka dengan TAAT MUTLAK DIATAS Salib itu, perseteruan itu dihapuskan sehingga” ..kamu yang dahulu hidup jauh dari Allah dan yang memusuhiNya dalam hati dan pikiran…sekarang diperdamaikanNya, di dalam Tubuh Jasmani Kristus olehkematianNya…” ( Kolose  1: 21-22).

Dengan demikian kemanusiaan yang dikenakan oleh Firman Allah Yang menjelma itu tak berada dalam keadaan berseteru dengan Allah dan tidak di bawah tuduhan dan dakwaan Hukum Taurat lagi.  Dengan demikian kemanusiaan dari Firman Allah Yang Menjelma itu telah “damai” dengan Allah, dan telah dinyatakan “benar” di hadapan Hukum Allah. Sehingga barangsiapa sekarang yang manunggal dengan kemanusiaan Firman Allah Yang Menjelma itu oleh iman melalui Baptisan (Galatia 3:26-27)  juga akan di “damaikan” dengan Allah” dan “dibenarkan” oleh iman.
   
c. Penebusan sebagai Penggenapan Penghapusan Dosa oleh Korban-Korban dalam Taurat

Ketika Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, kemuliaannya hilang ( Roma 3:23), sehingga mereka melihat ketelanjangan diri mereka, dan mencari daun-daun untuk menutup ketelanjangan diri akibat dosa itu ( Kejadian 3: 7).

Namun Allah tak berkenan dengan cara usaha manusia sendiri untuk menutup dan menghilangkan akibat dosa itu. Allah memberikan cara-Nya sendiri untuik menutup atau menghapus dosa manusia itu dengan jalan :”..membuat pakaian dari KULIT BINATANG untuk manusia dan untuk isterinya itu, lalu mengenakannya kepada mereka” ( Kejadian 3:21).

Ini berarti ada binatang disembelih oleh Allah, dan itu berarti ada darah tercurah. Hasil dari darah tercurah itu yang “dikenakan “ kepada Adam dan Hawa yang telanjang akibat dosa itu. Dengan demikian akibat dosa itu tertutupi ( “kafarah”) oleh dampak tercurahnya darah. Dosa itu hilang akibat darah. Karena “….segala sesuatu  disucikan dengan darah, dan tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan” ( Ibrani 9:22).

Bagaimana “penumpahan darah” menyebabkan “pengampunan”  itu, demikian keterangannya.  Upah dosa adalah maut. Berarti dosa itu hanya layak mendapatkan kematian, karena dosa memisahkan manusia dari Allah sumber Kehidupan Sejati. Itulah sebabnya secara aturan hukum, manusia yang berdosa itu harus dihukum mati. Namun Allah sebagai Sang Pengasih tidak menghendaki kematian manusia (Yeheskiel 18:32). Ia menghendaki manusia itu hidup.

Padahal sebagai Yang Maha Adil semua dosa harus dihukum. Maka suatu jalan tengah dilakukan. Agar dosa tetap dihukum, dan kematian akibat dosa itu tetap ada, namun si manusia yang berdosa itu tetap hidup, maka korban dilakukan. Binatang korban itu mewakili manusia.

Dalam Taurat untuk mendapat pengampunan si orang yang berdosa “menumpangkan tangannya” atas binatang korban dan mengakui dosa-dosanya (Imamat  1:4,3:8, 16: 21), dan dengan demikian binatang korban itu “mengangkut segala kesalahan” ( Immat 16:22,) karena  dengan “ meletakkan kedua tangannya kedua tangannya keatas kepala kambing…dan mengakui diatas kepala kambing itu segala kesalahan….dan juga dosa….ia ..menanggungkan itu ke atas kepala kambing…” ( Imamat 16:21).

Dengan demikian dosa dan kesalahan manusia yang berdosa itu dipindahkan secara simbolis kepada korban, dan binatang korban itu sebagai personifikasi dari dosa manusia itu. Lalu binatang korban itu disembelih. Dengan demikian dosa telah dihukum mati, dalam daging jasmani korban itu. Sehingga si orang berdosa itu tak lagi menanggung dosa itu, karena secara simbolis ia telah dihukum dalam wujud binatang korban itu.

Demikianlah keadilan Allah telah berlaku, karena Ia telah menghukum mati dosa tersebut. Namun si orang berdosa itu tetap hidup. Ini menunjukkan kasih Allah yang tak menghendaki orang berdosa mati. Melalui korban itu si orang berdosa itu telah mati demi menggenapi keadilan Allah, tetapi tetap hidup karena kasih Allah.

Dengan tercurahnya darah korban itu berarti dosanya telah dihukum sehingga ia tak menanggung dosa itu lagi, ia sekarang dibebaskan dari dosa, ia telah diampuni. Sang Kristus sebagai Firman Allah yang menjelma telah “menyandang”: “.. daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa”(Roma 8:3). Dengan demikian dalam daging-Nya itu Ia telah menanggung kedosaan manusia, meskipun Ia sendiri tak mengenal dosa. Dan dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa ini  Ia disebut sebagai “Anak Domnba Allah yang mengangkut dosa-dosa dunia” ( Yohanes 1:29).

Padahal Anak Domba Korban itu mengangkut kesalahan dan dosa melalui tercurahnya darah dalam kematian, dan Kristus mengalami mati melalui Salib, maka Salib Kristus dan darah-Nya yang tercurah itu adalah penggenapan dari Korban Anak Domba itu. Demikianlah dosa itu telah “dihukum” yaitu telah disembelih dalam “daging” yaitu “tubuh jasmani” Kristus, karena tubuh jasmani Kristus ini adalah daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa.

Jika daging itu dihukum diatas salib, maka dosapun ikut dihukum pula. Jadi salib itu menjadi Mezbah Korban Semestawi, Tubuh Kristus yang Tersalib diatasnya itu adalah Domba Korban Semestawi, DeritaNya, SakitNya, Pakunya, Hausnya, Rasa Takut Yang DialamiNya diatas Salib, dan semua derita yang dialami itu adalah Api Pembakar Korban yang menghanguskan JiwaNya.  Sehingga barangsiapa yang manunggal dalam “kematian, penyaliban, dan penguburan” Kristus di dalam baptisan ( Roma 6: 3-6), iapun telah mati bagi dosa (Roma 6:6) artinya ia  “…dibaptis dalam dalam nama Yesus Kristus UNTUK PENGAMPUNAN DOSA” (Kisah 2:38).

Jika dalam Taurat penyatuan manusia berdosa dengan domba korban agar mendapatkan pengampunan itu dengan penumpangan tangan,  maka dalam Injil penyatuan manusia berdosa dengan Anak Domba Allah yang dikorbankan itu harus manunggal dengan penyaliban, kematian dan penguburanNya di dalam baptisan yang disertai iman sehingga baptisan itu menjadi sarana dampak kuasa korban itu berlaku yaitu “Pengampunan Dosa”.

Jika binatang korban dalam Taurat itu setelah selesai dikorban hangus jadi abu karena dibakar, namun Anak Domba Allah yang dikorbankan itu bukan saja “dagingNya tidak mengalami kebinasaan” ( Kisah 2:31) dalam kuburan, malahan daging itu dibangkitkan, dimuliakan serta dibawa naik ke sorga. Sehingga daging korban Tubuh Jasmani Kristus itu tetap kekal selamanya, dan korbanNya juga menjadi kekal di sorga sana. Artinya :”Ia telah masuk satu kali dan untuk selama-lamanya ke dalam tempat yang kudus (sorga) bukan dengan membawa darah domba jantan dan darah anak lembu, tetapi dengan membawa darahNya ( yaitu: Tubuh Jasmani yang telah dibangkitkan dan dimuliakan sebagai  hasil korbanNya diatas Salib). Dan dengan demikian Ia telah mendapatkan kelepasan (penebusan) yang kekal,” buat segenap manusia di sepanjang abad.

Jadi dalam Dialah ada penebusan, pelepasan, dan keselamatan kekal, dan sempurna. Kita tak membutuhkan yang lain di luar Dia, sebab tak ada manusia agung siapapun yang telah melakukan apa yang dilakukan Sang Kristus dalam mengalahkan dosa dan kematian ini. Ia dapat melakukan semuanya ini, karena Ia adalah Firman Allah, yang memiliki kekekalan pada diriNya sendiri.

d. Penebusan sebagai Pelepasan dari Kutuk

Sesudah Adam jatuh dalam dosa Allah bersabda :”..terkutuklah tanah karena engkau…” ( Kejadian  3: 17). Sejak saat itu kehidupan itu berada dalam situasi yang amat sulit.:” …dengan bersusah payah engkau akan mencari rejekimu dari tanah seumur hidupmu, semak duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu, dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu” (Kejadian 3:17-19). Yang dikutuk disini bukanlah masalah kerja itu sendiri, sebab sebelum jatuh ke dalam dosapun manusia sudah diperintah kerja:”TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk MENGUSAHAKAN dan MEMELIHARA taman itu” ( Kejadian 2:15). Namun, derita, kesukaran, kesulitan dan kesakitan yang berakhir dengan kematian yang mengikuti kerja itu.

Tanah yang diambil sebagai jasad jasmani manusia yang dihembusi dengan nafas hidup ( Kejadian 2:7), agar dapat mengalami hidup kekal, justru menarik hidup kekal, hilang tertelan kuasa debu, karena akhirnya manusia menukik menjadi debu. Inilah kutuk yang mengenaskan. Dan akhirnya bukan hanya manusia saja yang tertimpa kutuk ini bahkan “seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan” dan berada dalam “perbudakan kebinasaan” sehingga  “ segala makhluk sama-sama mengeluh” (Roma 8: 20-22).

Dan keberadaan manusia itu sekarang “mengeluh karena beratnya tekanan” ( II Kor. 5: 4). Keadaan kutuk yang menerpa manusia dan segenap makhluk yang ada disekitarnya, makin dibuat kongkrit lagi ketika diperhadapkan dengan Hukum Allah. Keberadaan “takluk kepada kesia-siaan” dan dibawah “takluk kepada kebinasaan” serta “mengeluh karena beratnya tekanan “ yang disebabkan keadaan “fana” ( II Kor. 5:4) dan berakhir “menjadi debu” (Kej.3:19) menyebabkan manusia tidak bisa takluk kepada kuasa hidup yang dinyatakan dalam Hukum Allah.

Dalam Ulangan 27:16-26, Nabi Musa menyatakan 12 kutuk atas orang yang : memandang rendah ibu dan bapanya, menggeser batas tanah sesamanya, membawa seorang buta ke tempat sesat, memperkosa hak orang asing, anak yatim dan janda,  tidur dengan isteri ayahnya, tidur dengan binatang apapun, tidur dengan saudaranya perempuan, tidur dengan mertuanya perempuan, membunuh sesamanya dengan tersembunyi, menerima suap untuk membunuh  seseorang yang tak bersalah, serta tak menepati perkataan hukum Taurat itu dengan perbuatan.

Permasalahannya terletak pada kutuk yang terakhir yaitu “tak menepati perkataan hukum Taurat itu dengan perbuatan.”  Hukum Taurat memiliki ratusan hukum di dalamnya. Adalah tidak mungkin unutuk “menepati” seluruh hukum yang ada. Pelanggaran pasti terjadi. Padahal yang “tak menepati” diancam dengan “kutuk”. Berarti karena kemungkinan melanggar itu jauh lebih besar daripada “menepati perkataan hukum Taurat itu dengan perbuatan”, maka manusia selalu berada dibawah bayang-bayang kutuk ini. Sebagaimana dikatakan :”Karena semua orang yang hidup dari pekerjaan hukum Taurat, berada dibawah kutuk. Sebab ada tertulis:” Terkutuklah orang yang tidak setia melakukan segala sesuatu  yang tertulis dalam kitab hukum Taurat”(Galatia 3:10).

Jadi dasar hukum Taurat adalah “setia melakukan segala sesuatu yang tertulis” atau “menepati perkataan hukum Taurat dengan perbuatan”. Dengan kata lain dasar hukum Taurat adalah :”..siapa yang melakukannya akan hidup karenannya” ( Galatia 3:12) Padahal tidak ada manusia satupun yang “setia melakukan SEGALA” atau yang “MENEPATI perkataan Hukum dengan perbuatan”, pelanggaran pasti ada dan terbukti ini yang sering dan selalu terjadi.

Berarti dengan melakukan pekerjaan Taurat atau melakukan Syariat ini orang tak mungkin benar di hadapan Allah. Apalagi ada ketetapan lain dalam Kitab Suci bahwa“… orang yang benar itu akan hidup oleh percaya” ( Habakuk 2:4).  Sebagaimana yang tertulis juga:”Dan bahwa tidak ada orang yang dibenarkan dihadapan Allah karena melakukan hukum Taurat/Syariat adalah jelas, karena’ Orang yang benar akan hidup oleh iman” ( Galatia 3:11).   Ini bukti bahwa kutuk awal itu telah begitu merembes kepada seluruh keberadaan manusia.

Yesus Kristus “tak mengenal dosa” ( II Kor. 5:21) sebagai “Firman Allah” yang Nuzul ke bumi, berarti tak memiliki kutuk dan tak juga dibawah kutuk. Kaerena sebagai yang tanpa dosa pastilah dan jelas  Ia telah  menepati perkataan hukum Taurat itu dengan perbuatan.

Oleh penguasa penjajah Romawi Ia dihukum mati diatas Salib atas dorongan para ulama Yahudi.  Padahal orang yang mati digantung dengan disalib atau digantung biasa, menurut ketetapan Taurat adalah demikian:” Apabila sesorang berbuat dosa yang sepadan dengan hukuman mati, lalu ia dihukum mati, kemudian kaugantung dia pada sebuah tiang, ….haruslah engkau menguburkan dia pada hari itu juga, sebab SEORANG YANG DIGANTUNG TERKUTUK OLEH ALLAH…” ( Ulangan 21:22-23). SEORANG YANG DIGANTUNG TERKUTUK OLEH ALLAH,  itulah ketetapan Hukum Taurat. Jadi secara hukum seolah-olah Yesus itu terkutuk, namun secara fakta dan realita Ia tak memiliki kutuk sedikitpun dan tidak berada dibawah kutuk itu.

Dengan demikian kutuk sebagai ketetapan “Firman Tertulis” yang dikenakan pada orang yang mati digantung di kayu telah dibatalkan kuasanya oleh “Ketiadaan Kutuk” dari :”Firman Menjelma” yang sekarang berada diatas Kayu Salib sebagai orang yang mati digantung itu. Karena “Firman Menjelma” itu adalah hakikat dari Firman itu sendiri, sedangkan “Firman Tertulis/Taurat” adalah merupakan catatannya saja. Sebagaimana yang disabdakan:” Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis:” Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib” ( Galatia 3:13)

Itulah sebabnya diatas Salib itu Kristus telah membatalkan kutuk yang ditetapkan Taurat, dengan demikian membatalkan semua kutuk yang pernah dikenakan kepada manusia. Akibatnya pada saat kita menjalankan perintah Allah bukan lagi takut kutuk itu yang menyebabkan kita taat, namun karena cinta kasih  dan bakti serta takut yang dilandasi oleh hormat kepadaNya sebagai ucapan syukur atas penebusanNya di dalam Kristus itu yang memotivasi.

e. Penebusan Sebagai Pelepasan dari Iblis, Dosa, dan Kematian

Sesudah meninggalnya Yusuf sebagai Wasit Agung di Mesir, dan menjelang  Nabi Musa lahir, bangsa Israel berada dalam keadaan diperbudak oleh Firaun. Hal itu dinyatakan oleh Kitab Suci demikian:”…pengawas-pengawas rodi ditempatkan atas mereka untuk menindas mereka dengan kerja paksa….dengan kejam orang Mesir memaksa orang Israel bekerja, dan memahitkan hidup mereka dengan pekerjaan yang berat….” ( Keluaran 1: 11-13). Kerja paksa dan penindasan dan kekejaman perbudakan yang mereka alami itu semunya dilakukan bagi Firaun:”….menindas mereka dengan kerja paksa: mereka harus mendirikan bagi Firaun kota-kota perbekalan….”(Keluaran 1:11). Jadi Firaunlah yang sebenarnya melakukan kezaliman, kesewenang-wenangan dan kekejaman dalam perbudakan itu.

Atas tirani Firaun dan kekejaman perbudakan itu, Allah mengutus Nabi Musa dan abangnya Imam (Kohen) Harun untuk menentang kesewenang-wenangan Firaun dan memperkenalkan Allah sebagai Penguasa satu-satunya. Serta mengingatkan Firaun agar melepaskan Israel dari cengkeramannya agar mereka boleh menyembah Allah Yang Esa. Ketika Firaun menolak sampai sembilan kali, Allah menjatuhkan tulah sampai sembilan kali pula. ( Keluaran  6-11) Dan yang terakhir Allah mengancam seluruh Mesir dengan tulah kematian, dengan akan dikirimkanNya Malaikat maut untuk membunuh semua anak sulung dari hewan dan manusia  di seluruh Mesir.

Namun kepada   Nabi Musa difirmankan agar menyembelih Anak Domba Paskah (Keluaran 1-28),  dan darahnya diusapkan pada ambang pintu sebelah atas, dan kiri-kanan. Barangsiapa yang pintu  rumahnya  dioles dengan darah itu ,maka Malaikat Maut akan melewati (“pesakh”, dari sini berasalnya kata “paskah”) mereka, dan mereka akan lepas dari maut.

Setelah Perayaan Paskah itu Israel betul terlepas dari Firaun, Perbudakan yang kejam dan Bahaya Maut. Dengan Firaun dan Bala tentaranya ditenggelamkan  ke dalam Laut Merah dalam usahanya mengejar Israel yang dipimpin Nabi Musa dan Kohen Harun itu. Dan Israel lahir sebagai bangsa baru setelah melewati Laut Merah yang oleh mu’jizat kuasa Allah telah dijadikan kering dan bisa dilalui itu ( Keluaran 13-15).

Perjanjian Baru mengajarkan:” …Sebab Anak Domba Paskah kita juga telah disembelih, yaitu Kristus…” ( I Korintus 5:7). Kristus disembelih yaitu dibunuh diatas Kayu Salib. Jika pembunuhan Kristus itu dinyatakan sebagai penyembelihanNya, dan Tubuh Kristus yang terbunuh itu sendiri dinyatakan sebagai “Anak Domba Paskah”, maka itu berarti ada paralel antara peristiwa Paskah di zaman Nabi Musa dengan Penyaliban Kristus Yesus itu. Dan demikian Kristus adalah penggenapan Paskah Nabi Musa, dan Paskah Nabi Musa adalah pra-bayangan dari karya Kristus sendiri,

Mesir adalah negara di luar Tanah Perjanjian (Palestina, Israel), berarti lambang wilayah diluar persekutuan dengan Allah, atau lambang dunia yang memberontak kepada Allah, dan tanpa Kristus. Di Mesir Umat Israel dibawah tirani Firaun, Perbudakan yang kejam, serta Bahaya Maut. Demikianlah di dalam dunia di luar Kristus, manusia berada dalam kuasa Iblis , sebagaimana yang dikatakan:”Kamu dahulu….mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati PENGUASA KERAJAAN ANGKASA, yaitu ROH YANG SEKARANG SEDANG BEKERJA diantara orang-orang durhaka”  ( Efesus 2:1-2), juga :”…seluruh dunia di bawah kuasa si jahat” ( I Yohanes 5:19), serta “…lepaskan kami dari Si Jahat” ( Matius 6:13).

Disamping manusia diluar Kristus itu berada di bawah tirani si Jahat yaitu Iblis, mereka juga dibawah tirani kekuatan negatif yang menyebabkan mereka tak dapat melakukan apa yang baik yang mereka kehendaki. Karena itu lebih mudah manusia berbuat buruk daripada berbuat baik, dan kekuatan negatif inilah tirani Dosa, yang membuat manusia diperbudak kepada hawa-nafsu, sebagaimana yang dikatakan:”Sebab bukan apa yang kukehendaki, YAITU YANG BAIK, yang aku perbuat.  Melainkan apa yang tidak aku kehendaki YAITU YANG JAHAT, yang akau perbuat. Jadi jika AKU BERBUAT APA YANG TIDAK AKU KEHENDAKI, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi DOSA YANG DIAM DI DALAM  AKU…..dan membuat aku MENJADI  TAWANAN HUKUM DOSA yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku”  ( Roma 7:19-21).

Demikianlah manusia menjadi tawanan dan diperbudak oleh dosa dan hukum dosa yang ada didalam dirinya. Kuasa Iblis yang mencengkeram manusia itu memang bekerjanya melalui hukum dosa dan kuasa dosa yang ada di dalam diri manusia itu. Dan hukum dosa serta kekuatan dosa itu mengarahkan manusia kepada kematian, karena “Upah Dosa adalah Maut” (Roma 6:23). Serta:”…sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang (yaitu:Adam akibat ketidak-taatannya), dan oleh dosa itu juga (masuknya) maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa ( yaitu: tidak taat seperti yang dilakukan Adam, dan oleh akibat kejatuhan Adam itu) ( Roma 5:12).

Dengan demikian sebagaimana Israel di Mesir dikuasai oleh Firaun, Perbudakan dan Bahaya Maut, demikianlah manusia di luar Kristus itu berada dalam kekuasaan Iblis, Tawanan Dosa, dan Kuasa Maut atau Kematian. Ini semua terjadi akibat kejatuhan Adam, karena tidak taat kepada Allah. Ketidak-taatan Adam ini ( Kejadian 3:6) datang karena bujukan Iblis yang menggunakan wujud ular ( Kejadian 3:1-5), sehingga mereka Jatuh ke dalam Maut ( Kejadian 3:19), karena memang tadinya sudah diingatkan Allah, bahwa akibat pelanggaran itu Adam dan Hawa akan memetik buah kematian ( Kejadian 2:16-17). Demikianlah Iblis, Dosa dan Maut itu telah menjadi kekuatan negatif yang berada dalam kodrat manusia setelah jatuh. Keadaan yang demikian inilah yang dalam theologia Kristen disebut sebagai “Dosa Asal”. Yaitu kekuatan yang menjadi asal munculnya dosa-dosa yang lain dalam hidup manusia, dan juga asal berasal dari kejatuhan awal manusia. Itu akhirnya menjadi benalu dan parasit dalam hakekat kemanusiaan.

Maut ini bukan hanya kematian jasmani saja, namun juga kematian rohani ( Efesus 2:1), yang berwujud terpisahnya manusia dari hidup ilahi yang terbukti dibuangnya dan diusirnya manusia dari Firdaus atau Taman Eden itu ( Kejadian 3:23)
.
Yesus Kristus adalah Anak Domba Paskah yang melepaskan manusia dari kuasa Iblis, Dosa dan maut, sebagaimana anak domba Paskah di zaman Nabi Musa melepaskan bangsa Israel dari tirani Firaun, Perbudakan yang kejam, dan Bahaya Maut. Ini dilakukan oleh Yesus Kristus dengan Bangkit dari antara orang mati, sesudah penyaliban, kematian dan penguburanNya selama tiga hari itu. Dengan bangkitNya berarrti maut tak berkuasa lagi atasNya ( Roma 6:9), dengan demikian maut telah dikalahkan. Padahal maut akibat dosa, seperti yang telah katakan diatas, berarti dosapun telah dikalahkan. Dosa masuk karena Iblis, maka sekaligus Iblis telah dikalahkan oleh kematian dan kebangkitan Yesus Kristus itu ( Ibrani 2:14). Demikianlah melalui korbanNya diatas Salib Yesus Kristus telah melepaskan manusia dari Iblis. Dosa dan Maut. Jadi Ia memang betul-betul Anak Domba Paskah yang kekal dan sejati. Sehingga pelepasanNya itu bersifat kekal (Ibrani 9:11), dan dengan penuh kuasa ilahi.

Itulah karya Allah yang Maha Dahsyat melalui Penyaliban. Kematian dan Kebangkitan  “FirmanNya yang Menjadi Manusia” bagi keselamatan dan pelepasan manusia dari kodratnya yang telah rusak, yang berada dalam keadaan salah dan tertuduh, serta dibawah kuasa kutuk, Iblis, dosa dan Maut itu. Dan karya pelepasan total akibat Penyaliban, Kematian dan Kebangkitan Kristus inilah yang disebut“Penebusan”. Dan ini akan menjadi “Keselamatan” bagi mereka yang mau menerimanya dengan iman, dan menerapkan karya Kristus yang sudah sempurna dan yang sekali untuk selamanya itu dalam kehidupannya.

Jadi keselamatan itu berasal dari “penebusan” Allah melalui karya Kristus, sebagai hadiah gratis, bukan sebagai pahala amal-saleh hasil usaha perbuatan manusia sendiri. Amal saleh dan kebaikan muncul akibat dari karya keselamatan itu, karena kuasa Roh Kudus yang bekerja dalam kehidupan orang yang sudah manunggal kepada Allah dalam penebusan Yesus Kristus itu.

Jadi perbuatan baik itu adalah buah iman. Orang yang sudah manunggal kepada Allah dalam penebusan Kristus berbuat baik bukan “supaya” mendapat keselamatan, namun “karena” telah menerima keselamatan itu akibat karya Kristus. Dan tujuan berbuat baik itu bukan untuk mencari pahala, namun untuk menanggapi karya Roh Kudus bagi suatu pengudusan yang sempurna, sehingga kita memetik buah dan hasil dari panunggalan kita dengan Kristus yaitu pemuliaan kekal, atau “theosis” (“ikut ambil bagian dalam kodrat ilahi – II Pet. 1:4-, dan“menjadi sama seperti Dia” – I Yoh. 3:2).

Kemuliaan hanya bagi Allah yang Maha Tinggi yang telah mengirimkan FirmanNya turun ke bumi menjadi Manusia, untuk melepaskan dan memberrikan RohNya sendiri yang Kudus untuk menguduskan kita sebagai akibat karya Penebusan ini. Amin.


Lambat Untuk Marah (Yakobus 1:19-21)


By: Christiefani Y Saumana

 
Yakobus 1:19-21
Syntactic Form = Surface Structure
19 ἀδελφοί μου ἀγαπητοί                        Ἴστε
    ἔστω πᾶς ἄνθρωπος
    δὲ
ταχὺς εἰς τὸ ἀκοῦσαι
βραδὺς εἰς τὸ λαλῆσαι
βραδὺς εἰς ὀργήν
                        γὰρ
   ὀργὴ ἀνδρὸς δικαιοσύνην θεοῦ οὐκ ἐργάζεται
20 διὸ
δέξασθε ἐν πραΰτητι
τὸν ἔμφυτον λόγον
τὸν δυνάμενον
σῶσαι τὰς ψυχὰς ὑμῶν
21         ἀποθέμενοι
πᾶσαν ῥυπαρίαν καὶ περισσείαν κακίας

Terjemahan Literal
19Ketahuilah ini, Saudaraku yang kekasih: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, lambat untuk berbicara, lambat untuk marah.
20Karena amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.
21Oleh karena itu, terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, dan buanglah semua hal kotor dan hal jahat.

Concept Outline

Amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah
1.    Hendaklah cepat mendengar, lambat berbicara, lambat marah
2.    Terima firman dengan lemah lembut
3.    Buang semua hal kotor dan hal jahat


Semantic Content
      Yakobus memerintahkan kepada kita supaya kita membuang amarah karena amarah tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah. Kebenaran ini harus direspons dengan menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja. Dalam perikop ini Yakobus menekankan tentang bagaimana bukan hanya sekedar menjadi pendengar, ataukah lebih dari itu, yaitu menjadi pelaku firman Tuhan. Yakobus mengingatkan bahwa ketika kita harusnya cepat untuk mendengar, menjadi lambat untuk berbicara, dan menjadi lambat untuk marah. Kenapa kita harus lambat untuk berbicara? Di dalam kitab Amsal 10:19 berkata, Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi. Artinya banyak bicara tanpa memikirkan apa yang dibicarakan terdapat pelanggaran atau kesalahan. Oleh karena itu, menahan bibir untuk tidak cepat mengeluarkan perkataan atau berbicara adalah bijaksana, demikian perkataan seorang berhikmat yaitu Salomo. Demikian juga di ayat lainnya yang mengatakan Siapa menjaga mulutnya, memelihara nyawanya, siapa yang lebar bibir, akan ditimpa kebinasaan (Amsal 13:3). Artinya menjadi lambat dalam hal perkataan atau berbicara itu lebih baik dan penting karena menjaga dirinya sendiri dari kegagalan atau hal yang merusak dirinya sendiri. Bagaimana dengan frasa cepat untuk mendengar? Tentunya dalam hal ini, Yakobus mengingatkan supaya kita cepat untuk mendengar Firman yaitu kebenaran mutlak di atas kebenaran yang lainnya. The devotional prayer of the modern man is, “Lord, speak to me! You have sixty seconds.” There is no place in the busy secular desolation to hear God say, “Be still, and know that I am God” (Psalm 46:10). Few moderns have the discipline or time to say:
Speak, Lord, in the stillness,
While I wait on Thee;
Hushed my heart to listen
In expectancy.
Menjadi cepat untuk mendengar disini berkaitan dengan keheningan atau kesunyian (stillness). Artinya cepat untuk mendengar suara-Nya dalam keheningan. Dalam buku Philokalia menuliskan tujuan dari keheningan yaitu, the purpose of stillness according to the desert fathers is to descend with the mind into the heart and stand in the presence of God. It is not just of silence, of not speaking, but of listening to God who dwells in the inner temple of the soul and standing in His presence. Dalam keheningan bukan hanya tidak berbicara melainkan mendengarkan Dia berbicara, atau mendengar suara-Nya karena sesungguhnya Dia berdiam di dalam kita. Fr. John Meyendorf has written,
Since the incarnation, our bodies have become “temples of the Holy Spirit who dwells in us (1 Cor 6:19); it is there, whitin our own bodies that we must seek the Spirit, whitin our own bodies sanctified by the saraments and grafted by the Eucharist into the Body of Christ. God is now to be within; He is no longer exterior to us. Therefore, we find the light of Mt. Tabor within ourselves.
Selanjutnya frasa “lambat untuk marah” artinya menjadi orang yang cepat marah adalah merupakan orang bodoh yang tidak bisa menyesuaikan emosi di dalam hatinya. Sebagaimana yang dikatakan dalam Pengkhotbah 7:9, Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh. Jadi cepat marah hanya menunjukkan dia sebagai orang bodoh. Sebaliknya lambat untuk marah adalah merupakan suatu sikap yang bijaksana karena memiliki hati yang bijaksana.
            Oleh karena kita tidak boleh cepat marah melainkan lambat berbicara dan cepat mendengar, merupakan sikap yang bijaksana. Yakobus bukan hanya mengajak kepada kita supaya kita cepat mendengar, tetapi juga menerima dengan lemah lembut atau dengan kerendahan hati setiap firman yang kita terima. Artinya adalah setiap firman kebenaran yaitu Injil yang menyelamatkan yang telah kita dengar adalah berasal dari Dia melalui para hamba-Nya, dan di dalam Dia, kita dimeteraikan dan menjadi percaya (Efesus 1:13). Di dalam surat Yakobus 3:13 mengatakan, siapakah di antara kamu yang bijak dan berbudi? Baiklah ia dengan cara hidup yang baik menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari kelemahlembutan. Artinya kita disebut bijak dan berbudi adalah jika kita menerima firman dengan hati terbuka dan dengan kerendahan hati atau kelemahlembutan. Firman yang diterima dengan lemah lembut atau hati yang terbuka akan tertanam di dalam hati. Oleh karena itu, pentingnya menjaga sikap hati tetap rendah di hadapan-Nya. Hati adalah sebuah tempat berdiam bagi Allah yang kudus. Oleh karena itu jangan meninggalkan Dia atau melepaskan Dia dari dalam hati kita. Fr. John Meyendorf menulis dalam buku Philokalia, a folk tale from India: A neighbor found Nasruddin on his knees searching for something. What are you searching for, Mullah? My key. I’ve lost it. Both men got on their knees to search for the lost key. After a while the neighbor said, where did you lose it? At home. Good Lord! Then why are you searching for it here? Because there is more light here. Dari cerita ini, memunculkan sebuah pertanyaan, apakah kita akan mencari Allah, jika ternyata kita sudah melepaskan Dia dalam hati kita? Jadi, kita perlu mengevaluasi hati kita setiap hari, atau secara progresif dihadapan-Nya. Hati kita adalah tempat berdiam bagi Pribadi yang kudus itu. In his Homilies St. Macarios develops the idea of the heart as the center of life when he writes: The heart governs and reigns over the whole bodily organism; and when grace possesses the ranges of the heart, it rules over all the members and the thoughts. For there, in the heart, is the mind, and all the thoughts of the soul and it’s expectation; and in this way grace penetrates also to all the members of the body… within the heart are unfathomable depths. There are reception rooms and bedchambers in it, doors and porches, and many offices and passages. In it is the workshop of righteousness and of wickedness. In it is deadth; in it is life… The heart is Christ palace; there Christ the King comes to take His rest, with the angels and the spirits of the saints, and He dwells there, walking within it and placing His Kingdom there. Untuk menerima firman-Nya dengan kerendahan hati diperlukan kondisi hati yang terus dievaluasi setiap hari.
            Kita tidak cukup hanya menerima firman-Nya dengan hati yang rendah, tetapi juga perlu membuang segala hal yang kotor dan segala hal yang jahat. Artinya disini adalah segala hal yang kotor dan jahat berkaitan dengan manusia lama dengan segala kebiasaannya yang buruk haruslah dibuang (Ef 4:22). Manusia lama adalah keadaan manusia secara batiniah dan lahiriah yang kotor dan jahat. Di dalamnya hanya terdapat hal-hal yang demikian. Oleh karena itu, Yakobus menuliskan ketika kita mau menerima firman dengan sikap hati yang rendah, dengan telinga yang cepat untuk mendengar, maka kita perlu dan harus membuang atau menanggalkan manusia lama kita. Dalam 1 Petrus 2:1 ditulis, Karena itu buanglah segala kejahatan, segala tipu muslihat dan segala macam kemunafikan, kedengkian dan fitnah. Dengan jelas semua hal yang berkaitan dengan kejahatan, tipu muslihat, kemunafikan, kedengkian, dan fitnah adalah bagian dari kebiasaan-kebiasaan buruk yang adalah bagian dari manusia lama kita. Jadi, membuang atau menanggalkan semua itu adalah merupakan tindakan nyata yang menandakan bahwa kita adalah orang-orang yang telah ditebus dan menjadi manusia baru di dalam Kristus. Jadi, pentingnya kita membuang segala hal kotor dan jahat supaya bisa menerima firman dengan hati yang terbuka, lemah lembut, supaya firman itu bisa tertanam dalam hati dan terus direnungkan dari hari ke hari.









Summary and aplication
            Dari hasil penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa karena amarah manusia tidak mengerjakan atau menghasilkan kebenaran di hadapan Allah, maka Yakobus memperingatkan kepada kita supaya kita cepat untuk mendengar, lambat untuk berbicara, dan lambat untuk marah. Dengan menerapkan tiga sikap tersebut, maka kita bisa menerima Firman-Nya dengan hati yang lemah lembut. Tidak cukup sampai disitu, karena untuk menerima firman-Nya perlu menanggalkan segala hal yang kotor dan jahat di dalam diri kita.
            Aplikasi praktis bagi gereja masa kini adalah bisa mengajarkan kepada jemaat tentang:
1.      Jangan cepat-cepat marah melainkan cepatlah untuk mendengar firman-Nya dan suara-Nya dalam keheningan atau kesunyian.
2.      Buanglah amarah karena amarah tidak mengerjakan kebenaran dihadapan Allah.
3.      Terimalah firman dengan hati yang rendah/lemah lembut sehingga firman itu bisa tertanam di dalam hati
4.      Membuang segala hal yang kotor dan jahat.