LATAR BELAKANG KONSEP KERAJAAN ALLAH DAN PEMURIDAN








 

LATAR BELAKANG KONSEP KERAJAAN ALLAH DAN PEMURIDAN



Bab ini bertujuan untuk memaparkan pertama, konsep Kerajaan Allah dalam PL dan periode antarperjanjian serta kedua, konsep pemuridan dalam PL.  Pembahasan dalam bab ini dapat dikatakan merupakan dasar untuk memahami konsep Kerajaan Allah dan pemuridan yang terdapat dalam Injil Matius, yang dibahas dalam bab berikut. 

KONSEP KERAJAAN ALLAH DALAM PL DAN PERIODE ANTARPERJANJIAN
Istilah Kerajaan Allah merupakan istilah yang jarang bahkan tidak ada di dalam literatur-literatur sebelum Injil, termasuk juga di dalam PL.  Namun, ide mengenai Kerajaan Allah dapat ditemukan hampir di semua bagian PL.[20]  Para ahli yang mendukung hal ini mengungkapkan, “. . . it was not the verbal formulation that matters, but the idea denoted by it.”[21]  Michael Lattke menegaskan bahwa pemahaman Kerajaan Allah dalam PL tidak dapat dibatasi hanya pada penggunaan istilah yang eksplisit saja.  Ia menyatakan,
. . . in investigating. . ., ‘the kingdom of God,’ one cannot restrict oneself to the occurrences of the word malkūt.  One must also keep an eye on these texts which speak of God as ‘King’ (melek), and as being king or becoming king (mālak).”[22]

Istilah yang lebih banyak digunakan dalam PL adalah Kingdom of YHWH, misalnya saja dalam 1Taw. 28:5; 2Taw. 13:8; di samping itu masih ada bagian-bagian lain yang secara tidak langsung menunjuk kepada pemahaman konsep Kingdom of YHWH.[23]  Selain itu dapat pula ditemukan pernyataan-pernyataan yang jelas-jelas menunjuk kepada YHWH sebagai raja (Ul. 9:26; 1Sam. 12:12; Mzm. 24:10; 29:10; Yes. 6:5; 33:22; Zef. 3:15; Za. 14:16, 17) yang duduk di atas takhta (Mzm. 9:4; 45:6; 47:8; Yes. 6:1; 66:1; Yeh. 1:26) dan pemerintahan-Nya kekal (Mzm. 10:16; 146:10; Yes. 24:23).  Patrick menyimpulkan hal ini dengan menyatakan, “The image of YHWH as a sovereign over his people and all peoples came so naturally to the biblical authors that one can justifiably say that it was a common possession.[24]  
Konsep Kingdom of YHWH bagi orang Yahudi bukanlah konsep Kerajaan dalam makna kekuasaan atau teritorial dengan seorang raja yang memerintah di atasnya.  Kaufmann Kohler mendefinisikan Kerajaan Allah sebagai reign or sovereignty of God as contrasted with the kingdom of the worldly powers.  The hope that God will be King over all the earth, when all idolatry will be banished, is expressed in prophecy and song.[25]  Dodd juga mengemukakan hal yang sama dengan menyatakan bahwa pernyataan Kingdom of God—yang dalam bahasa Ibraninya adalah Malkuta de-Adonai—mengandung arti Allah memerintah sebagai Raja atas umat-Nya dan juga atas seluruh ciptaan-Nya.[26]  Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengertian Kerajaan Allah sama sekali tidak menunjuk kepada suatu lokasi tertentu apalagi kepada sebuah dunia lain.[27]  Sebaliknya Kerajaan Allah berarti pemerintahan Allah atas segala sesuatu.[28]  Faktor terpenting dalam pemerintahan Allah tersebut adalah adanya relasi antara Allah sebagai Raja dengan umat.  Relasi ini dibangun atas dasar perjanjian yang YHWH tetapkan dengan Israel sebagai umat, di mana perjanjian tersebut meneguhkan kekuasaan YHWH (suzerainty of YHWH) terhadap umat-Nya.
Konsep YHWH sebagai raja sebenarnya sudah dicatat di dalam Taurat; namun banyak ahli mengikuti arahan dari Sigmund Mowinckel yang menyebut Mazmur 47, 93, 96, 97, 98, dan 99 sebagai “royal enthronement psalms.[29]  Hal ini, tidak tepat sebab konsep Kerajaan Allah atau pemerintahan YHWH sebagai Raja sama sekali tidak terbatas pada kitab Mazmur.  Breisch bahkan berpendapat bahwa sejak penciptaan manusia sebenarnya Kerajaan Allah itu sudah hadir.[30]  Ia mengatakan,
The picture of man, the highest creature, standing between God and the rest of creation, presents the first theocracy. . . .  He has made man in the image of God, placed him in the world, and has given him the task of ruling as God’s vice-ruler.  In this we have all the elements of a divine kingdom.  Man rules the world . . . he rules in behalf of God, and willingly acknowledges God as his own ruler.[31]

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tema Kerajaan Allah dalam PL sudah dimulai sejak dari pencatatan kitab pertama, bahkan dapat dikatakan bahwa memang seluruh narasi PL berbicara mengenai Kerajaan Allah.
Kerajaan yang pertama di taman Eden (Edenic Kingdom) jatuh karena manusia—wakil Allah di bumi ini—memberontak terhadap pemerintahan Allah (God’s rule).[32]  Pasca kejatuhan Edenic Kingdom, Allah menjanjikan penebusan bagi manusia melalui keturunan perempuan, dan janji tersebut mulai digenapi ketika Allah memilih Abraham dari antara umat manusia di bumi ini (Kej. 12:1-3).  Keturunan Abraham inilah yang selanjutnya disebut sebagai bangsa pilihan Allah di bumi ini.  Tujuan Allah dalam memilih Abraham adalah agar melalui Abraham semua kaum di muka bumi mendapat berkat (Kej. 12:2-3).  Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keturunan Abraham pun mengemban tujuan Allah ini di dalam kehidupan mereka di tengah bangsa-bangsa lain.  N. T. Wright menggambarkan konsep ini di dalam diagram berikut:[33]
Perjalanan sejarah bangsa pilihan Allah ini membawa mereka menjadi budak di tanah Mesir, dan melalui Musa, Allah membawa Israel—bangsa pilihan-Nya—keluar dari perbudakan di Mesir.  Pengakuan pertama Israel terhadap pemerintahan Allah untuk selama-lamanya diungkapkan melalui pujian mereka setelah berhasil lepas dari kejaran bala tentara Mesir melalui peristiwa yang spektakuler di Laut Teberau (Kel. 15:18).  Pengakuan ini kemudian diteguhkan dengan perjanjian di gunung Sinai, di mana Israel kemudian dinyatakan menjadi kerajaan imam (Kel. 19:4-6),[34] dengan syarat mereka sungguh-sungguh mendengarkan firman YHWH dan berpegang pada perjanjian YHWH.  Dasar tuntutan YHWH terhadap ketaatan Israel terletak pada apa yang telah YHWH lakukan untuk Israel.
Pemerintahan YHWH atas Israel semakin jelas terlihat ketika YHWH menetapkan hukum-hukum yang harus dijalankan oleh Israel di dalam kehidupan mereka hari lepas hari.  Maksud YHWH memberikan hukum-hukum tersebut adalah agar Israel berbeda dari bangsa-bangsa lain.[35]  Dengan demikian, jelaslah bahwa pribadi yang berkuasa penuh atas Israel adalah YHWH—Dialah Raja atas Israel. 
Perkembangan sejarah Israel selanjutnya menunjukkan hal yang tidak diinginkan, yaitu Israel meminta seorang raja dari kalangan mereka (1Sam. 8:4-5).  Permintaan umat ini sebenarnya dipicu oleh kegagalan anak-anak Samuel[36] dalam menjalankan fungsi mereka sebagai hakim di Israel (1Sam. 8:3).[37]  Namun demikian, permintaan ini tetap dipandang sebagai penolakan terhadap YHWH (1Sam. 8:7), karena motivasi yang mendasari permintaan tersebut adalah supaya mereka mendapat seorang raja seperti pada bangsa-bangsa lain.[38]  Permintaan ini menunjukkan bahwa Israel telah melupakan janji yang mereka buat di Gunung Sinai untuk taat sepenuhnya kepada YHWH, bahkan dapat dikatakan Israel menyatakan pemberontakan mereka—secara tidak langsung—terhadap sistem teokrasi yang telah YHWH rancang bagi mereka.[39]  Perjalanan sejarah Israel selanjutnya menunjukkan bahwa YHWH mengampuni dan menerima permintaan umat untuk hadirnya seorang raja-manusia dari antara mereka dan untuk mereka (1Sam. 12).  Aturan main yang berlaku untuk seorang raja-manusia adalah bahwa otoritasnya dibatasi hanya pada pelaksanaan hukum dan administrasi kerajaan;[40] ia tetap harus tunduk kepada otoritas YHWH yang telah memilihnya.
Raja-manusia pertama yang terpilih dari antara Israel adalah Saul dari suku Benyamin (1Sam. 9:15-17; 10:1).  Pemerintahan Saul tidak bertahan lama, karena Saul terbukti tidak taat dalam melakukan perintah YHWH (1Sam. 13:13-14; 15:17-26).  Pasca kejatuhan Saul, YHWH memilih Daud untuk menjadi raja atas Israel.  Pengangkatan Daud sebagai raja, dapat dikatakan merupakan pemulihan sistem teokrasi yang YHWH rancang bagi Israel sejak semula.[41]  Hal ini didukung dengan pernyataan janji YHWH untuk mengokohkan kerajaan Daud selama-lamanya dengan syarat ketaatan mutlak kepada YHWH (2Sam. 7:1-17).  Janji peneguhan kerajaan ini diulangi kembali kepada Salomo, juga dengan syarat yang tetap sama, yaitu ketaatan mutlak dari Salomo dan seluruh keturunannya (1Raj. 9:5-6).  Jika syarat ini tidak dipenuhi; maka yang terjadi adalah pertama, Israel akan dibuang, yang juga berarti kehancuran kerajaan Israel (9:7); dan kedua, kehancuran Bait Allah yang baru saja ditahbiskan (9:8).  Rangkaian kisah ini menunjukkan bahwa raja Israel yang sesungguhnya adalah YHWH; Dialah yang mengangkat dan menurunkan raja-raja Israel; Dialah yang mengendalikan jalannya sejarah Israel. 
Perjalanan sejarah Israel selanjutnya menunjukkan bahwa Israel berpaling dari YHWH dan akibat yang harus mereka tanggung adalah seperti yang telah YHWH nyatakan, yaitu pembuangan umat dan penghancuran Bait Allah (2Raj. 25).  Tahun 721 SM, Israel Utara ditaklukkan oleh Asyur, dan penduduknya diserakkan ke berbagai wilayah kekuasaan Asyur (2Raj. 17).  Tahun 597 SM, Babel di bawah pimpinan Nebukadnezar juga berhasil menaklukkan Yehuda.  Dampak dari penaklukkan ini adalah pembuangan penduduk Yehuda ke Babel, dan puncaknya adalah penghancuran Bait Allah pada tahun 587 SM.  Bagi orang-orang Israel, pembuangan dan penghancuran Bait Allah adalah sebuah hukuman karena mereka tidak taat kepada perjanjian, oleh karena itulah, mereka menganggap bahwa satu-satunya cara pemulihan adalah dengan kembali setia kepada Taurat.[42] 
Di dalam anugerah-Nya, YHWH—melalui Koresy dan Ezra—membawa Israel keluar dari pembuangan, kembali ke tanah milik mereka serta memulai kembali pembangunan Bait Allah.[43]  Sekalipun Israel[44] telah kembali dari pembuangan dan Bait Allah telah dibangun kembali, mereka tetap merasa masih berada di dalam pembuangan, sebab mereka masih berada di bawah penjajahan bangsa asing, penyembah berhala.    
Kondisi ini menjadi permasalahan tersendiri bagi orang-orang Yahudi pada waktu itu.  Di satu sisi mereka yakin bahwa janji YHWH kepada Israel pasti akan digenapi ketika umat mengerjakan tanggung jawab mereka dengan setia dalam hal melakukan hukum-hukum (Taurat) yang YHWH berikan.[45]  Namun di sisi lain, setelah sekian lama mereka kembali ke tanah milik mereka dan setia kepada Taurat, pemulihan yang mereka nantikan itu tidak juga kunjung tiba.  Kondisi ini menjadi pertanyaan yang tidak dapat dimengerti oleh bangsa Yahudi:  mengapa YHWH tidak juga bertindak; mengapa YHWH membiarkan bangsa pilihannya diperintah oleh bangsa kafir.  Kondisi ini jugalah yang membuat konsep Kerajaan Allah bangsa Yahudi berubah menjadi konsep nasionalisme sempit, yaitu bahwa YHWH akan membebaskan mereka dari penjajahan bangsa kafir dan mengembalikan status mereka sebagai sebuah bangsa merdeka dengan YHWH sebagai Raja mereka.[46]  Wright menggambarkan pemahaman nasionalisme sempit Israel ini dalam diagram berikut:[47]
Diagram ini menunjukkan pemahaman bangsa Yahudi saat itu bahwa hanya dengan intensifikasi pelaksanaan Taurat-lah; maka rescue yang YHWH janjikan itu akan mereka nikmati.[48]  Namun demikian, hal ini tidak mudah dilakukan karena bangsa Yahudi hidup berdampingan dengan bangsa-bangsa kafir yang tidak mengenal Taurat (pagan), dan bahkan dari antara mereka sendiri ada juga yang lebih memilih untuk hidup damai dengan penguasa pada waktu itu (renegade jews).[49]  Karena itulah muncul berbagai kelompok dalam masyarakat Yahudi—seperti misalnya kelompok Farisi, Saduki, Esenis, dan Zelot—yang masing-masing memiliki interpretasi yang berbeda-beda mengenai cara pelaksanaan Taurat; namun memiliki agenda yang sama yaitu untuk mempercepat rescue yang dijanjikan YHWH.[50]  Rescue yang dimaksud adalah pembebasan dari penjajahan, pemulihan tanah perjanjian milik mereka dan pembangunan kembali Bait Suci.[51]  Dalam konteks pengharapan inilah, bangsa Yahudi menantikan datangnya Mesias yang akan menggenapi pengharapan mereka tersebut.  Kehadiran Mesias ini menandakan bahwa suatu era yang baru, yaitu era Mesianik—the age to come—sudah tiba,[52] yang berarti juga pembebasan dari Romawi, pemulihan Bait Allah dan kebebasan menikmati tanah milik mereka sendiri.[53]  Pengharapan inilah yang dipegang erat oleh orang-orang Yahudi pada zaman Yesus, sehingga tidaklah mengherankan jika sering kali terjadi konfrontasi antara Yesus dengan tokoh-tokoh agama pada zaman-Nya.
            Jadi, dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Allah di dalam PL bukan berbicara mengenai kerajaan secara teritori dengan raja yang memerintah secara fisik; melainkan berbicara mengenai pemerintahan Allah atas umat-Nya.  Dalam rangka mewujudkan hal inilah, Allah memanggil Abraham dan keturunannya—Israel—untuk menjadi berkat bagi semua kaum di bumi ini.  Perjalanan sejarah Israel telah menyebabkan pemahaman mereka mengenai Kerajaan Allah terdistorsi menjadi pemahaman nasionalisme sempit.  Kerajaan Allah mereka pahami sebagai suatu momen di mana Allah akan memulihkan keberadaan mereka sebagai sebuah bangsa yang merdeka, yaitu ketika mereka melaksanakan Taurat dalam hidup mereka. 

KONSEP PEMURIDAN DALAM PERJANJIAN LAMA
Kata “murid” merupakan kata yang sangat jarang ditemukan penggunaannya di dalam PL.  Ini menyebabkan munculnya pendapat yang menyatakan bahwa konsep pemuridan sebenarnya tidak ada di dalam PL.  Rengstrof mengatakan,
If the term is missing, so, too, is that which it serves to denote.  Apart from the formal relation of teacher and pupil, the OT, . . . has no master-disciple relation.  Whether among the prophets or the scribes we seek in vain for anything corresponding to it.[54]

Bagian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa konsep pemuridan ada di dalam PL sekalipun terminologi “murid” atau “pemuridan” sangat jarang digunakan.[55]  Pembahasan dalam bagian ini akan dibagi menjadi dua bagian yaitu pertama, periode prapembuangan; dan kedua, periode pembuangan dan pascapembuangan. 

Periode Prapembuangan
Periode prapembuangan adalah periode di mana dalam kehidupan bangsa Israel tidak ada bentuk atau lembaga pendidikan secara resmi dan formal.  Pendidikan anak menjadi tanggung jawab orangtua, khususnya ayah.[56]  Ulangan 6:1-9 jelas menunjukkan bahwa orang tua bertanggung jawab penuh untuk mengajarkan shema Israel kepada anak-anak mereka.[57]  Pendidikan semacam ini menunjukkan pemuridan yang sedang berlangsung, walaupun tidak secara eksplisit digunakan istilah “murid” atau “pemuridan.”  Pemuridan dapat dikatakan merupakan sebuah alat yang digunakan untuk menjadikan seseorang sebagai murid.  Seorang murid adalah orang yang belajar dari seorang guru—atau pribadi lain yang berotoritas untuk mengajar—dan berkomitmen setia kepada sang guru dan pengajarannya.[58]  Dengan demikian, pendidikan yang diberikan oleh para orangtua bangsa Israel kepada anak-anak mereka dapat dikatakan merupakan sebuah bentuk pemuridan.
            Selain dari keluarga, seorang anak dapat memperoleh pendidikan dari para imam dan nabi.[59]  Hal ini diperlihatkan dalam 1 Tawarikh 25:8—melalui penggunaan kata talmidh (murid)—yang menunjukkan adanya relasi guru-murid di luar keluarga, khususnya di bidang musik.  Dalam bahasa Ibrani, kata talmidh mempunyai arti yang sama dengan maqhthj, yaitu seorang pelajar.  Kata ini berasal dari kata lamadh yang secara literal berarti mengajar seseorang.[60]  Selain itu, penggunaan kata limmûdh dalam Yesaya 8:16; 50:4; dan 54:13, juga menunjukkan adanya relasi guru-murid antara Yesaya dengan para muridnya.[61]  Samuel adalah salah satu contoh orang yang lebih banyak mendapat pendidikan dari luar keluarganya.  Alkitab mencatat bahwa sejak masih kanak-kanak—setelah melewati masa disapih (1Sam. 1:24)—Samuel telah diserahkan oleh Hana, ibunya, ke Rumah Tuhan di Silo, untuk menjadi pelayan Tuhan (1Sam. 1:28).  Di sana, Samuel belajar untuk melayani Tuhan di bawah pengawasan Imam Eli (1Sam. 2:11; 3:1).  Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa relasi antara Imam Eli dengan Samuel adalah relasi antara guru dengan murid atau relasi pemuridan.
            Sebenarnya relasi pemuridan di luar keluarga ini sudah dapat dilihat sejak zaman Musa.  Musa—seorang pemimpin bangsa Israel—dapat dikatakan sebagai seorang guru, karena ia menjalankan fungsi untuk mengajar dan mengarahkan bangsa Israel untuk hidup sesuai dengan kehendak YHWH.[62]  Demikian pula halnya dengan Yosua sebagai pengganti Musa.[63]  Relasi antara Musa dan Yosua juga menunjukkan relasi guru-murid, yaitu dari Musa kepada Yosua.[64]  Walaupun Yosua sering disebut sebagai abdi Musa (Kel. 24:13; 33:11; Yos. 1:1), hal ini tidak mengurangi atau pun menghilangkan relasi pemuridan di antara mereka, karena pada masa itu seringkali kepengikutan seorang murid kepada seorang guru diidentikkan dengan seorang hamba yang melayani tuannya.[65]
            Relasi pemuridan lainnya juga dapat dilihat dari kelompok-kelompok nabi yang ada di sekeliling Samuel dan Elisa.[66]  1 Samuel 19:20-24 mencatat bahwa Samuel bertindak sebagai seorang mentor yang mengarahkan kelompok nabi yang ada di sekelilingnya.  Demikian pula halnya dengan relasi antara Elisa dengan rombongan nabi yang ada bersamanya (2Raj. 4:1, 38; 5:22; 6:1; 9:1).  Baik Samuel maupun Elisa, memiliki otoritas yang lebih tinggi dari kelompok atau rombongan nabi yang ada bersama dengan mereka.  Menurut Wilkins, hal ini menunjukkan adanya relasi pemuridan yang berlangsung antara Samuel dan Elisa dengan kelompok atau rombongan nabi tersebut.[67]  Lagipula, tanggung jawab seorang nabi—yaitu menegur dan mengarahkan umat untuk berjalan pada jalan yang ditetapkan YHWH—menunjukkan bahwa nabi adalah guru, dan umat adalah murid.[68] 
            Jadi dapat disimpulkan bahwa pada periode prapembuangan, proses pemuridan sudah ada dan berlangsung di dalam kehidupan bangsa Israel, yaitu di dalam relasi antara orang tua dengan anak; dan juga antara imam atau nabi dengan individu tertentu ataupun dengan bangsa Israel secara keseluruhan.  Orangtua dan imam/nabi berperan sebagai seorang guru yang menuntun dan mengarahkan anak didik atau murid mereka untuk hidup sesuai dengan kehendak YHWH; taat kepada perintah-perintah YHWH dan berjalan pada jalan yang telah ditetapkan YHWH.  Inilah konsep pemuridan dalam periode prapembuangan. 

Periode Pembuangan dan Pascapembuangan
Selama periode pembuangan, pemuridan di dalam bangsa Israel masih dilakukan dengan cara yang sama dengan pemuridan di dalam periode prapembuangan, yaitu melalui keluarga dan juga para nabi.  Namun, di dalam periode pembuangan ini, semangat untuk belajar Taurat menjadi lebih meningkat karena mereka menyadari bahwa pembuangan yang mereka alami merupakan hukuman akibat ketidaktaatan mereka kepada YHWH dan hukum-hukum-Nya; dan satu-satunya cara agar mereka dapat kembali menikmati masa-masa kejayaan adalah dengan memelihara hukum-hukum YHWH.  Hal ini menyebabkan munculnya berbagai lembaga pendidikan resmi dalam kehidupan bangsa Israel setelah mereka kembali dari pembuangan.[69]
            Namun demikian, keberadaan lembaga pendidikan resmi ini tidak meniadakan peran keluarga di dalam mendidik anak.  Keluarga tetap menjadi institusi pendidikan yang mendasar di dalam kehidupan bangsa Israel.  Hal ini didasari oleh perintah yang diberikan YHWH di dalam Ulangan 6:7-9.[70]  Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam periode pascapembuangan, orang tua tetap memegang peranan penting di dalam mendidik anak-anak mereka.  Orangtua bertanggung jawab untuk menjadikan anak-anak mereka sebagai murid YHWH yang senantiasa taat kepada hukum-hukum YHWH.
            Selain dari keluarga, seorang anak juga dapat memperoleh pendidikan di luar keluarga, yaitu melalui sekolah-sekolah yang ada.  Pelajaran utama yang menjadi penekanan di dalam sekolah-sekolah tersebut—dan juga dalam pendidikan dalam keluarga—adalah hukum-hukum yang YHWH berikan, yang tercatat di dalam Kitab Taurat.[71]  Hal ini tidak mengherankan, karena—sebagaimana telah diungkapkan di atas—pembuangan bangsa Israel dari tanah perjanjian ke negeri asing penyembah berhala, dipahami sebagai suatu bentuk penghukuman akibat ketidaktaatan mereka kepada Taurat dan karenanya untuk mendapatkan kembali kejayaan masa lalu, satu-satunya hal yang harus mereka lakukan adalah kembali kepada Taurat (bdk. Neh. 8:1-19).  Oleh sebab itulah, yang menjadi standar dari pendidikan pada periode pascapembuangan ini adalah ketaatan dalam menjalankan Taurat tersebut.  Sosok ideal dari orang yang berpendidikan pada masa itu adalah ahli Taurat, yaitu mereka yang belajar dan taat kepada Taurat (bdk. Ezr. 7:10).[72]  Ketaatan kepada Taurat dipandang sebagai suatu bentuk pengabdian diri yang utuh kepada YHWH dan implikasinya adalah mereka harus memisahkan diri dari semua hal yang tidak berhubungan dengan YHWH.  Hal ini menyebabkan orang-orang Yahudi yang setia kepada Taurat memisahkan diri dari budaya-budaya Yunani yang mulai meresap masuk ke dalam kehidupan mereka.[73] 
            Di luar sekolah, sinagoge juga menjadi tempat untuk belajar Taurat.  Watson mengatakan bahwa pendidikan informal merupakan bagian yang sangat penting dari penyembahan di Sinagoge.[74]  Sinagoge mulai berkembang khususnya pada masa Israel berada di pembuangan, karena di pembuangan tidak ada Bait Allah tempat di mana mereka biasa berkumpul untuk berdoa dan belajar Taurat.  Swift mengatakan bahwa persembahan korban memang harus dilakukan di Yerusalem; namun berdoa dan belajar Taurat dapat dilakukan di mana saja.[75]  Oleh karena itu, tidak mengherankan jika perkembangan sinagoge ini cukup pesat.  Talmud bahkan mengklaim bahwa di Yerusalem saja—sebelum tahun 70 SM—sudah ada 480 sinagoge.[76]  Sinagoge pada periode pascapembuangan berfungsi sebagai tempat bagi seseorang untuk belajar Taurat, khususnya pada hari Sabat dan berbagai perayaan lainnya, karena pada momen-momen tersebut akan dibacakan Targum dari Pentateukh dan kitab para nabi.[77]  Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sinagoge merupakan salah satu lembaga pendidikan, di mana di dalamnya juga terjadi proses pemuridan, yaitu dengan tujuan untuk menjadi murid YHWH.
            Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada proses pemuridan di dalam periode pascapembuangan terjadi melalui relasi antara orang tua dengan anak, dan juga melalui keberadaan lembaga-lembaga pendidikan formal—yang sudah mulai berkembang pada masa itu.  Pemuridan di dalam periode pascapembuangan ini bertujuan untuk membawa bangsa Israel kembali kepada Taurat, dan dengan demikian mereka berharap kejayaan masa lalu Israel dapat mereka nikmati kembali.  Dengan kata lain, tujuan pemuridan tetap adalah untuk menjadi murid YHWH yang setia, dengan cara taat melakukan perintah-perintah YHWH dan hidup di dalam jalan yang telah ditetapkan-Nya.  

Kesimpulan
            Dari penjabaran di atas dapat dilihat bahwa sekalipun terminologi “murid” sangat jarang digunakan, konsep pemuridan tetap ada di dalam PL.[78]  Pemuridan di dalam PL dapat dilihat melalui pertama, relasi yang terjalin antar orang-orang dalam PL, misalnya antara orang tua dengan anak; antara nabi dengan umat; antara nabi dengan kelompok nabi yang ada bersamanya; dan sebagainya.  Kedua, pemuridan juga dapat dilihat melalui relasi guru dengan murid yang terjalin dalam sekolah-sekolah formal maupun sinagoge.  Adapun tujuan dari pemuridan tersebut adalah agar umat mengenal YHWH dan hukum-hukum-Nya serta melaksanakan hukum-hukum tersebut dalam kehidupan mereka.  Jadi, dapat disimpulkan bahwa konsep pemuridan di dalam PL adalah menjadikan seseorang atau suatu bangsa sebagai pengikut YHWH yang setia dan taat melakukan hukum-hukum yang YHWH berikan kepada mereka.


[20]Meier mengatakan, “. . ., it is certainly the OT that establishes the basic mythic story line later encapsulated in the set formula of ‘the kingdom of God’”(John P. Meier, A Marginal Jew: Rethinking The Historical Jesus [New York: Doubleday, 1994] 244); bdk. dengan Ladd yang menyatakan bahwa sekalipun para nabi tidak berbicara secara langsung mengenai Kerajaan Allah, realitanya adalah tema Kerajaan Allah tersebut ada dalam nubuatan mereka (G. E. Ladd, “Kingdom of God” dalam The International Standard Bible Encyclopedia 3 [Ed. Geoffrey W. Bromiley; Grand Rapids: Eerdmans, 1986] 25).  Breisch bahkan menyatakan bahwa tema keseluruhan PL adalah mengenai kingdom of God.  Dalam bukunya yang berjudul The Kingdom of God: A guide for Old Testament Study, ia membagi PL menjadi lima bagian besar, yaitu The Period of Theocratic Beginnings; The Period of Theocratic Establishment; The Period of Theocratic Development; The Period of Theocratic Decline; dan The Period of Theocratic Transition.  Ia bahkan mengatakan bahwa Kerajaan Allah adalah tema yang menjadi jalan raya untuk menuntun perjalanan mengarungi PL (Francis Breisch, The Kingdom of God: A Guide for Old Testament Study [Grand Rapids: Christian Schools International, 1958] 16).
[21]Dale Patrick, “The Kingdom of God in The Old Testament” dalam The Kingdom of God in 20th Century Interpretation (Ed. Wendell Willis; Peabody: Hendrickson, 1987) 68.  Hal yang sama juga diungkapkan oleh Bright dengan menyatakan, “. . . it is at once apparent that the idea is broader than the term, and we must look for the idea where the term is not present . . . the concept is by no means confined to the NT . . . it had a long history and is, in one form or another, ubiquitous in both OT and New” (John Bright, The Kingdom of God [New York: Abingdon, 1953] 18).
[22]Michael Lattke, “On The Jewish Background of The Synoptic Concept” dalam The Kingdom of God (ed. Bruce Chilton; Philadelphia: Fortress, 1984) 73.
[23]Dennis C. Duling, “Kingdom of God, Kingdom of Heaven” dalam Anchor Bible Dictionary Vol. 4 (ed. David Noel Freedman; New York: Doubleday, 1992) 50.
[24]“The Kingdom of God” 72.
[25]“Kingdom of God” dalam Jewish Encyclopedia 7 (Ed. Cyrus Adler, et al.; London: Funk & Wagnalls, 1901) 502.
[26]C. H. Dodd, The Parables of The Kingdom (New York: Charles Scribner’s Son, 1961) 21.  Bdk. dengan pernyataan Achtemeier, et. al. yang menyatakan bahwa kata Aramaik untuk Kerajaan Allah—yaitu malkut shemayim atau malkuta di elaha—memiliki penekanan pada God’s activity of reigning, in keeping with the OT emphasis on God as king and sovereign of all the nations of the world (Paul J. Achtemeier, et al., Introducing the New Testament: Its Literature and Theology [Grand Rapids: Eerdmans, 2001] 215).
[27]Konsep Kerajaan Allah bagi Israel bukanlah sebuah tempat yang nyaman di sorga setelah kematian di bumi ini—sebagaimana yang dipahami oleh banyak orang Kristen saat ini.  N. T. Wright mengatakan, “The phrase ‘kingdom of heaven,’. . . does not refer to a place, called ‘heaven,’ where God’s people will go after death” (The Challenge of Jesus: Rediscovering Who Jesus was and Is [Downers Grove: InterVarsity, 1999] 36).  Kesimpulan yang dapat diambil dari hal ini adalah bahwa bagi orang-orang Yahudi, Kerajaan Allah adalah sesuatu yang bersifat earthly, yaitu yang hadir di bumi ini bukan di suatu tempat di luar bumi.
[28]Wright mengatakan, “. . . the rule of heaven, that is, of God, being brought to bear in the present world” (ibid. 36-37).
[29]Meier, A Marginal Jew 2:245.  Selman mengatakan bahwa pendapat Mowinckel ini telah mengakibatkan terjadinya pemisahan antara konsep Kerajaan Allah dengan konsep YHWH sebagai Raja.  . . ., it is usually tacitly assumed that there is no real distinction between statements that Yahweh is King and that he has a kingdom.  As a result, little attentiton has been given to those passages which contain specific mention of Yahweh’s kingdom.  This failure to reckon with a separate concept is particularly evident in the case of the Psalms, where discussion has tended to be limited to the cultic implications of the so-called ‘Enthronement Psalms’” (Martin J. Selman, “The Kingdom of God in The Old Testament” dalam TynBul 40/2 [1989] 162).
[30]Jacob Neusner—seorang teolog Yahudi—juga mengungkapkan hal yang senada, dengan mengatakan, “The first kingdom of God was Eden” (“A Judaic Response to Forceful Grace” dalam Jewish-Christian Debates: Kingdom, Messiah [Minneapolis: Fortress, 1998] 153).
[31]Breisch, The Kingdom of God 24-25.
[32]Pemberontakan manusia terhadap Allah dalam Edenic Kingdom itu ditandai dengan tindakan manusia yang bertentangan dengan perintah yang Allah berikan kepada mereka, yaitu manusia mengambil dan memakan buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat (Kej. 3:6).  Wenham menyimpulkan tindakan manusia tersebut dengan mengatakan, “The human pair are shown usurping divine prerogatives as well as explicitly disobeying God’s express word” (Gordon J. Wenham, Genesis 1-15 [WBC; Waco: Word, 1987] 75).  Kisah mengenai kejatuhan edenic kingdom ini dapat dilihat dalam The Father’s According to Rabbi Nathan (Neusner, “A Judaic Response to Forceful Grace” 153-154).
[33]The New Testament and The People of God (London: SPCK, 1992) 223.  Dalam rangka mewujudkan kerajaan-Nya atas dunia ini, Allah memilih Abraham dan keturunannya—yaitu Israel—untuk menjadi agen yang membawa Kerajaan Allah itu hadir di bumi ini.  Sebagai agen, Israel terlebih dahulu dituntut untuk hidup sesuai dengan tuntutan Kerajaan Allah tersebut, yang diwujudkan dalam bentuk Taurat dan Bait Allah.  Taurat merupakan hukum-hukum yang Allah berikan yang mengatur tatanan kehidupan Israel sebagai umat Allah; dan Bait Allah merupakan representasi kehadiran Allah di bumi ini.
[34]Bagi orang Yahudi, “The first kingdom, at Eden, lasted but a moment and was lost.  The second began at Sinai and endures to this time” (Neusner, “A Judaic Response to Forceful Grace” 154).  Neusner juga mengungkapkan perbandingan konsep Kerajaan Allah dalam kekristenan dengan Yudaisme sebagai berikut: “Christianity’s kingdom of God concerns personal obedience in the private life; the Torah’s kingdom of Heaven speaks to the formation of a kingdom of priests and a holy people, a light to the nations, a community that embodies the Torah and realizes God’s will not in some one place but in every circumstances subject to God’s plan and will” (ibid. 155).  Kohler, yang juga adalah seorang rabi Yahudi mengatakan bahwa di gunung Sinai ini jugalah Israel menerima the yoke of God’s kingdom yang senantiasa mereka ingat setiap kali mereka mengucapkan Shema (“Kingdom of God” 502).  Neusner mengatakan bahwa the yoke of God’s kingdom ini sama artinya dengan the dominion of God (“Living under the Yoke of the Kingdom of Heaven” dalam Jewish-Christian Debates 101).
[35]Breisch mengatakan, “There is a purpose . . . stresses the fact that the nation about to be organized is distinct from other nations.  It is a theocracy” (The Kingdom of God 39).
[36]Kata “anak” yang digunakan dalam bagian ini berasal dari kata Ibrani !Be dapat berarti “anak,” “cucu,” atau “anggota dari sebuah kelompok” (Elmer A. Martens, “!Be dalam Theological Wordbook of the Old Testament [Eds. R. L. Harris, et. al.; Chicago: Moody, 1980] 113).  Tampaknya pemaknaan yang tepat untuk bagian ini adalah “anggota dari sebuah kelompok” (ibid. 114).  Jadi, yang dimaksud dengan “kegagalan anak-anak Samuel” adalah kegagalan para murid Samuel di dalam melanjutkan pelayanan Samuel.
[37]Setelah Yosua meninggal, generasi selanjutnya dari Israel dipimpin oleh para hakim.  Samuel pun dicatat menjalankan fungsi sebagai hakim, yaitu memerintah atas Israel (1Sam. 7:15-17).  Caragounis mengatakan, “The rule of God over Israel is especially exemplified in the time of the judges who functioned as his representative” (C. C. Caragounis, “Kingdom of God/Heaven” dalam Dictionary of Jesus and The Gospels [eds. Joel B. Green, et al.; Downers Grove: InterVarsity, 1992] 418).
[38]YHWH sebenarnya sudah mengantisipasi permintaan ini dengan menetapkan hukum tentang seorang raja (Ul. 17:14-20), yang mengatur standar-standar yang harus dipenuhi oleh seorang raja yang terpilih.  Jadi sebenarnya, YHWH tidak menolak konsep raja-manusia. 
Motivasi yang mendasari permintaan ini telah menunjukkan dengan jelas bahwa Israel telah melupakan status mereka yang dideklarasikan YHWH di Gunung Sinai, yaitu sebagai harta kesayangan YHWH, kerajaan imam dan bangsa yang kudus milik YHWH (Kel. 19:5-6).  Israel sebagai harta kesayangan YHWH maksudnya adalah, “Israel become uniquely Yahweh’s prized possesion by their commitment to him in covenant” (John I. Durham, Exodus [WBC; Waco: Word, 1987] 263).  Israel sebagai bangsa yang kudus maksudnya adalah, Israel represents a third dimension of what it means to be committed in faith to Yahweh: they are to be a people set apart, different from all other people by what they are and are becoming—a display-people, a showcase to the world of how being in covenant with Yahweh changes a people (ibid.).  Dengan demikian, sebagai kerajaan imam; maka Israel was always supposed to be: a kingdom run not by politicians depending upon strength and connivance but by priests depending of faith in Yahweh, a servant nation instead of a ruling nation (ibid.).  Kesimpulan yang dapat diambil dari penjabaran ini adalah bahwa tujuan YHWH ketika memilih dan mengkhususkan Israel menjadi bangsa pilihan-Nya adalah agar Israel menjadi contoh bagi bangsa-bangsa lain di sekitarnya yang belum mengenal YHWH sehingga akhirnya mereka pun mengenal YHWH dan menempatkan YHWH sebagai Raja mereka juga.  Wright bahkan menyatakan, “Israel was not just to be an ‘example’ of a nation under God; Israel was to be the means through which the world would be saved” (The Challenge 35).
[39]Permintaan Israel ini juga menunjukkan bahwa mereka menolak the yoke of God’s kingdom yang telah mereka terima di Gunung Sinai.  Meminta seorang raja-manusia berarti lebih memilih berada di bawah pemerintahan raja-manusia tersebut daripada berada di bawah pemerintahan YHWH yang berdaulat.  Hal ini juga menunjukkan bahwa Israel telah melupakan janji mereka untuk taat sepenuhnya kepada YHWH (Kel. 19:8).  Patrick mengatakan, “The people, by asking for a human king, are rebelling against YHWH.  The strict theocracy that began with Moses and endured through the period of the judges was being repudiated” (The Kingdom of God 74).  Lebih lanjut, ia juga mengatakan, “The offer [janji YHWH kepada Israel] and its acceptance put in force a structure of authority in which YHWH has the sole authority to command, and the people of Israel are bound by pledge to obey him” (ibid. 75) [tambahan oleh penulis]. 
[40]Ibid. 74.
[41]Caragounis mengatakan, “With the accession of David to the throne, however, the situation was somewhat normalized and the king was understood to reign as Yahweh’s representative and be under Yahweh’s suzerainty.  In other words, the monarchy was looked upon as the concrete manifestation of Yahweh’s rule” (“Kingdom of God/Heaven” 418).  Goldsworthy mengungkapkan hal yang senada dengan menyatakan, “The rule of the Davidic kings is representative of the rule of God over his kingdom” (G. Goldsworthy, “Kingdom of God” dalam New Dictionary of Biblical Theology [eds. T. Desmond Alexander, et al.; Downers Grove: InterVarsity, 2000] 619).
[42]David A. deSilva mengatakan, “Since departure from the covenant was deemed to be the cause of these misfortunes, careful observance or the Torah came to be viewed as the path to recovery” (An Introduction to The New Testament: Contexts, Methods and Ministry Formation [Downers Grove: InterVarsity, 2004] 39).
[43]Breisch mengatakan “The Exile had ended the theocratic nation.  But God had not cast off His people. . . .  He gathered a remnant . . . and brought them back to the land which He had given them” (The Kingdom of God 219-220).
[44]Orang-orang yang kembali dari pembuangan ini—menurut Josephus lebih tepat disebut sebagai Jews bukan lagi Israelites, karena the changes that resulted from the loss of the land and political autonomy in the Babylon invasion shaped Israel in decisive ways (Achtemeier, et  al., Introducing the New Testament 32).  Dengan demikian, maka untuk penulisannya selanjutnya akan digunakan istilah orang-orang Yahudi.
[45]DeSilva menyatakan keyakinan bangsa Yahudi ini sebagai berikut, “God would bring God’s promises to pass; the role of the community was simply to keep faith with this God through diligent observance of God’s law” (An Introduction to The New Testament 50).
[46]Konsep nasionalisme sempit ini telah menggeser maksud Allah pertama kali memanggil dan mengkhususkan Israel sebagai bangsa pilihan-Nya, yaitu Israel is to be the creator’s means of bringing his wise order to the created world (Wright, The New Testament 223). 
[47]Ibid. 222.
[48]Sehubungan dengan pemahaman bangsa Yahudi ini, DeSilva mengatakan, “Many Jews regarded the intensification of attention to the doing of Torah and bringing every aspect of their lives into line with the law of God as the paramount strategy to attaining the well-being of the nation and of individuals. . . .  Only by returning with a whole heart to Torah, the covenant, can Israel enjoy a future of blessing and peace” (An Introduction to the New Testament 51).  Rescue yang dimaksud dalam diagram tersebut harus dimengerti dalam pemahaman istilah “salvation” dalam budaya Yahudi, yaitu has to do with rescue from the national enemies, restoration of the national symbols, and a state of shalom in which every man will sit under his vine or fig-tree (Wright, The New Testament 300). 
[49]Mungkin salah satu orang yang termasuk di dalam kelompok ini adalah Matius, yang berprofesi sebagai pemungut cukai (Mat. 9:9-13 bdk. Mrk. 2:13-17 dan Luk. 5:27-32, yang menggunakan nama Lewi).  Nama Lewi—yang digunakan dalam Injil Markus dan Lukas—kemungkinan adalah nama suku, yang mengindikasikan bahwa Matius sebenarnya adalah seorang Yahudi dari suku Lewi (R. T. France, Matthew [TNTC; Leicester: InterVarsity, 1985] 33).  Pemungut cukai adalah profesi yang dipandang hina oleh orang-orang Yahudi pada masa itu, karena seorang pemungut cukai adalah orang yang bekerja untuk pemerintah Roma, dan sering kali mereka juga mengambil keuntungan dari pekerjaan mereka itu untuk memperkaya diri mereka (Craig S. Keener, The IVP Bible Background Commentary: New Testament [Downers Grove: InterVarsity, 1993] 69-70, 140-141, 831).
[50]Kelompok Farisi sangat menekankan pada detil-detil pelaksanaan Taurat, bahkan terkadang terkesan sangat ekstrem.  Bagi mereka, tafsiran terhadap Taurat itu memiliki otoritas yang sama tingginya dengan Taurat itu sendiri.  Philo menyebut kelompok ini sebagai kelompok yang full of zeal for the laws, strictest guardians of the ancestral traditions (Wright, The Challenge 57).  Visi mereka adalah agar Israel kembali menjadi kerajaan Imam milik YHWH sebagaimana yang dahulu telah dideklarasikan YHWH di Gunung Sion (DeSilva, An Introduction to The New Testament 82).  Kelompok Saduki adalah kelompok yang menekankan kerjasama dengan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu.  DeSilva mengatakan bahwa mereka appear to have occupied the upper levels of the aristocracy or to have concerned themselves mainly with influencing the Jewish ruling classes (ibid. 83).  Kelompok Esenis adalah kelompok yang menekankan mengenai praktik kemurnian dan kesucian hidup.  Wright menyebut kelompok ini sebagai kelompok quietist, dengan semangat, “. . . separate yourself from the wicked world and wait for God to do whatever God is going to do” (The Challenge 37).  Kelompok Zelot adalah kelompok yang berpendapat bahwa rescue itu akan semakin cepat terealisasi melalui perjuangan secara fisik.  Semboyan yang melandasi perjuangan mereka adalah No King but God (N. T. Wright, Jesus and The Victory of God [Minneapolis: Fortress, 1996] 203-203).  Semboyan ini secara khusus menjadi slogan yang membakar semangat revolusi mereka—“. . . say your prayer, sharpen your swords, make yourselves holy to fight a holy war, and God will give you a military victory. . . .” (Wright, The Challenge 37).
[51]Wright mengatakan, “. . ., the fundamental Jewish hope was for liberation from oppression, for the restoration of the Land, and for the proper rebuilding of the Temple” (The New Testament 299).
[52]Waktu dalam pemahaman orang Yahudi terbagi menjadi dua, yaitu masa sekarang (the present age) dan masa yang akan datang (the age to come).  Bagi mereka, masa sekarang adalah masa yang penuh dengan kesengsaraan; masa kesuksesan orang-orang jahat; dan masa di mana Israel belum sempurna menjalankan Taurat.  Sementara masa yang akan datang adalah masa di mana Israel akan dipulihkan; orang-orang jahat akan menerima balasan setimpal dengan perbuatan mereka; dan masa di mana Israel akan kembali melaksanakan Taurat dengan sempurna (ibid. 299-300). 
[53]Ibid. 300.
[54]Karl H. Rengstrof, “maqhthj” dalam TDNT 4 [Ed. Gerhard Kittel; Grand Rapids: Eerdmans, 1964] 427.  Wilkins membantah pandangan Rengstrof ini dengan mengatakan bahwa keraguan Rengstrof mengenai konsep pemuridan di dalam PL—selain karena tidak adanya istilah “murid” dalam PL—adalah karena he understands discipleship as falling into an either/or dichotomy (it is either a discipleship of the Sophistic and Rabbinic modes, or discipleship or Israel to Yahweh), and partly because he thinks that discipleship to a person necessarily preempts the place of the covenant relationship between God and Israel (Michael J. Wilkins, Discipleship in The Ancient World and Matthew’s Gospel [Grand Rapids: Baker, 1995] 51).
[55]Wilkins mengatakan, “. . . even though the terms for disciple are not found in abundance in the Old Testament, various relationships in Israel were true “discipleship” relations since they share universal characteristics of discipleship relations” (Discipleship in The Ancient 52).
[56]Swift mengatakan, “Parents and relatives were the child’s almost sole teachers in private life” (Flechter Harper Swift, Education in Ancient Israel: From Earliest Times to 70 A.D. [Chicago: The Open Court, 1919] 19).
[57]Bdk. Ul. 4:9-10; Kel. 12:26-27; dan Yos. 4:21-22.
[58]Wilkins menyebutkan beberapa karakteristik yang mengindikasikan berlangsungnya sebuah pemuridan, yaitu antara lain learning, commitment to one person or teaching, personal life involvement (Wilkins, Discipleship in The Ancient 52).
[59]Pendidikan yang diperoleh di luar keluarga ini selain berupa keahlian-keahlian tertentu—seperti misalnya dalam bidang industrial and physical training: agriculture, cattle-raising and grazing, fishing, mining, building, carpentry and wood-working, metal-work, spinning, weaving, dyeing, tanning, tent-making, pottery-making, making of tools to be used in trades and crafts; dalam bidang military training; dalam bidang athletics and games; dalam bidang music, dancing; dan dalam bidang oral literature (Swift, Education in Ancient Israel 23-25)—juga khususnya dalam bidang religius, yaitu ketaatan kepada YHWH; hidup selaras dengan kehendak YHWH yang telah dinyatakan melalui perintah-perintah-Nya kepada umat.
[60]Francis Brown, The New Brown-Driver-Briggs-Gesenius Hebrews and English Lexicon (t.k.: Christian Copyrights, 1983) 541.
[61]Kata limmûdh ini merupakan kata sifat yang memiliki arti “taught” atau “as disciples” (Wilkins, Discipleship in the Ancient 46-47).  Memang kata ini tidak menjadi istilah yang secara umum digunakan untuk menunjuk kepada “murid,” namun penggunaan kata ini sebanyak tiga kali dalam kitab Yesaya menunjukkan adanya relasi guru-murid di dalam PL, secara khusus di luar keluarga.
[62]Israel dapat dikatakan secara tidak langsung menjadi murid dari Musa—yang secara langsung ditunjuk YHWH untuk memimpin Israel—yaitu murid yang belajar untuk mengikut YHWH dan yang belajar untuk berjalan pada jalan yang YHWH tetapkan (Ul. 5:28-33).
[63]Yosua juga menjalankan peran yang sama seperti yang Musa lakukan terhadap Israel, yaitu menuntun dan mengarahkan umat agar hidup selaras dengan perintah-perintah YHWH (Yos. 23-24).
[64]Relasi yang sama juga terjalin antara Elia dan Elisa (1Raj. 19:19-20).  Perintah YHWH kepada Elia untuk mengurapi Elisa menjadi penggantinya (1Raj. 19:16) menunjukkan kesamaan antara Elisa dengan Yosua.  YHWH juga memerintahkan Musa untuk mengurapi Yosua sebagai penggantinya (Bil. 27:18-20).  Di dalam mengikuti Elia, Elisa dengan jelas menunjukkan kesetiaan seorang murid kepada gurunya: ia menyatakan komitmennya untuk tidak akan meninggalkan Elia (2Raj. 2:2); ia juga menyatakan kesiapannya untuk meneruskan pelayanan Elia (2Raj. 2:9).  Semua ini menunjukkan dengan jelas bahwa Elisa adalah murid dari Elia, dan dengan demikian, relasi antara mereka adalah relasi pemuridan. 
[65]Gerhard Kittel mengatakan, “The disciple follows his masters as a servant in the strict sense” (“akolouqew” dalam TDNT 1:213).  Ia juga menyatakan bahwa pemahaman ini berlanjut dalam era rabinikal, di mana tradisi mencatat bahwa the rabbi or rabbis going ahead, perhaps riding on an ass, and their pupils following on behind at an appropriate distance (ibid.).
[66]Dari 1Sam. 8:4-5 juga dapat dilihat bahwa Samuel memiliki sekelompok murid, yang kemudian diangkatnya untuk meneruskan pelayanannya sebagai hakim di Israel.
[67]Wilkins mengatakan, “There is a degree of authority of Elisha [dan juga Samuel] over these prophets, and they appear to follow his [baik Elisa maupun Samuel] leadership . . . the relationship may be designated as a form of discipleship. . . .” (Discipleship in The Ancient 60) [tambahan oleh penulis].
[68]Swift mengatakan, “The prophets were wandering teachers.  In their own eyes and in the eyes of the people, they were Yahweh’s divinely commissioned messengers” (Education in Ancient Israel 37). 
[69]Swift mengatakan, “Educational zeal resulted in an ever-increasing tendency to organize and institutionalize education” (ibid. 76).
[70]Swift mengatakan, “Even the rise of a system of elementary schools devoted to the task of daily religious instruction did not free the home of this its most important responsibility” (ibid. 50).
[71]Swift mengatakan, “The Law, in other words religion, and with it morality, became the supreme interest, the chief study and all-determining force in public and in private life at home and in school” (ibid. 77).  Moore juga mengungkapkan bahwa sekolah dalam Yudaisme merupakan sebuah institusi untuk mengajarkan pendidikan religius (George Foot Moore, Judaism [Peabody: Hendrickson, 1997] 308).  Duane F. Watson juga mengungkapkan pendapat yang senada, “The study of the Torah was the main component of all the stages of Jewish education. . . .” (“Education: Jewish and Greco-Roman” dalam Dictionary of New Testament Background [Eds. Craig A. Evans & Stanley E. Porter; Downers Grove: InterVarsity, 2000) 311. 
[72]Swift, Education in Ancient Israel 78. 
[73]Swift mengatakan, “. . ., the faithful Jews not only remained indifferent to the physical, esthetic and intellectual interests of their pagan conquerors but studiously excluded them from their schools and from their ambitions” (ibid. 78-79).  Bahkan olahraga fisik—yang berpusat di gymnasium—pada waktu itu juga dipandang sebagai suatu bentuk penyembahan berhala, karena olahraga fisik yang dilakukan diiringi dengan persembahan kepada berhala.  Swift mengungkapkan bahwa the faithful Jews looked upon the Greek physical sports with abhorrence, and the establishment of Greek gymnasia, far from introducing physical training into Jewish education, led to an identification of physical education with paganism and to a consequent hostility to it (ibid. 79).
[74]Watson, “Education” 312.
[75]Swift, Education in Ancient Israel 87.
[76]Edwin M. Yamauchi, “Synagogue” dalam DJG 782.
[77]Watson, “Education” 312.  Moore juga mengungkapkan bahwa bagi orang-orang Yahudi, the synagogue was a place for instruction in the truths and duties of revealed religion. . . .” (Judaism 285).
[78]Penggunaan kata talmidh dan limmûdh merupakan bukti yang menunjukkan bahwa terminologi “murid” ada di dalam PL.  Kedua kata ini juga menjadi dasar bagi Wilkins untuk menyatakan bahwa keragu-raguan Rengstrof terhadap konsep pemuridan di dalam PL tidak tepat karena walaupun jarang digunakan, istilah “murid” itu tidak sepenuhnya absen dari dalam PL.  Wilkins mengatakan, “. . . even though ‘disciple’ terminology is rare in the Old Testament, the use of talmidh and limmûdh suggests at least some evidence of master-disciple relationship in Israel” (Discipleship in the Ancient 46-47).

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai dengan topik yang dibahas..