LATAR BELAKANG KONSEP
KERAJAAN ALLAH DAN PEMURIDAN
Bab
ini bertujuan untuk memaparkan pertama,
konsep Kerajaan Allah dalam PL dan periode antarperjanjian serta kedua, konsep pemuridan dalam PL. Pembahasan dalam bab ini dapat dikatakan merupakan
dasar untuk memahami konsep Kerajaan Allah dan pemuridan yang terdapat dalam
Injil Matius, yang dibahas dalam bab berikut.
KONSEP KERAJAAN
ALLAH DALAM PL DAN PERIODE ANTARPERJANJIAN
Istilah
Kerajaan Allah merupakan istilah yang jarang bahkan tidak ada di dalam
literatur-literatur sebelum Injil, termasuk juga di dalam PL. Namun, ide mengenai Kerajaan Allah dapat
ditemukan hampir di semua bagian PL.[20] Para ahli yang mendukung hal ini
mengungkapkan, “. . . it was not the
verbal formulation that matters, but the idea denoted by it.”[21] Michael Lattke menegaskan bahwa pemahaman Kerajaan
Allah dalam PL tidak dapat dibatasi hanya pada penggunaan istilah yang
eksplisit saja. Ia menyatakan,
“. . . in investigating. . ., ‘the kingdom of
God,’ one cannot restrict oneself to the occurrences of the word malkūt. One must also keep an eye on these texts
which speak of God as ‘King’ (melek), and as being king or becoming king (mālak).”[22]
Istilah yang lebih
banyak digunakan dalam PL adalah Kingdom
of YHWH, misalnya saja dalam 1Taw. 28:5; 2Taw. 13:8; di samping itu masih
ada bagian-bagian lain yang secara tidak langsung menunjuk kepada pemahaman konsep
Kingdom of YHWH.[23] Selain itu dapat pula ditemukan
pernyataan-pernyataan yang jelas-jelas menunjuk kepada YHWH sebagai raja (Ul.
9:26; 1Sam. 12:12; Mzm. 24:10; 29:10; Yes. 6:5; 33:22; Zef. 3:15; Za. 14:16,
17) yang duduk di atas takhta (Mzm. 9:4; 45:6; 47:8; Yes. 6:1; 66:1; Yeh. 1:26)
dan pemerintahan-Nya kekal (Mzm. 10:16; 146:10; Yes. 24:23). Patrick menyimpulkan hal ini dengan
menyatakan, “The image of YHWH as a
sovereign over his people and all peoples came so naturally to the biblical
authors that one can justifiably say that it was a common possession.”[24]
Konsep
Kingdom of YHWH bagi orang Yahudi
bukanlah konsep Kerajaan dalam makna kekuasaan atau teritorial dengan seorang
raja yang memerintah di atasnya. Kaufmann
Kohler mendefinisikan Kerajaan Allah sebagai reign or sovereignty of God as contrasted with the kingdom of the
worldly powers. The hope that God will
be King over all the earth, when all idolatry will be banished, is expressed in
prophecy and song.[25] Dodd juga mengemukakan hal yang sama dengan
menyatakan bahwa pernyataan Kingdom of
God—yang dalam bahasa Ibraninya adalah Malkuta
de-Adonai—mengandung arti Allah memerintah sebagai Raja atas umat-Nya dan
juga atas seluruh ciptaan-Nya.[26] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
pengertian Kerajaan Allah sama sekali tidak menunjuk kepada suatu lokasi tertentu
apalagi kepada sebuah dunia lain.[27] Sebaliknya Kerajaan Allah berarti
pemerintahan Allah atas segala sesuatu.[28] Faktor terpenting dalam pemerintahan Allah
tersebut adalah adanya relasi antara Allah sebagai Raja dengan umat. Relasi ini dibangun atas dasar perjanjian
yang YHWH tetapkan dengan Israel sebagai umat, di mana perjanjian tersebut
meneguhkan kekuasaan YHWH (suzerainty of
YHWH) terhadap umat-Nya.
Konsep
YHWH sebagai raja sebenarnya sudah dicatat di dalam Taurat; namun banyak ahli
mengikuti arahan dari Sigmund Mowinckel yang menyebut Mazmur 47, 93, 96, 97,
98, dan 99 sebagai “royal enthronement
psalms.”[29] Hal ini, tidak tepat sebab konsep Kerajaan
Allah atau pemerintahan YHWH sebagai Raja sama sekali tidak terbatas pada kitab
Mazmur. Breisch bahkan berpendapat bahwa
sejak penciptaan manusia sebenarnya Kerajaan Allah itu sudah hadir.[30] Ia mengatakan,
“The picture of man, the highest creature,
standing between God and the rest of creation, presents the first theocracy. .
. . He has made man in the image of God,
placed him in the world, and has given him the task of ruling as God’s
vice-ruler. In this we have all the
elements of a divine kingdom. Man rules
the world . . . he rules in behalf of God, and willingly acknowledges God as
his own ruler.”[31]
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa tema Kerajaan Allah dalam PL sudah dimulai sejak dari
pencatatan kitab pertama, bahkan dapat dikatakan bahwa memang seluruh narasi PL
berbicara mengenai Kerajaan Allah.
Kerajaan
yang pertama di taman Eden (Edenic
Kingdom) jatuh karena manusia—wakil Allah di bumi ini—memberontak terhadap pemerintahan
Allah (God’s rule).[32] Pasca kejatuhan Edenic Kingdom, Allah menjanjikan penebusan bagi manusia melalui
keturunan perempuan, dan janji tersebut mulai digenapi ketika Allah memilih
Abraham dari antara umat manusia di bumi ini (Kej. 12:1-3). Keturunan Abraham inilah yang selanjutnya
disebut sebagai bangsa pilihan Allah di bumi ini. Tujuan Allah dalam memilih Abraham adalah
agar melalui Abraham semua kaum di muka bumi mendapat berkat (Kej.
12:2-3). Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa keturunan Abraham pun mengemban tujuan Allah ini di dalam kehidupan
mereka di tengah bangsa-bangsa lain. N.
T. Wright menggambarkan konsep ini di dalam diagram berikut:[33]

Perjalanan
sejarah bangsa pilihan Allah ini membawa mereka menjadi budak di tanah Mesir,
dan melalui Musa, Allah membawa Israel—bangsa pilihan-Nya—keluar dari
perbudakan di Mesir. Pengakuan pertama
Israel terhadap pemerintahan Allah untuk selama-lamanya diungkapkan melalui
pujian mereka setelah berhasil lepas dari kejaran bala tentara Mesir melalui
peristiwa yang spektakuler di Laut Teberau (Kel. 15:18). Pengakuan ini kemudian diteguhkan dengan perjanjian
di gunung Sinai, di mana Israel kemudian dinyatakan menjadi kerajaan imam (Kel.
19:4-6),[34] dengan
syarat mereka sungguh-sungguh mendengarkan firman YHWH dan berpegang pada
perjanjian YHWH. Dasar tuntutan YHWH
terhadap ketaatan Israel terletak pada apa yang telah YHWH lakukan untuk
Israel.
Pemerintahan
YHWH atas Israel semakin jelas terlihat ketika YHWH menetapkan hukum-hukum yang
harus dijalankan oleh Israel di dalam kehidupan mereka hari lepas hari. Maksud YHWH memberikan hukum-hukum tersebut
adalah agar Israel berbeda dari bangsa-bangsa lain.[35] Dengan demikian, jelaslah bahwa pribadi yang
berkuasa penuh atas Israel adalah YHWH—Dialah Raja atas Israel.
Perkembangan
sejarah Israel selanjutnya menunjukkan hal yang tidak diinginkan, yaitu Israel
meminta seorang raja dari kalangan mereka (1Sam. 8:4-5). Permintaan umat ini sebenarnya dipicu oleh kegagalan
anak-anak Samuel[36] dalam
menjalankan fungsi mereka sebagai hakim di Israel (1Sam. 8:3).[37] Namun demikian, permintaan ini tetap
dipandang sebagai penolakan terhadap YHWH (1Sam. 8:7), karena motivasi yang
mendasari permintaan tersebut adalah supaya mereka mendapat seorang raja
seperti pada bangsa-bangsa lain.[38] Permintaan ini menunjukkan bahwa Israel telah
melupakan janji yang mereka buat di Gunung Sinai untuk taat sepenuhnya kepada
YHWH, bahkan dapat dikatakan Israel menyatakan pemberontakan mereka—secara
tidak langsung—terhadap sistem teokrasi yang telah YHWH rancang bagi mereka.[39] Perjalanan sejarah Israel selanjutnya
menunjukkan bahwa YHWH mengampuni dan menerima permintaan umat untuk hadirnya
seorang raja-manusia dari antara mereka dan untuk mereka (1Sam. 12). Aturan main yang berlaku untuk seorang
raja-manusia adalah bahwa otoritasnya dibatasi hanya pada pelaksanaan hukum dan
administrasi kerajaan;[40]
ia tetap harus tunduk kepada otoritas YHWH yang telah memilihnya.
Raja-manusia
pertama yang terpilih dari antara Israel adalah Saul dari suku Benyamin (1Sam.
9:15-17; 10:1). Pemerintahan Saul tidak
bertahan lama, karena Saul terbukti tidak taat dalam melakukan perintah YHWH
(1Sam. 13:13-14; 15:17-26). Pasca
kejatuhan Saul, YHWH memilih Daud untuk menjadi raja atas Israel. Pengangkatan Daud sebagai raja, dapat
dikatakan merupakan pemulihan sistem teokrasi yang YHWH rancang bagi Israel
sejak semula.[41] Hal ini didukung dengan pernyataan janji YHWH
untuk mengokohkan kerajaan Daud selama-lamanya dengan syarat ketaatan mutlak
kepada YHWH (2Sam. 7:1-17). Janji
peneguhan kerajaan ini diulangi kembali kepada Salomo, juga dengan syarat yang
tetap sama, yaitu ketaatan mutlak dari Salomo dan seluruh keturunannya (1Raj.
9:5-6). Jika syarat ini tidak dipenuhi;
maka yang terjadi adalah pertama,
Israel akan dibuang, yang juga berarti kehancuran kerajaan Israel (9:7); dan kedua, kehancuran Bait Allah yang baru
saja ditahbiskan (9:8). Rangkaian kisah
ini menunjukkan bahwa raja Israel yang sesungguhnya adalah YHWH; Dialah yang
mengangkat dan menurunkan raja-raja Israel; Dialah yang mengendalikan jalannya
sejarah Israel.
Perjalanan
sejarah Israel selanjutnya menunjukkan bahwa Israel berpaling dari YHWH dan
akibat yang harus mereka tanggung adalah seperti yang telah YHWH nyatakan, yaitu
pembuangan umat dan penghancuran Bait Allah (2Raj. 25). Tahun 721 SM, Israel Utara ditaklukkan oleh
Asyur, dan penduduknya diserakkan ke berbagai wilayah kekuasaan Asyur (2Raj.
17). Tahun 597 SM, Babel di bawah
pimpinan Nebukadnezar juga berhasil menaklukkan Yehuda. Dampak dari penaklukkan ini adalah pembuangan
penduduk Yehuda ke Babel, dan puncaknya adalah penghancuran Bait Allah pada
tahun 587 SM. Bagi orang-orang Israel,
pembuangan dan penghancuran Bait Allah adalah sebuah hukuman karena mereka
tidak taat kepada perjanjian, oleh karena itulah, mereka menganggap bahwa
satu-satunya cara pemulihan adalah dengan kembali setia kepada Taurat.[42]
Di
dalam anugerah-Nya, YHWH—melalui Koresy dan Ezra—membawa Israel keluar dari
pembuangan, kembali ke tanah milik mereka serta memulai kembali pembangunan
Bait Allah.[43] Sekalipun Israel[44]
telah kembali dari pembuangan dan Bait Allah telah dibangun kembali, mereka
tetap merasa masih berada di dalam pembuangan, sebab mereka masih berada di
bawah penjajahan bangsa asing, penyembah berhala.
Kondisi
ini menjadi permasalahan tersendiri bagi orang-orang Yahudi pada waktu
itu. Di satu sisi mereka yakin bahwa
janji YHWH kepada Israel pasti akan digenapi ketika umat mengerjakan tanggung
jawab mereka dengan setia dalam hal melakukan hukum-hukum (Taurat) yang YHWH
berikan.[45] Namun di sisi lain, setelah sekian lama
mereka kembali ke tanah milik mereka dan setia kepada Taurat, pemulihan yang
mereka nantikan itu tidak juga kunjung tiba.
Kondisi ini menjadi pertanyaan yang tidak dapat dimengerti oleh bangsa
Yahudi: mengapa YHWH tidak juga
bertindak; mengapa YHWH membiarkan bangsa pilihannya diperintah oleh bangsa
kafir. Kondisi ini jugalah yang membuat
konsep Kerajaan Allah bangsa Yahudi berubah menjadi konsep nasionalisme sempit,
yaitu bahwa YHWH akan membebaskan mereka dari penjajahan bangsa kafir dan
mengembalikan status mereka sebagai sebuah bangsa merdeka dengan YHWH sebagai
Raja mereka.[46] Wright menggambarkan pemahaman nasionalisme
sempit Israel ini dalam diagram berikut:[47]

Diagram ini
menunjukkan pemahaman bangsa Yahudi saat itu bahwa hanya dengan intensifikasi
pelaksanaan Taurat-lah; maka rescue yang
YHWH janjikan itu akan mereka nikmati.[48] Namun demikian, hal ini tidak mudah dilakukan
karena bangsa Yahudi hidup berdampingan dengan bangsa-bangsa kafir yang tidak
mengenal Taurat (pagan), dan bahkan
dari antara mereka sendiri ada juga yang lebih memilih untuk hidup damai dengan
penguasa pada waktu itu (renegade jews).[49] Karena itulah muncul berbagai kelompok dalam
masyarakat Yahudi—seperti misalnya kelompok Farisi, Saduki, Esenis, dan
Zelot—yang masing-masing memiliki interpretasi yang berbeda-beda mengenai cara
pelaksanaan Taurat; namun memiliki agenda yang sama yaitu untuk mempercepat rescue yang dijanjikan YHWH.[50] Rescue
yang dimaksud adalah pembebasan dari penjajahan, pemulihan tanah perjanjian
milik mereka dan pembangunan kembali Bait Suci.[51] Dalam konteks pengharapan inilah, bangsa
Yahudi menantikan datangnya Mesias yang akan menggenapi pengharapan mereka
tersebut. Kehadiran Mesias ini
menandakan bahwa suatu era yang baru, yaitu era Mesianik—the age to come—sudah tiba,[52]
yang berarti juga pembebasan dari Romawi, pemulihan Bait Allah dan kebebasan
menikmati tanah milik mereka sendiri.[53] Pengharapan inilah yang dipegang erat oleh
orang-orang Yahudi pada zaman Yesus, sehingga tidaklah mengherankan jika sering
kali terjadi konfrontasi antara Yesus dengan tokoh-tokoh agama pada zaman-Nya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa
Kerajaan Allah di dalam PL bukan berbicara mengenai kerajaan secara teritori
dengan raja yang memerintah secara fisik; melainkan berbicara mengenai
pemerintahan Allah atas umat-Nya. Dalam
rangka mewujudkan hal inilah, Allah memanggil Abraham dan keturunannya—Israel—untuk
menjadi berkat bagi semua kaum di bumi ini.
Perjalanan sejarah Israel telah menyebabkan pemahaman mereka mengenai
Kerajaan Allah terdistorsi menjadi pemahaman nasionalisme sempit. Kerajaan Allah mereka pahami sebagai suatu
momen di mana Allah akan memulihkan keberadaan mereka sebagai sebuah bangsa
yang merdeka, yaitu ketika mereka melaksanakan Taurat dalam hidup mereka.
KONSEP PEMURIDAN DALAM PERJANJIAN
LAMA
Kata
“murid” merupakan kata yang sangat jarang ditemukan penggunaannya di dalam
PL. Ini menyebabkan munculnya pendapat
yang menyatakan bahwa konsep pemuridan sebenarnya tidak ada di dalam PL. Rengstrof mengatakan,
If the term is missing, so, too, is that
which it serves to denote. Apart from
the formal relation of teacher and pupil, the OT, . . . has no master-disciple
relation. Whether among the prophets or
the scribes we seek in vain for anything corresponding to it.[54]
Bagian ini
bertujuan untuk membuktikan bahwa konsep pemuridan ada di dalam PL sekalipun terminologi
“murid” atau “pemuridan” sangat jarang digunakan.[55] Pembahasan dalam bagian ini akan dibagi
menjadi dua bagian yaitu pertama,
periode prapembuangan; dan kedua,
periode pembuangan dan pascapembuangan.
Periode Prapembuangan
Periode
prapembuangan adalah periode di mana dalam kehidupan bangsa Israel tidak ada
bentuk atau lembaga pendidikan secara resmi dan formal. Pendidikan anak menjadi tanggung jawab
orangtua, khususnya ayah.[56] Ulangan 6:1-9 jelas menunjukkan bahwa orang
tua bertanggung jawab penuh untuk mengajarkan shema Israel kepada anak-anak mereka.[57] Pendidikan semacam ini menunjukkan pemuridan
yang sedang berlangsung, walaupun tidak secara eksplisit digunakan istilah “murid”
atau “pemuridan.” Pemuridan dapat
dikatakan merupakan sebuah alat yang digunakan untuk menjadikan seseorang
sebagai murid. Seorang murid adalah
orang yang belajar dari seorang guru—atau pribadi lain yang berotoritas untuk
mengajar—dan berkomitmen setia kepada sang guru dan pengajarannya.[58] Dengan demikian, pendidikan yang diberikan
oleh para orangtua bangsa Israel kepada anak-anak mereka dapat dikatakan merupakan
sebuah bentuk pemuridan.
Selain dari keluarga, seorang anak
dapat memperoleh pendidikan dari para imam dan nabi.[59] Hal ini diperlihatkan dalam 1 Tawarikh
25:8—melalui penggunaan kata talmidh
(murid)—yang menunjukkan adanya relasi guru-murid di luar keluarga, khususnya
di bidang musik. Dalam bahasa Ibrani,
kata talmidh mempunyai arti yang sama
dengan maqhthj, yaitu seorang
pelajar. Kata ini berasal dari kata lamadh yang secara literal berarti
mengajar seseorang.[60] Selain itu, penggunaan kata limmûdh dalam Yesaya 8:16; 50:4; dan
54:13, juga menunjukkan adanya relasi guru-murid antara Yesaya dengan para
muridnya.[61] Samuel adalah salah satu contoh orang yang
lebih banyak mendapat pendidikan dari luar keluarganya. Alkitab mencatat bahwa sejak masih
kanak-kanak—setelah melewati masa disapih (1Sam. 1:24)—Samuel telah diserahkan
oleh Hana, ibunya, ke Rumah Tuhan di Silo, untuk menjadi pelayan Tuhan (1Sam. 1:28). Di sana, Samuel belajar untuk melayani Tuhan
di bawah pengawasan Imam Eli (1Sam. 2:11; 3:1).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa relasi antara Imam Eli dengan
Samuel adalah relasi antara guru dengan murid atau relasi pemuridan.
Sebenarnya relasi pemuridan di luar
keluarga ini sudah dapat dilihat sejak zaman Musa. Musa—seorang pemimpin bangsa Israel—dapat
dikatakan sebagai seorang guru, karena ia menjalankan fungsi untuk mengajar dan
mengarahkan bangsa Israel untuk hidup sesuai dengan kehendak YHWH.[62] Demikian pula halnya dengan Yosua sebagai
pengganti Musa.[63] Relasi antara Musa dan Yosua juga menunjukkan
relasi guru-murid, yaitu dari Musa kepada Yosua.[64] Walaupun Yosua sering disebut sebagai abdi
Musa (Kel. 24:13; 33:11; Yos. 1:1), hal ini tidak mengurangi atau pun
menghilangkan relasi pemuridan di antara mereka, karena pada masa itu
seringkali kepengikutan seorang murid kepada seorang guru diidentikkan dengan
seorang hamba yang melayani tuannya.[65]
Relasi pemuridan lainnya juga dapat
dilihat dari kelompok-kelompok nabi yang ada di sekeliling Samuel dan Elisa.[66] 1 Samuel 19:20-24 mencatat bahwa Samuel
bertindak sebagai seorang mentor yang mengarahkan kelompok nabi yang ada di
sekelilingnya. Demikian pula halnya
dengan relasi antara Elisa dengan rombongan nabi yang ada bersamanya (2Raj. 4:1,
38; 5:22; 6:1; 9:1). Baik Samuel maupun
Elisa, memiliki otoritas yang lebih tinggi dari kelompok atau rombongan nabi
yang ada bersama dengan mereka. Menurut
Wilkins, hal ini menunjukkan adanya relasi pemuridan yang berlangsung antara
Samuel dan Elisa dengan kelompok atau rombongan nabi tersebut.[67] Lagipula, tanggung jawab seorang nabi—yaitu
menegur dan mengarahkan umat untuk berjalan pada jalan yang ditetapkan
YHWH—menunjukkan bahwa nabi adalah guru, dan umat adalah murid.[68]
Jadi dapat disimpulkan bahwa pada
periode prapembuangan, proses pemuridan sudah ada dan berlangsung di dalam
kehidupan bangsa Israel, yaitu di dalam relasi antara orang tua dengan anak;
dan juga antara imam atau nabi dengan individu tertentu ataupun dengan bangsa
Israel secara keseluruhan. Orangtua dan
imam/nabi berperan sebagai seorang guru yang menuntun dan mengarahkan anak
didik atau murid mereka untuk hidup sesuai dengan kehendak YHWH; taat kepada
perintah-perintah YHWH dan berjalan pada jalan yang telah ditetapkan YHWH. Inilah konsep pemuridan dalam periode
prapembuangan.
Periode Pembuangan dan Pascapembuangan
Selama
periode pembuangan, pemuridan di dalam bangsa Israel masih dilakukan dengan
cara yang sama dengan pemuridan di dalam periode prapembuangan, yaitu melalui
keluarga dan juga para nabi. Namun, di
dalam periode pembuangan ini, semangat untuk belajar Taurat menjadi lebih
meningkat karena mereka menyadari bahwa pembuangan yang mereka alami merupakan
hukuman akibat ketidaktaatan mereka kepada YHWH dan hukum-hukum-Nya; dan
satu-satunya cara agar mereka dapat kembali menikmati masa-masa kejayaan adalah
dengan memelihara hukum-hukum YHWH. Hal
ini menyebabkan munculnya berbagai lembaga pendidikan resmi dalam kehidupan
bangsa Israel setelah mereka kembali dari pembuangan.[69]
Namun demikian, keberadaan lembaga
pendidikan resmi ini tidak meniadakan peran keluarga di dalam mendidik
anak. Keluarga tetap menjadi institusi
pendidikan yang mendasar di dalam kehidupan bangsa Israel. Hal ini didasari oleh perintah yang diberikan
YHWH di dalam Ulangan 6:7-9.[70] Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam periode
pascapembuangan, orang tua tetap memegang peranan penting di dalam mendidik
anak-anak mereka. Orangtua bertanggung
jawab untuk menjadikan anak-anak mereka sebagai murid YHWH yang senantiasa taat
kepada hukum-hukum YHWH.
Selain dari keluarga, seorang anak
juga dapat memperoleh pendidikan di luar keluarga, yaitu melalui
sekolah-sekolah yang ada. Pelajaran
utama yang menjadi penekanan di dalam sekolah-sekolah tersebut—dan juga dalam
pendidikan dalam keluarga—adalah hukum-hukum yang YHWH berikan, yang tercatat
di dalam Kitab Taurat.[71] Hal ini tidak mengherankan,
karena—sebagaimana telah diungkapkan di atas—pembuangan bangsa Israel dari
tanah perjanjian ke negeri asing penyembah berhala, dipahami sebagai suatu
bentuk penghukuman akibat ketidaktaatan mereka kepada Taurat dan karenanya
untuk mendapatkan kembali kejayaan masa lalu, satu-satunya hal yang harus
mereka lakukan adalah kembali kepada Taurat (bdk. Neh. 8:1-19). Oleh sebab itulah, yang menjadi standar dari
pendidikan pada periode pascapembuangan ini adalah ketaatan dalam menjalankan
Taurat tersebut. Sosok ideal dari orang
yang berpendidikan pada masa itu adalah ahli Taurat, yaitu mereka yang belajar
dan taat kepada Taurat (bdk. Ezr. 7:10).[72] Ketaatan kepada Taurat dipandang sebagai
suatu bentuk pengabdian diri yang utuh kepada YHWH dan implikasinya adalah
mereka harus memisahkan diri dari semua hal yang tidak berhubungan dengan YHWH. Hal ini menyebabkan orang-orang Yahudi yang setia
kepada Taurat memisahkan diri dari budaya-budaya Yunani yang mulai meresap
masuk ke dalam kehidupan mereka.[73]
Di luar sekolah, sinagoge juga
menjadi tempat untuk belajar Taurat.
Watson mengatakan bahwa pendidikan informal merupakan bagian yang sangat
penting dari penyembahan di Sinagoge.[74] Sinagoge mulai berkembang khususnya pada masa
Israel berada di pembuangan, karena di pembuangan tidak ada Bait Allah tempat
di mana mereka biasa berkumpul untuk berdoa dan belajar Taurat. Swift mengatakan bahwa persembahan korban
memang harus dilakukan di Yerusalem; namun berdoa dan belajar Taurat dapat
dilakukan di mana saja.[75] Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
perkembangan sinagoge ini cukup pesat.
Talmud bahkan mengklaim bahwa di Yerusalem saja—sebelum tahun 70 SM—sudah
ada 480 sinagoge.[76] Sinagoge pada periode pascapembuangan
berfungsi sebagai tempat bagi seseorang untuk belajar Taurat, khususnya pada
hari Sabat dan berbagai perayaan lainnya, karena pada momen-momen tersebut akan
dibacakan Targum dari Pentateukh dan kitab para nabi.[77] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
sinagoge merupakan salah satu lembaga pendidikan, di mana di dalamnya juga
terjadi proses pemuridan, yaitu dengan tujuan untuk menjadi murid YHWH.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada proses
pemuridan di dalam periode pascapembuangan terjadi melalui relasi antara orang
tua dengan anak, dan juga melalui keberadaan lembaga-lembaga pendidikan
formal—yang sudah mulai berkembang pada masa itu. Pemuridan di dalam periode pascapembuangan
ini bertujuan untuk membawa bangsa Israel kembali kepada Taurat, dan dengan
demikian mereka berharap kejayaan masa lalu Israel dapat mereka nikmati
kembali. Dengan kata lain, tujuan
pemuridan tetap adalah untuk menjadi murid YHWH yang setia, dengan cara taat melakukan
perintah-perintah YHWH dan hidup di dalam jalan yang telah ditetapkan-Nya.
Kesimpulan
Dari penjabaran di atas dapat
dilihat bahwa sekalipun terminologi “murid” sangat jarang digunakan, konsep
pemuridan tetap ada di dalam PL.[78] Pemuridan di dalam PL dapat dilihat melalui pertama, relasi yang terjalin antar
orang-orang dalam PL, misalnya antara orang tua dengan anak; antara nabi dengan
umat; antara nabi dengan kelompok nabi yang ada bersamanya; dan
sebagainya. Kedua, pemuridan juga dapat dilihat melalui relasi guru dengan
murid yang terjalin dalam sekolah-sekolah formal maupun sinagoge. Adapun tujuan dari pemuridan tersebut adalah
agar umat mengenal YHWH dan hukum-hukum-Nya serta melaksanakan hukum-hukum
tersebut dalam kehidupan mereka. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa konsep pemuridan di dalam PL adalah menjadikan seseorang atau
suatu bangsa sebagai pengikut YHWH yang setia dan taat melakukan hukum-hukum
yang YHWH berikan kepada mereka.
[20]Meier
mengatakan, “. . ., it is certainly the
OT that establishes the basic mythic story line later encapsulated in the set
formula of ‘the kingdom of God’”(John P. Meier, A Marginal Jew: Rethinking The Historical Jesus [New York:
Doubleday, 1994] 244); bdk. dengan Ladd yang menyatakan bahwa sekalipun para
nabi tidak berbicara secara langsung mengenai Kerajaan Allah, realitanya adalah
tema Kerajaan Allah tersebut ada dalam nubuatan mereka (G. E. Ladd, “Kingdom of
God” dalam The International Standard
Bible Encyclopedia 3 [Ed. Geoffrey W. Bromiley; Grand Rapids: Eerdmans,
1986] 25). Breisch bahkan menyatakan
bahwa tema keseluruhan PL adalah mengenai kingdom
of God. Dalam bukunya yang berjudul The Kingdom of God: A guide for Old
Testament Study, ia membagi PL menjadi lima bagian besar, yaitu The Period of Theocratic Beginnings; The
Period of Theocratic Establishment; The Period of Theocratic Development; The
Period of Theocratic Decline; dan The
Period of Theocratic Transition. Ia
bahkan mengatakan bahwa Kerajaan Allah adalah tema yang menjadi jalan raya
untuk menuntun perjalanan mengarungi PL (Francis Breisch, The Kingdom of God: A Guide for Old Testament Study [Grand Rapids:
Christian Schools International, 1958] 16).
[21]Dale
Patrick, “The Kingdom of God in The Old Testament” dalam The Kingdom of God in 20th Century Interpretation (Ed.
Wendell Willis; Peabody: Hendrickson, 1987) 68.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Bright dengan menyatakan, “. . . it is at once apparent that the idea is
broader than the term, and we must look for the idea where the term is not present
. . . the concept is by no means confined to the NT . . . it had a long history
and is, in one form or another, ubiquitous in both OT and New” (John
Bright, The Kingdom of God [New York:
Abingdon, 1953] 18).
[22]Michael
Lattke, “On The Jewish Background of The Synoptic Concept” dalam The Kingdom of God (ed. Bruce Chilton;
Philadelphia: Fortress, 1984) 73.
[23]Dennis
C. Duling, “Kingdom of God, Kingdom of Heaven” dalam Anchor Bible Dictionary Vol. 4 (ed. David Noel Freedman; New York:
Doubleday, 1992) 50.
[24]“The
Kingdom of God” 72.
[25]“Kingdom
of God” dalam Jewish Encyclopedia 7
(Ed. Cyrus Adler, et al.; London: Funk & Wagnalls, 1901) 502.
[26]C.
H. Dodd, The Parables of The Kingdom (New
York: Charles Scribner’s Son, 1961) 21.
Bdk. dengan pernyataan Achtemeier, et. al. yang menyatakan bahwa kata
Aramaik untuk Kerajaan Allah—yaitu malkut
shemayim atau malkuta di elaha—memiliki
penekanan pada God’s activity of
reigning, in keeping with the OT emphasis on God as king and sovereign of all
the nations of the world (Paul J. Achtemeier, et al., Introducing the New Testament: Its Literature and Theology [Grand
Rapids: Eerdmans, 2001] 215).
[27]Konsep
Kerajaan Allah bagi Israel bukanlah sebuah tempat yang nyaman di sorga setelah
kematian di bumi ini—sebagaimana yang dipahami oleh banyak orang Kristen saat
ini. N. T. Wright mengatakan, “The phrase ‘kingdom of heaven,’. . . does
not refer to a place, called ‘heaven,’ where God’s people will go after death”
(The Challenge of Jesus: Rediscovering
Who Jesus was and Is [Downers Grove: InterVarsity, 1999] 36). Kesimpulan
yang dapat diambil dari hal ini adalah bahwa bagi orang-orang Yahudi, Kerajaan
Allah adalah sesuatu yang bersifat earthly,
yaitu yang hadir di bumi ini bukan di suatu tempat di luar bumi.
[28]Wright
mengatakan, “. . . the rule of heaven,
that is, of God, being brought to bear in the present world” (ibid. 36-37).
[29]Meier,
A Marginal Jew 2:245. Selman mengatakan bahwa pendapat Mowinckel
ini telah mengakibatkan terjadinya pemisahan antara konsep Kerajaan Allah
dengan konsep YHWH sebagai Raja. “. . ., it is usually tacitly assumed that
there is no real distinction between statements that Yahweh is King and that he
has a kingdom. As a result, little
attentiton has been given to those passages which contain specific mention of
Yahweh’s kingdom. This failure to reckon
with a separate concept is particularly evident in the case of the Psalms,
where discussion has tended to be limited to the cultic implications of the
so-called ‘Enthronement Psalms’” (Martin J. Selman, “The Kingdom of God in
The Old Testament” dalam TynBul 40/2
[1989] 162).
[30]Jacob
Neusner—seorang teolog Yahudi—juga mengungkapkan hal yang senada, dengan
mengatakan, “The first kingdom of God was
Eden” (“A Judaic Response to Forceful Grace” dalam Jewish-Christian Debates: Kingdom, Messiah [Minneapolis: Fortress,
1998] 153).
[31]Breisch,
The Kingdom of God 24-25.
[32]Pemberontakan
manusia terhadap Allah dalam Edenic
Kingdom itu ditandai dengan tindakan manusia yang bertentangan dengan
perintah yang Allah berikan kepada mereka, yaitu manusia mengambil dan memakan
buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat (Kej. 3:6). Wenham menyimpulkan tindakan manusia tersebut
dengan mengatakan, “The human pair are
shown usurping divine prerogatives as well as explicitly disobeying God’s
express word” (Gordon J. Wenham, Genesis
1-15 [WBC; Waco: Word, 1987] 75).
Kisah mengenai kejatuhan edenic
kingdom ini dapat dilihat dalam The
Father’s According to Rabbi Nathan (Neusner, “A Judaic Response to Forceful
Grace” 153-154).
[33]The New Testament and The People of God
(London: SPCK, 1992) 223. Dalam rangka
mewujudkan kerajaan-Nya atas dunia ini, Allah memilih Abraham dan
keturunannya—yaitu Israel—untuk menjadi agen yang membawa Kerajaan Allah itu
hadir di bumi ini. Sebagai agen, Israel
terlebih dahulu dituntut untuk hidup sesuai dengan tuntutan Kerajaan Allah
tersebut, yang diwujudkan dalam bentuk Taurat dan Bait Allah. Taurat merupakan hukum-hukum yang Allah
berikan yang mengatur tatanan kehidupan Israel sebagai umat Allah; dan Bait Allah
merupakan representasi kehadiran Allah di bumi ini.
[34]Bagi
orang Yahudi, “The first kingdom, at
Eden, lasted but a moment and was lost.
The second began at Sinai and endures to this time” (Neusner, “A
Judaic Response to Forceful Grace” 154).
Neusner juga mengungkapkan perbandingan konsep Kerajaan Allah dalam
kekristenan dengan Yudaisme sebagai berikut: “Christianity’s kingdom of God concerns personal obedience in the
private life; the Torah’s kingdom of Heaven speaks to the formation of a
kingdom of priests and a holy people, a light to the nations, a community that
embodies the Torah and realizes God’s will not in some one place but in every
circumstances subject to God’s plan and will” (ibid. 155). Kohler, yang juga adalah seorang rabi Yahudi
mengatakan bahwa di gunung Sinai ini jugalah Israel menerima the yoke of God’s kingdom yang
senantiasa mereka ingat setiap kali mereka mengucapkan Shema (“Kingdom of God”
502). Neusner mengatakan bahwa the yoke of God’s kingdom ini sama
artinya dengan the dominion of God
(“Living under the Yoke of the Kingdom of Heaven” dalam Jewish-Christian Debates 101).
[35]Breisch
mengatakan, “There is a purpose . . .
stresses the fact that the nation about to be organized is distinct from other
nations. It is a theocracy” (The Kingdom of God 39).
[36]Kata
“anak” yang digunakan dalam bagian ini berasal dari kata Ibrani !Be dapat berarti “anak,” “cucu,” atau “anggota
dari sebuah kelompok” (Elmer A. Martens, “!Be” dalam
Theological Wordbook of the Old Testament
[Eds. R. L. Harris, et. al.; Chicago: Moody, 1980] 113). Tampaknya pemaknaan yang tepat untuk bagian
ini adalah “anggota dari sebuah kelompok” (ibid. 114). Jadi, yang dimaksud dengan “kegagalan
anak-anak Samuel” adalah kegagalan para murid Samuel di dalam melanjutkan
pelayanan Samuel.
[37]Setelah
Yosua meninggal, generasi selanjutnya dari Israel dipimpin oleh para
hakim. Samuel pun dicatat menjalankan
fungsi sebagai hakim, yaitu memerintah atas Israel (1Sam. 7:15-17). Caragounis mengatakan, “The rule of God over Israel is especially exemplified in the time of
the judges who functioned as his representative” (C. C. Caragounis,
“Kingdom of God/Heaven” dalam Dictionary
of Jesus and The Gospels [eds. Joel B. Green, et al.; Downers Grove: InterVarsity, 1992] 418).
[38]YHWH
sebenarnya sudah mengantisipasi permintaan ini dengan menetapkan hukum tentang
seorang raja (Ul. 17:14-20), yang mengatur standar-standar yang harus dipenuhi
oleh seorang raja yang terpilih. Jadi
sebenarnya, YHWH tidak menolak konsep raja-manusia.
Motivasi
yang mendasari permintaan ini telah menunjukkan dengan jelas bahwa Israel telah
melupakan status mereka yang dideklarasikan YHWH di Gunung Sinai, yaitu sebagai
harta kesayangan YHWH, kerajaan imam dan bangsa yang kudus milik YHWH (Kel.
19:5-6). Israel sebagai harta kesayangan
YHWH maksudnya adalah, “Israel become
uniquely Yahweh’s prized possesion by their commitment to him in covenant”
(John I. Durham, Exodus [WBC; Waco:
Word, 1987] 263). Israel sebagai bangsa
yang kudus maksudnya adalah, Israel represents
a third dimension of what it means to be committed in faith to Yahweh: they are
to be a people set apart, different from all other people by what they are and
are becoming—a display-people, a showcase to the world of how being in covenant
with Yahweh changes a people (ibid.).
Dengan demikian, sebagai kerajaan imam; maka Israel was always supposed to be: a kingdom run not by politicians depending
upon strength and connivance but by priests depending of faith in Yahweh, a
servant nation instead of a ruling nation (ibid.). Kesimpulan yang dapat diambil dari penjabaran
ini adalah bahwa tujuan YHWH ketika memilih dan mengkhususkan Israel menjadi
bangsa pilihan-Nya adalah agar Israel menjadi contoh bagi bangsa-bangsa lain di
sekitarnya yang belum mengenal YHWH sehingga akhirnya mereka pun mengenal YHWH
dan menempatkan YHWH sebagai Raja mereka juga.
Wright bahkan menyatakan, “Israel
was not just to be an ‘example’ of a nation under God; Israel was to be the
means through which the world would be saved” (The Challenge 35).
[39]Permintaan
Israel ini juga menunjukkan bahwa mereka menolak the yoke of God’s kingdom yang telah mereka terima di Gunung
Sinai. Meminta seorang raja-manusia
berarti lebih memilih berada di bawah pemerintahan raja-manusia tersebut daripada
berada di bawah pemerintahan YHWH yang berdaulat. Hal ini juga menunjukkan bahwa Israel telah
melupakan janji mereka untuk taat sepenuhnya kepada YHWH (Kel. 19:8). Patrick mengatakan, “The people, by asking for a human king, are rebelling against
YHWH. The strict theocracy that began
with Moses and endured through the period of the judges was being repudiated”
(The Kingdom of God 74). Lebih lanjut, ia juga mengatakan, “The offer [janji YHWH kepada Israel] and its acceptance put in force a structure
of authority in which YHWH has the sole authority to command, and the people of
Israel are bound by pledge to obey him” (ibid. 75) [tambahan oleh penulis].
[40]Ibid.
74.
[41]Caragounis
mengatakan, “With the accession of David
to the throne, however, the situation was somewhat normalized and the king was
understood to reign as Yahweh’s representative and be under Yahweh’s
suzerainty. In other words, the monarchy
was looked upon as the concrete manifestation of Yahweh’s rule” (“Kingdom
of God/Heaven” 418). Goldsworthy mengungkapkan
hal yang senada dengan menyatakan, “The
rule of the Davidic kings is representative of the rule of God over his kingdom”
(G. Goldsworthy, “Kingdom of God” dalam New
Dictionary of Biblical Theology [eds. T. Desmond Alexander, et al.; Downers Grove: InterVarsity,
2000] 619).
[42]David
A. deSilva mengatakan, “Since departure
from the covenant was deemed to be the cause of these misfortunes, careful
observance or the Torah came to be viewed as the path to recovery” (An Introduction to The New Testament: Contexts,
Methods and Ministry Formation [Downers Grove: InterVarsity, 2004] 39).
[43]Breisch
mengatakan “The Exile had ended the
theocratic nation. But God had not cast
off His people. . . . He gathered a
remnant . . . and brought them back to the land which He had given them” (The Kingdom of God 219-220).
[44]Orang-orang
yang kembali dari pembuangan ini—menurut Josephus lebih tepat disebut sebagai Jews bukan lagi Israelites, karena the
changes that resulted from the loss of the land and political autonomy in the
Babylon invasion shaped Israel in decisive ways (Achtemeier, et al., Introducing
the New Testament 32). Dengan
demikian, maka untuk penulisannya selanjutnya akan digunakan istilah
orang-orang Yahudi.
[45]DeSilva
menyatakan keyakinan bangsa Yahudi ini sebagai berikut, “God would bring God’s promises to pass; the role of the community was
simply to keep faith with this God through diligent observance of God’s law”
(An Introduction to The New Testament
50).
[46]Konsep nasionalisme sempit ini telah menggeser maksud
Allah pertama kali memanggil dan mengkhususkan Israel sebagai bangsa
pilihan-Nya, yaitu Israel is to be the
creator’s means of bringing his wise order to the created world (Wright, The New Testament 223).
[47]Ibid.
222.
[48]Sehubungan
dengan pemahaman bangsa Yahudi ini, DeSilva mengatakan, “Many Jews regarded the intensification of attention to the doing of
Torah and bringing every aspect of their lives into line with the law of God as
the paramount strategy to attaining the well-being of the nation and of individuals.
. . . Only by returning with a whole
heart to Torah, the covenant, can Israel enjoy a future of blessing and peace”
(An Introduction to the New Testament
51). Rescue
yang dimaksud dalam diagram tersebut harus dimengerti dalam pemahaman istilah “salvation” dalam budaya Yahudi, yaitu has to do with rescue from the national
enemies, restoration of the national symbols, and a state of shalom in which
every man will sit under his vine or fig-tree (Wright, The New Testament 300).
[49]Mungkin
salah satu orang yang termasuk di dalam kelompok ini adalah Matius, yang
berprofesi sebagai pemungut cukai (Mat. 9:9-13 bdk. Mrk. 2:13-17 dan Luk.
5:27-32, yang menggunakan nama Lewi).
Nama Lewi—yang digunakan dalam Injil Markus dan Lukas—kemungkinan adalah
nama suku, yang mengindikasikan bahwa Matius sebenarnya adalah seorang Yahudi
dari suku Lewi (R. T. France, Matthew
[TNTC; Leicester: InterVarsity, 1985] 33).
Pemungut cukai adalah profesi yang dipandang hina oleh orang-orang
Yahudi pada masa itu, karena seorang pemungut cukai adalah orang yang bekerja
untuk pemerintah Roma, dan sering kali mereka juga mengambil keuntungan dari
pekerjaan mereka itu untuk memperkaya diri mereka (Craig S. Keener, The IVP Bible Background Commentary: New Testament
[Downers Grove: InterVarsity, 1993] 69-70, 140-141, 831).
[50]Kelompok
Farisi sangat menekankan pada detil-detil pelaksanaan Taurat, bahkan terkadang
terkesan sangat ekstrem. Bagi mereka,
tafsiran terhadap Taurat itu memiliki otoritas yang sama tingginya dengan Taurat
itu sendiri. Philo menyebut kelompok ini
sebagai kelompok yang full of zeal for
the laws, strictest guardians of the ancestral traditions (Wright, The Challenge 57). Visi mereka adalah agar Israel kembali
menjadi kerajaan Imam milik YHWH sebagaimana yang dahulu telah dideklarasikan
YHWH di Gunung Sion (DeSilva, An Introduction to The New Testament 82). Kelompok Saduki adalah kelompok yang
menekankan kerjasama dengan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. DeSilva mengatakan bahwa mereka appear to have occupied the upper levels of
the aristocracy or to have concerned themselves mainly with influencing the
Jewish ruling classes (ibid. 83).
Kelompok Esenis adalah kelompok yang menekankan mengenai praktik
kemurnian dan kesucian hidup. Wright
menyebut kelompok ini sebagai kelompok quietist,
dengan semangat, “. . . separate yourself
from the wicked world and wait for God to do whatever God is going to do” (The Challenge 37). Kelompok Zelot adalah kelompok yang
berpendapat bahwa rescue itu akan
semakin cepat terealisasi melalui perjuangan secara fisik. Semboyan yang melandasi perjuangan mereka
adalah No King but God (N. T. Wright,
Jesus and The Victory of God [Minneapolis:
Fortress, 1996] 203-203). Semboyan ini
secara khusus menjadi slogan yang membakar semangat revolusi mereka—“. . . say your prayer, sharpen your swords, make
yourselves holy to fight a holy war, and God will give you a military victory.
. . .” (Wright, The Challenge 37).
[51]Wright
mengatakan, “. . ., the fundamental
Jewish hope was for liberation from oppression, for the restoration of the
Land, and for the proper rebuilding of the Temple” (The New Testament 299).
[52]Waktu
dalam pemahaman orang Yahudi terbagi menjadi dua, yaitu masa sekarang (the present age) dan masa yang akan
datang (the age to come). Bagi mereka, masa sekarang adalah masa yang
penuh dengan kesengsaraan; masa kesuksesan orang-orang jahat; dan masa di mana
Israel belum sempurna menjalankan Taurat.
Sementara masa yang akan datang adalah masa di mana Israel akan
dipulihkan; orang-orang jahat akan menerima balasan setimpal dengan perbuatan
mereka; dan masa di mana Israel akan kembali melaksanakan Taurat dengan
sempurna (ibid. 299-300).
[53]Ibid.
300.
[54]Karl H. Rengstrof, “maqhthj” dalam
TDNT 4 [Ed. Gerhard Kittel; Grand
Rapids: Eerdmans, 1964] 427. Wilkins
membantah pandangan Rengstrof ini dengan mengatakan bahwa keraguan Rengstrof
mengenai konsep pemuridan di dalam PL—selain karena tidak adanya istilah
“murid” dalam PL—adalah karena he
understands discipleship as falling into an either/or dichotomy (it is either a
discipleship of the Sophistic and Rabbinic modes, or discipleship or Israel to
Yahweh), and partly because he thinks that discipleship to a person necessarily
preempts the place of the covenant relationship between God and Israel (Michael
J. Wilkins, Discipleship in The Ancient
World and Matthew’s Gospel [Grand Rapids: Baker, 1995] 51).
[55]Wilkins
mengatakan, “. . . even though the terms
for disciple are not found in abundance in the Old Testament, various
relationships in Israel were true “discipleship” relations since they share
universal characteristics of discipleship relations” (Discipleship in The Ancient 52).
[56]Swift
mengatakan, “Parents and relatives were
the child’s almost sole teachers in private life” (Flechter Harper Swift, Education in Ancient Israel: From Earliest
Times to 70 A.D. [Chicago: The Open Court, 1919] 19).
[57]Bdk.
Ul. 4:9-10; Kel. 12:26-27; dan Yos. 4:21-22.
[58]Wilkins
menyebutkan beberapa karakteristik yang mengindikasikan berlangsungnya sebuah
pemuridan, yaitu antara lain learning,
commitment to one person or teaching, personal life involvement (Wilkins, Discipleship in The Ancient 52).
[59]Pendidikan
yang diperoleh di luar keluarga ini selain berupa keahlian-keahlian
tertentu—seperti misalnya dalam bidang industrial
and physical training: agriculture,
cattle-raising and grazing, fishing, mining, building, carpentry and
wood-working, metal-work, spinning, weaving, dyeing, tanning, tent-making,
pottery-making, making of tools to be used in trades and crafts; dalam bidang
military training; dalam bidang athletics and games; dalam bidang music, dancing; dan dalam bidang oral literature (Swift, Education in Ancient Israel 23-25)—juga
khususnya dalam bidang religius, yaitu ketaatan kepada YHWH; hidup selaras
dengan kehendak YHWH yang telah dinyatakan melalui perintah-perintah-Nya kepada
umat.
[60]Francis
Brown, The New
Brown-Driver-Briggs-Gesenius Hebrews and English Lexicon (t.k.: Christian
Copyrights, 1983) 541.
[61]Kata
limmûdh ini merupakan kata sifat yang
memiliki arti “taught” atau “as disciples” (Wilkins, Discipleship in the Ancient 46-47). Memang kata ini tidak menjadi istilah yang
secara umum digunakan untuk menunjuk kepada “murid,” namun penggunaan kata ini
sebanyak tiga kali dalam kitab Yesaya menunjukkan adanya relasi guru-murid di
dalam PL, secara khusus di luar keluarga.
[62]Israel
dapat dikatakan secara tidak langsung menjadi murid dari Musa—yang secara
langsung ditunjuk YHWH untuk memimpin Israel—yaitu murid yang belajar untuk
mengikut YHWH dan yang belajar untuk berjalan pada jalan yang YHWH tetapkan
(Ul. 5:28-33).
[63]Yosua
juga menjalankan peran yang sama seperti yang Musa lakukan terhadap Israel,
yaitu menuntun dan mengarahkan umat agar hidup selaras dengan perintah-perintah
YHWH (Yos. 23-24).
[64]Relasi
yang sama juga terjalin antara Elia dan Elisa (1Raj. 19:19-20). Perintah YHWH kepada Elia untuk mengurapi
Elisa menjadi penggantinya (1Raj. 19:16) menunjukkan kesamaan antara Elisa
dengan Yosua. YHWH juga memerintahkan
Musa untuk mengurapi Yosua sebagai penggantinya (Bil. 27:18-20). Di dalam mengikuti Elia, Elisa dengan jelas
menunjukkan kesetiaan seorang murid kepada gurunya: ia menyatakan komitmennya
untuk tidak akan meninggalkan Elia (2Raj. 2:2); ia juga menyatakan kesiapannya
untuk meneruskan pelayanan Elia (2Raj. 2:9).
Semua ini menunjukkan dengan jelas bahwa Elisa adalah murid dari Elia,
dan dengan demikian, relasi antara mereka adalah relasi pemuridan.
[65]Gerhard
Kittel mengatakan, “The disciple follows
his masters as a servant in the strict sense” (“akolouqew” dalam TDNT
1:213). Ia juga menyatakan bahwa
pemahaman ini berlanjut dalam era rabinikal, di mana tradisi mencatat bahwa the rabbi or rabbis going ahead, perhaps
riding on an ass, and their pupils following on behind at an appropriate
distance (ibid.).
[66]Dari
1Sam. 8:4-5 juga dapat dilihat bahwa Samuel memiliki sekelompok murid, yang
kemudian diangkatnya untuk meneruskan pelayanannya sebagai hakim di Israel.
[67]Wilkins
mengatakan, “There is a degree of
authority of Elisha [dan juga Samuel]
over these prophets, and they appear to follow his [baik Elisa maupun
Samuel] leadership . . . the relationship
may be designated as a form of discipleship. . . .” (Discipleship in The Ancient 60) [tambahan oleh penulis].
[68]Swift
mengatakan, “The prophets were wandering
teachers. In their own eyes and in the
eyes of the people, they were Yahweh’s divinely commissioned messengers” (Education in Ancient Israel 37).
[69]Swift
mengatakan, “Educational zeal resulted in
an ever-increasing tendency to organize and institutionalize education” (ibid.
76).
[70]Swift
mengatakan, “Even the rise of a system of
elementary schools devoted to the task of daily religious instruction did not
free the home of this its most important responsibility” (ibid. 50).
[71]Swift
mengatakan, “The Law, in other words
religion, and with it morality, became the supreme interest, the chief study
and all-determining force in public and in private life at home and in school”
(ibid. 77). Moore juga mengungkapkan
bahwa sekolah dalam Yudaisme merupakan sebuah institusi untuk mengajarkan
pendidikan religius (George Foot Moore, Judaism
[Peabody: Hendrickson, 1997] 308). Duane
F. Watson juga mengungkapkan pendapat yang senada, “The study of the Torah was the main component of all the stages of
Jewish education. . . .” (“Education: Jewish and Greco-Roman” dalam Dictionary of New Testament Background [Eds.
Craig A. Evans & Stanley E. Porter; Downers Grove: InterVarsity, 2000)
311.
[72]Swift,
Education in Ancient Israel 78.
[73]Swift
mengatakan, “. . ., the faithful Jews not
only remained indifferent to the physical, esthetic and intellectual interests
of their pagan conquerors but studiously excluded them from their schools and
from their ambitions” (ibid. 78-79).
Bahkan olahraga fisik—yang berpusat di gymnasium—pada waktu itu juga
dipandang sebagai suatu bentuk penyembahan berhala, karena olahraga fisik yang
dilakukan diiringi dengan persembahan kepada berhala. Swift mengungkapkan bahwa the faithful Jews looked upon the Greek
physical sports with abhorrence, and the establishment of Greek gymnasia, far
from introducing physical training into Jewish education, led to an
identification of physical education with paganism and to a consequent
hostility to it (ibid. 79).
[74]Watson,
“Education” 312.
[75]Swift,
Education in Ancient Israel 87.
[76]Edwin
M. Yamauchi, “Synagogue” dalam DJG 782.
[77]Watson,
“Education” 312. Moore juga
mengungkapkan bahwa bagi orang-orang Yahudi, the synagogue was a place for instruction in the truths and duties of
revealed religion. . . .” (Judaism
285).
[78]Penggunaan
kata talmidh dan limmûdh merupakan bukti yang menunjukkan bahwa terminologi “murid”
ada di dalam PL. Kedua kata ini juga
menjadi dasar bagi Wilkins untuk menyatakan bahwa keragu-raguan Rengstrof
terhadap konsep pemuridan di dalam PL tidak tepat karena walaupun jarang
digunakan, istilah “murid” itu tidak sepenuhnya absen dari dalam PL. Wilkins mengatakan, “. . . even though ‘disciple’ terminology is rare in the Old Testament,
the use of talmidh and limmûdh suggests at least some evidence of master-disciple
relationship in Israel” (Discipleship
in the Ancient 46-47).
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai dengan topik yang dibahas..