Lensa Rasio-Menjadi Murid Yang Memuridkan







BAB I

PENDAHULUAN





Latar belakang Masalah
Esensi pemuridan adalah menjadikan seseorang serupa dengan Kristus.[1]  Proses menjadi serupa dengan Kristus diawali dengan “titik balik perubahan hidup” yang disebut pertobatan.  Pertobatan menyebabkan orientasi hidup dan motif-motif terdalam di dalam hidup seseorang menjadi berubah secara total.  Sebelum ia bertobat, orientasi dan motif-motif dasar hidupnya akan selalu berpusat pada dirinya sendiri.  Namun ketika seseorang benar-benar bertemu dengan Kristus dan bertobat serta menerima-Nya sebagai Tuhan, semua orientasi dan motif-motif terdalam di dalam dirinya akan diarahkan kepada Allah dan kepada Kristus.
Proses pemuridan sesungguhnya dimulai sejak seseorang mengalami titik balik perubahan hidup.  Ketika seorang pemimpin KTB[2] telah menemukan titik balik dalam hidup anggota yang dimuridkan, maka ia akan semakin mampu mengembangkan pola pemuridan kepada anggota-anggota kelompoknya.  Dapat ditekankan di sini bahwa totalitas proses pemuridan/kemuridan sangat ditentukan oleh sejauh mana anggota-anggota kelompok di dalamnya mengalami titik balik perubahan hidup.[3]
Setelah titik balik perubahan hidup, maka seorang pemimpin KTB berorientasi kepada pertumbuhan rohani anggotanya.  Melalui pertumbuhan tersebut, diharapkan anggota KTB memiliki kerinduan untuk melayani dan akhirnya bermultiplikasi menjadi pemimpin KTB yang memuridkan orang lain.
Namun ternyata ditemukan kondisi pemuridan yang stagnan, seperti yang diungkapkan oleh Yusuf Deswanto:
. . . perkembangan pelayanan KTB di berbagai kota saat ini ibarat berjalan di dalam sebuah ironi.  Di satu sisi, berbagai strategi pembenahan dan pengembangan KTB telah dilakukan dengan sangat rapi, terpola, dan simultan. Dari “sekadar” berkumpul, PA, dan kemauan melakukan proyek ketaatan seadanya, saat ini di berbagai daerah telah dikembangkan berbagai “perangkat” untuk meningkatkan kualitas KTB; dari kurikulum, buku kerja pemimpin KTB, hingga pola pembinaan yang berkesinambungan bagi pemimpin dan calon pemimpin KTB.  Namun di sisi lain, setiap tahun masih terdapat banyak data kelompok yang macet, bahkan beberapa nama anggota KTB yang gugur di tengah jalan.[4]

Kondisi stagnan itu juga ditandai dengan masalah adanya anggota KTB yang tidak memiliki kerinduan untuk memuridkan, sehingga kurang terjadi kontinuitas[5] dalam pelipatgandaan proses pemuridan.
Kondisi pemuridan yang stagnan harus diubah.  Dalam hal ini peran pemimpin KTB sangat diperlukan untuk memutuskan “rantai kemandegan spiritualitas dalam proses pemuridan tersebut.  Pemimpin KTB selayaknya semakin mengenal dan mendorong anggota kelompoknya kepada perubahan orientasi hidup yang total, dan mengarahkannya kepada pertumbuhan rohani yang sejati.  Untuk mencapai hal ini, seorang pemimpin KTB menginvestasikan hidupnya ke dalam hidup orang-orang yang dimuridkannya.  Hal ini sejalan dengan teladan Yesus Kristus sendiri yang menginvestasikan hidup-Nya secara khusus kepada para murid-Nya.[6]  Karena itu, solusi yang tepat untuk akar permasalahan stagnasi tersebut adalah seorang pemimpin KTB meneladani proses pemuridan yang Tuhan Yesus lakukan terhadap murid-murid-Nya.
Robert Coleman dalam The Master Plan of Evangelism memberikan delapan prinsip yang Yesus pakai untuk melengkapi murid-murid-Nya:[7] (1) Pemilihan: Yesus memilih sekelompok murid dari antara para pengikut-Nya untuk melatih mereka secara lebih efektif; (2) Persekutuan: Yesus tinggal bersama mereka di dalam suatu perkumpulan dan mereka mengikuti-Nya ke mana pun Ia pergi; (3) Pengabdian: Yesus menuntut mereka menaati-Nya; (4) Penyerahan Diri: Yesus bukan hanya meminta mereka untuk taat, Ia sendiri menunjukkan bagaimana Ia mengasihi mereka; (5) Perwujudan: Semasa hidup-Nya, bersama para murid-Nya, Ia menunjukkan keagungan-Nya, sikap-Nya terhadap Allah Bapa dan manusia dalam pelayanan; para murid belajar dari Yesus dengan melihat apa yang Ia lakukan; (6) Pengutusan: Yesus tidak hanya mengajar dan menunjukkan bagaimana melayani, Ia juga memberi tugas yang harus dikerjakan dan memberi kesempatan kepada para murid-Nya untuk menerapkan apa yang telah mereka pelajari; (7) Pembimbingan: Yesus juga mengevaluasi dan mengoreksi pelayanan para murid-Nya sehingga mereka bisa melayani lebih efektif; (8) Pelipatgandaan: Harapan Yesus dalam melatih para murid-Nya adalah agar mereka juga bisa menghasilkan murid-murid lainnya.
Dari prinsip-prinsip di atas, Bob Jokiman menyimpulkan bahwa pola pelatihan Yesus bisa diringkas sebagai berikut:[8] pertama, pelatihan dalam kehidupan. Dalam pelatihan ini, Ia ingin para murid-Nya tinggal dan bepergian bersama-Nya sebagai satu kelompok, serta belajar dari kehidupan-Nya sehari-hari dan sifat-Nya.  Mereka bertumbuh melalui apa yang mereka lihat pada Guru mereka.  Kedua, pelatihan dalam pengajaran.  Melalui pengajaran-Nya, baik yang terbuka untuk umum ataupun secara pribadi, para murid memperoleh banyak pelajaran kebenaran, baik teori maupun praktik.  Ketiga, pelatihan dalam pelayanan.  Para murid Yesus belajar bukan hanya mendengar pengajaran-Nya dan melihat guru mereka, tetapi mereka juga memiliki kesempatan untuk berpraktik ketika diutus untuk memberitakan Injil, menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan.  Melalui semuanya itu, mereka mengembangkan kemahiran mereka dalam pelayanan.
Dalam waktu tiga setengah tahun, Tuhan Yesus telah meletakkan dasar bagi pola pemuridan yang seharusnya menjadi pola pemuridan yang kita lakukan pada zaman ini.  Sangat dibutuhkan pemimpin KTB yang memahami secara mendalam[9] dan menerapkan apa yang Yesus lakukan dalam pola pemuridan-Nya.  Melalui usaha pemimpin KTB tersebut, niscaya akan dapat mengatasi stagnasi dalam proses pemuridan yang dipercayakan kepadanya.  Ia harus menyadari bahwa proses pemuridan bukan hanya melibatkan usaha/kemampuan dirinya, namun juga melibatkan Sang Gembala Agung, yang memiliki kuasa atas hati manusia.[10]
Usaha untuk memahami secara mendalam dan menerapkan pola pemuridan yang Yesus lakukan merupakan suatu usaha untuk menemukan teologi pemuridan Yesus.  Pendekatan yang dapat kita lakukan adalah menggali secara alkitabiah pola pemuridan Yesus yang terdapat dalam kitab Injil.  Secara khusus penulis akan menekankan teologi pemuridan dalam kitab Markus.  Tema pemuridan sangat menonjol dalam kitab Markus, seperti pendapat Marvin Meyer: “The theme of discipleship is a particularly poignant one in the gospel of Mark in the light of strong emphasis upon discipleship. . . .[11]  Hal ini ditegaskan pula oleh Larry W. Hurtado:
The Gospel of Mark is manifestly a narrative about Jesus.  It is also, however, about Christian discipleship, or what it means to be a follower of Jesus.  Two types of material in Mark are generally recognized as reflecting this latter concern: (1) teaching on discipleship that is directed to the disciple/readers and (2) the portrayal of the Twelve, which seems also to have a strongly didactic purpose behind it.  Furthermore, as we will argue later, in his portrayal of Jesus evangelist was concerned to clarify the nature of discipleship.  So the themes of Christology and Discipleship in Mark’s Gospel go hand in hand.[12]
Narasi dari kitab Markus dimaksudkan untuk memberikan pengajaran tentang petunjuk bagaimana pembaca kitab ini hidup sebagai pengikut Kristus.  Interaksi Yesus dengan kedua belas murid-Nya juga memberi pengajaran kepada pembaca kitab ini bagaimana mengikut Kristus atau menjadi murid-Nya.[13]  Jadi, unsur pengajaran menjadikan seseorang murid Kristus adalah maksud dari kitab Markus ini.
Pola pendekatan yang penulis bangun untuk menemukan teologi pemuridan dalam kitab Markus adalah menyimak perintah Tuhan Yesus yang langsung ditujukan kepada murid-murid-Nya dan bagaimana respons murid-murid terhadap perintah tersebut.  Perintah-perintah Yesus merupakan sebuah rangkaian kronologis karena Injil Markus disusun secara kronologis.[14]  H. B. Swete memberi argumentasi tentang Injil Markus disusun secara kronologis, “. . . there are indications of the writers desire to follow the order of events, as far as his information permitted him to do so.  It is shewn by the notes of time and place which continually occur.”[15]  Kemudian Swete meneruskan dengan mencatat referensi waktu dan tempat sembilan pasal Injil yang pertama dan menyimpulkan, “It is imposible to resist the impression that writer who constructed this hain of sequence believed himself to presenting his facts upon the whole in the order of their actual occurrence.”[16] 
Karena Injil Markus disusun secara kronologis, maka penulis berasumsi bahwa perintah-perintah Yesus kepada murid-murid-Nya disesuaikan dengan tingkat kemajuan atau perkembangan pengenalan murid-murid terhadap Yesus.  Perintah Yesus di awal pemanggilan murid-murid memiliki penekanan tertentu dibandingkan dengan perintah-perintah Yesus pada tahap pembinaan dan pengutusan murid-murid-Nya.  Setiap penekanan dari perintah-perintah tersebut mengandung maksud Yesus untuk membentuk mereka dalam sebuah proses pemuridan.  Tuhan Yesus memberi perintah kepada murid-murid agar mereka mengerti kehendak Tuhan dan menaatinya sehingga mereka menjadi semakin serupa dengan Kristus.  Dengan asumsi demikian, penulis mencoba untuk menemukan teologi pemuridan dengan menyimak perintah-perintah Yesus kepada murid-murid-Nya.
Dengan mengacu pada penjabaran di atas, penelitian ini berharap dapat mengungkapkan teologi pemuridan Yesus—sebuah kedalaman maksud Yesus terhadap proses pemuridan—sehingga memberikan inspirasi bagi pemimpin KTB masa kini. Inspirasi yang dimaksudkan ialah supaya dapat menggerakkan para pemimpin untuk melakukan pemuridan demi mengubah orang-orang yang dimuridkan, bertumbuh dan makin serupa dengan Kristus.  Mereka menjadi seorang yang memuridkan orang lain sehingga terjadi kontinuitas.  Amanat Agung dikerjakan, murid-murid dihasilkan dan proses pelipatgandaan akan terus bergulir sampai kedatangan Kristus yang kedua kali.  Murid-murid Kristus tersebut akan masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan dan menjadi agen transformasi kehidupan.


Rumusan masalah dan tujuan penulisan
Untuk mengarahkan penelitian ini dengan baik dan mencapai hasil yang diinginkan, maka perlu dilakukan perumusan terhadap masalah penelitian melalui beberapa pertanyaan berikut: Pertama, bagaimana perkembangan tahapan pemuridan di dalam kitab Markus?  Kedua, apakah ada perkembangan perintah Tuhan Yesus dan respons murid-murid dalam tiap tahap pemuridan serta makna teologis apa yang terkandung dari perintah-perintah dan respons tersebut?  Ketiga, apa implikasi makna perintah Yesus dan respons murid-murid tersebut, pada tiap tahapan pemuridan terhadap proses pemuridan masa kini?
Melalui beberapa pertanyaan investigasi di atas, penulis berharap dapat menghasilkan sebuah tulisan yang memberikan masukkan berharga bagi pemuridan masa kini, baik di lembaga pelayanan nongereja maupun gereja, untuk beberapa hal berikut: Pertama, memberikan gambaran tahapan pemuridan yang dilakukan Yesus dalam kitab Markus.  Kedua, menggali makna perintah Tuhan Yesus dan respons murid-murid dari konteks kitab Markus, latar belakang kehidupan dan pemikiran pada zaman-Nya.  Ketiga, menjawab kondisi stagnan yang terjadi dalam proses pemuridan dengan menemukan teologi pemuridan Yesus, yang dapat dipahami dan diterapkan oleh pemimpin KTB, yaitu dengan memberikan penekanan pemuridan yang Yesus lakukan.




BATASAN MASALAH

Dalam penulisan ini penulis membatasi penelitian terhadap ketiga batasan, sebagai berikut:  Pertama, perintah-perintah Tuhan Yesus yang akan diselidiki adalah perintah yang terdapat di dalam Injil Markus.  Kedua, perintah-perintah Tuhan Yesus yang dimaksud adalah perintah-perintah yang langsung ditujukan kepada murid-murid-Nya saja.  Ketiga, implikasi dari teologi pemuridan yang dihasilkan akan bermuara kepada pencarian solusi terhadap kondisi stagnasi multiplikasi KTB.

METODE PENELITIAN
Metode yang akan digunakan dalam melakukan penelitian untuk skripsi ini pada dasarnya adalah metode riset kepustakaan, yaitu sebuah penelitian di mana bahan-bahan yang digunakan dalam setiap bagian skripsi ini berasal dari literatur-literatur yang ada di perpustakaan dan internet.
Untuk menemukan teologi pemuridan dalam kitab Markus, penulis akan memperhatikan bagaimana perkembangan tahapan pemuridan yang Yesus lakukan dalam hal pemilihan dan pemanggilan, pembinaan dan pelatihan serta pelipatgandaan dan pengutusan murid-murid-Nya.  Dalam perkembangan tahapan itu, penulis akan melakukan studi terhadap perintah-perintah Tuhan Yesus dan respons murid-murid-Nya.  Analisis untuk menemukan teologi pemuridan ini didukung pula dengan studi terhadap kata-kata atau frasa-frasa tertentu yang merupakan kata-kata atau frasa-frasa kunci dari setiap perintah Tuhan Yesus tersebut.  Di samping itu, penelitian ini didukung oleh eksposisi latar belakang kehidupan maupun pemikiran yang berlaku pada saat penulisan Injil Markus maupun pada zaman Tuhan Yesus.

SISTEMATIKA PENULISAN
Pembahasan dari penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, dengan sistematika sebagai berikut: setelah memaparkan apa yang menjadi latar belakang dan signifikansi dari penelitian ini pada bab pertama, maka pada bab kedua penulis akan membahas tentang latar belakang dan sistematika penulisan serta konsep pemuridan menurut Injil Markus.  Penulis akan memaparkan konsep pemuridan dalam Injil Markus ditinjau dari perspektif pengajaran Yesus terhadap murid-murid-Nya dan penggambaran Markus tentang murid-murid Tuhan Yesus.  Uraian konsep pemuridan Injil Markus pada bab kedua ini, merupakan pandangan konsep pemuridan menurut beberapa ahli.  Kemudian pada bab ketiga, penulis akan meneliti perintah-perintah Tuhan Yesus dan respons murid-murid-Nya dalam Injil Markus.  Pertama, penulis akan meneliti perintah-perintah Tuhan Yesus dalam narasi pemanggilan murid-murid (1:16-6:6a).  Kedua, penulis akan meneliti perintah-perintah Tuhan Yesus dan respons murid-murid-Nya dalam narasi pendidikan murid-murid (6:6b-10:52).  Ketiga, penulis akan meneliti perintah-perintah Tuhan Yesus dan respons murid-murid dalam narasi wahyu yang dialami murid di Yerusalem (11-16). 
Bab keempat, penulis akan membahas tentang teologi pemuridan dan implikasinya terhadap proses pemuridan masa kini.  Setelah mengetahui teologi pemuridan Yesus, maka penulis akan mengimplikasikannya terhadap apa yang diharapkan dari seorang pemimpin KTB dalam proses pemuridan, yaitu: ia memahami dan mengaplikasikan arti panggilan menjadi dan menjadikan murid seumur hidup (prinsip pemilihan), ia menjadi pemimpin KTB yang memiliki jiwa seorang gembala (prinsip pembinaan) dan ia meningkatkan efektivitas multiplikasi KTB yang dipimpinnya (prinsip pelipatgandaan/pengutusan).
Bab kelima merupakan bagian penutup dari skripsi ini, yang akan mengemukakan kesimpulan dari keseluruhan penelitian ini dan juga saran-saran praktis bagi gereja atau lembaga nongereja yang melakukan proses pemuridan guna menghasilkan pemimpin-pemimpin KTB yang dapat memuridkan dan menghasilkan murid-murid.








BAB II

LATAR BELAKANG DAN SISTEMATIKA PENULISAN SERTA KONSEP
PEMURIDAN MENURUT INJIL MARKUS




Pada bab ini, penulis akan memaparkan latar belakang dan sistematika penulisan serta konsep pemuridan Markus menurut pandangan beberapa ahli.  Penulis tidak akan menguraikan pandangan ahli-ahli secara terpisah, namun menjadi satu kesatuan kesimpulan pada tiap bagian.  Penulis akan memaparkan konsep pemuridan berdasarkan perspektif pengajaran Tuhan Yesus dan penggambaran Markus tentang murid-murid.
Pembaca akan menemukan sekumpulan pengajaran yang mengesankan dari kitab Markus.  Gaya menulis Markus yang gamblang meninggalkan kesan bagi pembaca bahwa Injil ini adalah sebuah drama yang bergulir dengan cepat dengan salib sebagai klimaksnya.[17]  Markus mencatat bagian demi bagian, kisah demi kisah dalam latar narasi yang mengandung pengajaran bagi murid-murid-Nya dan bagi pembaca masa kini.  Penulis setuju dengan pendapat Michael J. Wilkins, “Mark writes to people who need experience the stark reality of Jesus, who need to have their lives touched and challenged by his message and his ministry.[18]  Markus ingin mengungkapkan bahwa tujuan hidup dan perkataan Tuhan Yesus adalah mentransformasi individu menjadi serupa dengan-Nya–Pribadi Yang Agung.  Tuhan Yesus memberi waktu selama tiga tahun lebih untuk mentransformasi murid-murid-Nya dalam sebuah proses pemuridan.

LATAR BELAKANG INJIL MARKUS
Tradisi menyamakan Markus dengan Yohanes Markus yang adalah kemenakan dari Barnabas (Kol. 4:3).[19]  Ia pernah menjadi teman seperjalanan dari Barnabas dan Paulus dalam tahap pertama perjalanan pekabaran Injil (Kis. 12:25; 13:5, 13), namun ia meninggalkan misi itu dan kembali ke Yerusalem.  Karena itu, Paulus tidak mau melibatkannya lagi dalam perjalanan misi yang selanjutnya.  Kemudian hari, terjadi rekonsiliasi—Markus diterima kembali sebab pelayanannya sangat penting bagi Paulus (2Tim. 4:11; Kol. 4:10; Fil. 24).  Markus menulis Injilnya di kota Roma.[20]  Salam Petrus dalam 1 Petrus 5:13 cenderung untuk meneguhkan pendapat ini, yaitu jika benar bahwa ‘Babilon’ merupakan metafora bagi Roma.[21]
Markus memperoleh informasi tentang kehidupan dan pekerjaan Yesus melalui pemberitaan rasul Petrus.[22]  Menjelang akhir abad kedua, ada seorang yang bernama Papias yang gemar mencari tahu dan meneruskan informasi sejauh yang ia peroleh mengenai kehidupan awal jemaat perdana.  Ia mengatakan bahwa Injil Markus tidak lain dari sebuah rekaman bahan khotbah Petrus, rasul terbesar.  Tentu saja Markus dekat sekali di hati Petrus sehingga Petrus menyebutnya, “Markus, anakku” (1Pet. 5:13).[23]  Jadi dapat dikatakan bahwa apa yang ada dalam Injil Markus adalah apa yang ia ingat dari bahan pemberitaan Petrus sendiri.
Injil ini agaknya ditulis untuk pembaca bukan Yahudi pada umumnya, dan orang Roma pada khususnya.  Kutipan dan kiasan dari PL dapat dikatakan sedikit; ungkapan-ungkapan dalam bahasa Aram diberi penjelasan (mis. 5:41), adat-istiadat Yahudi diterangkan (mis. 7:3,11); ada beberapa kata Latin.  Nada umum yang melukiskan kegiatan Tuhan yang tiada hentinya, dan kuasa-Nya atas roh jahat, penyakit dan maut, adalah nada yang dapat disukai oleh pembaca Romawi, yang lebih memperhatikan perbuatan daripada kata-kata.  Tidak dapat diragukan, bahwa tujuan penulis adalah untuk mencukupi kebutuhan jemaat Roma.  Ia ingin menguatkan iman mereka untuk menghadapi penderitaan dan penganiayaan yang akan datang.  Maksud utama Markus adalah penginjilan.[24]
Markus merupakan Injil pertama dengan beberapa alasan.  Pertama, kesesuaian di antara ketiga Injil sinoptik begitu dekat yang mendorong untuk mengambil salah satu dari dua kesimpulan berikut: apakah ketiga-tiganya memakai satu sumber yang sama ataukah dua dari tiga Injil itu didasarkan pada Injil yang satu.[25]  Kedua, Matius dan Lukas menggunakan Markus sebagai dasar bagi kitab Injil mereka.[26]  Ketiga, Matius dan Lukas sama-sama mengikuti urutan peristiwa yang ada dalam Markus.[27]  Terkadang Matius mengubah urutan Markus dan Lukas pun demikian.  Namun, manakala terjadi perubahan dalam urutan tidak pernah Matius dan Lukas bersama-sama melawan urutan Markus.  Selalu ditentukan bahwa salah satu dari mereka berdua mengikuti urutan peristiwa yang ada dalam Markus.[28]
Ada dua alasan kuat untuk mengatakan bahwa Injil Markus adalah kitab yang sangat penting.  Pertama, ia adalah kitab Injil tertua.  Jika ditulis tidak lama setelah Petrus meninggal dunia, waktu penulisannya adalah sekitar tahun 65 M.  Kedua, isinya adalah rekaman atas apa yang diberitakan dan diajarkan Petrus tentang Yesus.  Secara singkat dapat dikatakan bahwa Injil Markus adalah pendekatan terdekat terhadap laporan saksi mata mengenai kehidupan Yesus.[29]
B. F. Drewes mengatakan,
Markus menekankan dalam kitabnya bahwa Tuhan Yesus inilah yang pernah hidup dan bekerja di dunia ini sebagai manusia di tengah-tengah manusia.  Ia telah hidup secara konkrit dan nyata di dunia ini.  Tuhan Yesus inilah yang telah menderita dan disalibkan.  Dan kabar yang baik mengenai Tuhan Yesus tidak boleh dilepaskan dari kenyataan historis tersebut dan secara khusus tidak dari penderitaan dan salib-Nya.  Sebab itu hal penderitaan dan salib sangat ditekankan Markus.  Ia menyusun suatu kitab di mana pekerjaan, sabda-sabda dan penderitaan Yesus merupakan suatu kesatuan![30]


SISTEMATIKA PENULISAN INJIL MARKUS
Injil Markus dapat dibagi dalam dua bagian besar yaitu: pelayanan Yesus di Galilea (1:1-8:26) dan perjalanan Yesus ke Yerusalem dan penderitaan dan kebangkitan-Nya di sana (8:27-16:8).[31]
Injil Markus adalah narasi yang terdiri dari tiga bagian kisah yang diawali dengan sebuah judul (1:1) dan prolog (1:2-13).  Kisah bagian pertama di Galilea (1:14-8:21), bagian kedua dalam perjalanan ke Yerusalem (8:22-10:52) dan bagian ketiga di Yerusalem (11:1-16).[32]
Kisah bagian pertama ingin menekankan otoritas Yesus (1:16-3:12), pengajaran-Nya (3:13-6:6) dan misi-Nya (6:7-8:21).[33]  Bagian kedua menekankan instruksi Yesus kepada murid-murid-Nya tentang bagaimana pemuridan yang sesungguhnya.[34]  Sementara bagian ketiga menekankan hari-hari terakhir di Yerusalem (11:1-13:37) dan hari-hari penderitaan dan kebangkitan Yesus (14:1-16).[35]
Sistematika Injil Markus dengan pendekatan relasi antara Yesus dan murid-murid-Nya[36] dapat dibagi menjadi enam tahap.  Masing-masing tahap dimulai dan diakhiri dengan suatu adegan yang memperlihatkan Yesus sendirian dengan murid-murid-Nya.  Bersama-sama dengan para murid-Nya, Yesus mempersiapkan langkah berikutnya.[37]  Tahap pertama, dari panggilan keempat murid yang pertama sampai pengangkatan kedua belas murid (1:16-3:12).  Tahap kedua, dari pengangkatan kedua belas murid sampai pengutusan mereka (3:13-6:6a).  Tahap ketiga, dari pengutusan kedua belas murid sampai pengakuan iman Petrus (6:6b-8:26).  Tahap keempat, dari pengakuan iman Petrus sampai pemberitahuan Yesus mengenai sengsara (8:27-10:52).  Tahap kelima, Yesus berhadapan dengan Yerusalem (11:1-13:57).  Tahap keenam, pemberitahuan-pemberitahuan Yesus mengenai sengsara dan kebangkitan menjadi kenyataan (14:1-16:20).
Bila ditinjau dari sudut pengajaran Yesus terhadap murid-murid-Nya, seluruh Injil Markus agaknya dapat dibagi atas tiga bagian, yaitu:[38]  Pertama, panggilan murid-murid (1:16-6:6a)–setelah dipanggil, murid-murid itu membentuk suatu kelompok yang erat hubungannya dengan Yesus.  Lambat laun kelompok itu memiliki ciri-ciri tersendiri, berkat hubungannya dengan para musuh Yesus dan khalayak ramai (lihat tahap pertama dan kedua).  Kedua, pendidikan murid-murid (6:6b-10:52)–Yesus berusaha mendidik murid-murid-Nya.  Ia membantu mereka memahami siapakah Dia dan apakah karya-Nya serta tugas mereka.  Tetapi Markus menekankan pula bahwa murid-murid itu toh tidak memahami siapakah Yesus dan apakah karya-Nya.  Keadaan ini berlangsung sampai saat pengakuan iman Petrus.  Mereka tidak memahami pula “jalan yang menuju kemuliaan,” walaupun Petrus sudah mengakui Yesus sebagai Mesias (lihat tahap ketiga dan keempat).  Ketiga, wahyu yang dialami para murid di Yerusalem (11-16) (lih. tahap kelima dan keenam).



KONSEP PEMURIDAN DALAM INJIL MARKUS DARI PERSPEKTIF PENGAJARAN YESUS

Pengajaran Yesus dikemas Markus dalam narasi kepada pembacanya.[39]  Penulis akan mengungkapkan pengajaran Yesus dari beberapa narasi yang sangat kuat mengungkap tema pemuridan, yaitu: narasi pemanggilan murid-murid yang pertama (1:16-20); narasi panjang dalam sebuah inclusio yang terdapat pada pasal 8:22-10:52.

Pemanggilan Murid-murid yang pertama (1:16-20).
Dalam narasi yang seolah-olah tanpa makna ini, Yesus ingin mengajarkan bahwa menjadi murid-murid menyatakan secara tidak langsung penerimaan tuntutan dari Yesus.  Yesus tiba-tiba muncul menyusur danau dan memanggil Petrus dan Andreas untuk menjadi murid-murid-Nya.  Ini menunjukkan pemuridan adalah inisiatif dari Yesus dan sekaligus mendobrak kultur zaman itu di mana seorang muridlah yang mencari gurunya.[40]  Tidak terjadi unsur psikologis atau persiapan lainnya.  Mereka menjawab panggilan-Nya dan segera meninggalkan jala mereka dan mengikut Dia.[41]
B. F. Drewes menampakkan keunikan dalam narasi ini yang menceritakan tentang pemanggilan Simon Petrus dan Andreas (ay. 16-18) dan Yakobus dan Yohanes (ay. 19-20).  Ada sebuah kesejajaran dari kedua pemanggilan itu, demikian:[42]
Pertama, Yesus sedang berjalan melihat orang dalam kesibukan sehari-hari (ay. 16 dan ay. 19);
Kedua, Ia memanggil mereka untuk mengikuti-Nya (ay. 17–dengan janji, dan ay. 20a); Ketiga, orang meninggalkan urusannya untuk mengikuti Dia (ay. 18 dan ay. 20b).
Skema yang sama kita temui pula dalam 2:14, pada pemanggilan Lewi:[43]
Pertama, kemudian ketika Ia berjalan lewat di situ, Ia melihat Lewi anak Alfeus duduk di rumah cukai.
Kedua, lalu Ia berkata kepada-Nya: “Ikutlah Aku.”
Ketiga, maka berdirilah Lewi lalu mengikuti Dia.
Skema yang sama terdapat juga dalam Markus 3:13, di mana Yesus menetapkan kedua belas orang murid, yang berbunyi demikian:[44]
Pertama, “Naiklah Yesus ke atas bukit.”
Kedua, “Ia memanggil orang-orang yang dikehendaki-Nya.”
Ketiga, “. . . dan mereka pun datang kepada-Nya.”
Jadi, melalui narasi tersebut kita menarik kesimpulan seseorang menjadi murid melalui ketaatan kepada panggilan Yesus untuk mengikuti-Nya.[45]  Di sini juga muncul pengajaran Yesus tentang pemuridan bahwa panggilan menjadi murid menuntut kesiapan untuk meninggalkan segala sesuatunya.[46]
Panggilan Yesus adalah panggilan untuk mengikuti Dia, sebuah panggilan untuk menjadi serupa dengan Dia.[47]  Namun bukan sekadar mengikut, melainkan juga panggilan untuk menjadi penjala manusia.[48]  Jadi, panggilan menjadi murid adalah sebuah perjalanan dari mengikut Yesus menuju visi ‘menjadi penjala manusia.’  Ayat 17 dalam versi NIV menuliskan: “Come, follow Me, and I will make you a fisher of man. Come, follow Me dalam bentuk present dan ‘I will make you a fisher of man’ dalam bentuk future.  Artinya panggilan menjadi murid bertujuan agar dapat memuridkan orang lain lagi, namun sebelum memuridkan orang lain kita perlu dimuridkan lebih dahulu untuk menjadi berbeda dan semakin serupa dengan Dia.[49]

Pemberitahuan tentang Penderitaan Yesus dalam 8:22-10:52.
Markus merangkai kisah pemuridan Yesus dalam bingkai yang sangat indah, yang menyingkap ‘standar yang Yesus buat terhadap pemuridan’ pada bagian alur pasal 8:22-10:52.  Bagian ini diawali (8:22-26) dan ditutup (10:46-52) dengan kisah penyembuhan orang buta.  Bingkai seperti ini dikenal sebagai sebuah bentuk inclusio.  Bingkai ini mempunyai makna yang sangat penting untuk disimak, seperti yang dikatakan oleh Nicholas Christopher Cox dalam disertasinya:[50]
It is vital to understand that the healing of blindness is a metaphor in the Gospel for the gift of spiritual understanding.  So the pericope of the two-stage healing is a metaphor for two stages of enlightenment.  The instant healing of Bartimaeus who follows Jesus into Jerusalem signifies the notion that genuine spiritual understanding leads to true discipleship.  Both these pericopae hold deeper implication with regards to Jesus’ attempt to instil in his followers a greater depth of faith and spiritual insight needed to see his true identity and vocation as the Messiah.

Penyembuhan orang buta secara bertahap menjadi orang yang dapat melihat, berkat pelayanan Yesus (8:22-26) dipakai Markus untuk menjadi simbol[51] bahwa demikian pula secara bertahap mata para murid akan dibuka oleh Yesus, sehingga mereka mulai memahami makna-Nya sebagai Mesias, Anak Allah.  Sangatlah berbahaya apabila seseorang mengikut Yesus tidak memiliki pemahaman yang utuh.  Mengikut tanpa memahami apa makna kematian Yesus dan bahwa dalam mengikut Yesus ia juga harus menjalani jalan salib.[52]  Itulah sebabnya murid-murid diajar oleh Yesus untuk memberi pemahaman yang utuh kepada mereka.
Proses yang dilakukan Yesus untuk mencelikkan kebutaan murid secara bertahap dikisahkan Markus dalam bagian selanjutnya yaitu 8:27-10:45.  Dan kemudian Markus menutup inclusio tersebut dengan kisah penyembuhan Bartimeus secara langsung, kemudian mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya menuju kesengsaraan-Nya (10:46-52).  Perikop ini menekankan bahwa untuk mengikut Yesus, Ia sendiri yang harus membuka mata seseorang lebih dulu.[53]  Sebuah simbol kerinduan Yesus terhadap murid-murid-Nya agar mereka memiliki pemahaman spiritual sejati yang memimpin kepada pemuridan sejati.  Karena itu, menjadi murid bagi Markus adalah terbukanya kesadaran seseorang tentang Yesus Mesias dan kesediaannya untuk terlibat dalam misi-Nya dengan penuh kesetiaan.[54]
Berikut ini adalah uraian bagaimana Yesus dengan bertahap membuka pemahaman murid-murid-Nya tentang misi-Nya dan apa arti mengikut Dia.  Markus mengemas hal ini dengan sangat menarik.  Kemasan dalam satu bingkai inclusio penyembuhan orang buta, ada suatu pola yang berulang yaitu pemberitahuan tentang penderitaan Yesus diikuti dengan kesalahpahaman murid-murid dan bagaimana Yesus memberikan pengajaran menanggapi kesalahpahaman murid-murid tersebut.[55]  Kisah-kisah dan pengajaran-pengajaran itulah yang mengungkap misi Yesus dan apa standar Yesus terhadap pemuridan.[56]  Yesus sedang memperkenalkan standar pemuridan-Nya yang sesungguhnya (8:34-9:1; 9:35-37; 10:42-45) ketika Ia menanggapi respons murid-murid-Nya tersebut.

Pengajaran dalam Pemberitahuan Pertama tentang Penderitaan dan Kebangkitan
Setelah Yesus memberitahukan tentang penderitaan-Nya yang pertama kali (8:31-32), kemudian Petrus segera menarik Yesus ke samping dan menegur Dia.  Yesus memarahi Petrus dengan keras dan berkata, “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” (ay. 33).  Menanggapi respons Petrus itulah, kemudian Yesus memanggil orang banyak dan murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (ay. 34).
Pada bagian ini, pengajaran Yesus berkonsentrasi pada apa arti salib bagi orang percaya dalam relasinya dengan Dia.  Dari ayat 34, ada empat hal yang Markus tekankan:[57]
Pertama, ada sebuah panggilan untuk mengikuti atau datang kepada Yesus.
Kedua, murid-murid dipanggil untuk memikul salib mereka.
Ketiga, murid-murid dipanggil untuk menyangkal diri.
Keempat, murid-murid dipanggil untuk mengikuti Dia dengan setia.
Panggilan pemuridan yang menuntut konsekuensi penyangkalan diri dan memikul salib bukanlah tindakan sesaat melainkan panggilan seumur hidup.  Cox dengan lugas mengatakan, “For a follower to be a true disciple of Christ, the denying of self and taking up of one’s cross is not a once in a lifetime act, but rather a perpetual event in the daily pilgrimage of a believer.[58]
Barclay menuliskan dalam bukunya tentang bagian ini: Yesus berkata tentang orang-orang yang akan menjadi murid-Nya,
“Sangkallah dirimu sendiri.”  Kita akan memahami makna tuntutan ini dengan benar jika kita memahaminya dengan sederhana dan harfiah.  “Biarlah ia berkata ‘tidak’ kepada dirinya sendiri.”  Jika seseorang mau mengikut Yesus Kristus, ia harus selalu berkata “tidak’ kepada dirinya sendiri dan “ya” kepada Kristus.  Ia harus mengatakan “tidak” pada cinta alaminya terhadap hal-hal yang mudah dan menyenangkan.  Ia harus berkata “tidak” kepada semua tindakan yang didasarkan pada kepentingan dan kehendak diri sendiri.  Ia harus mengatakan “tidak” pada naluri dan hasrat yang mendorongnya untuk menyentuh, merasakan, dan memegang hal-hal terlarang.  Ia harus tanpa ragu-ragu berkata “ya” pada suara dan perintah Yesus Kristus.  Ia harus mampu berkata bersama dengan Paulus bahwa bukan lagi dia yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam dia.  Ia hidup bukan lagi untuk mengikuti kehendaknya sendiri, melainkan untuk mengikuti kehendak Kristus dan dalam pelayanan itulah ia menemukan kebebasannya yang sempurna.[59] 
Hal senada dikatakan oleh M. H. Bolkestein, “Pengertian menyangkal diri di sini tidak ada kaitannya dengan menanggalkan keakuan, tetapi untuk mempersembahkan hidup ini demi kehendak Yesus dan Kerajaan itu.”[60]
Bagian ini dilanjutkan dengan pernyatan Yesus yang radikal pada ayat 35, sebuah etika baru sedang Yesus nyatakan tentang pemuridan.  Cox mengaitkan kehilangan nyawa seseorang melalui penyangkalan diri, memikul salib dan mengikut Yesus karena kepentingan-Nya dan karena Injil, maka ia akan menyelamatkan nyawanya.  Dengan perkataan lain, seseorang yang menjalani hidup baru sebagai murid Tuhan akan menyelamatkan nyawanya untuk hidup yang kekal.  Sedangkan mereka yang berharap untuk hidup nyaman dan puas, yang hanya memperhatikan keinginan dan hasrat mereka, sesungguhnya akan kehilangan nyawa mereka.[61]  Pengajaran Yesus pada ayat 8:36-9:1, lebih lanjut menguraikan nilai pemuridan menurut kehendak Allah, yaitu seorang murid bukan mengejar keinginan untuk memiliki apa pun yang ada di dalam dunia ini (36-37), melainkan memiliki keinginan dan keberanian menantang dunia ini dengan memberitakan nama Kristus dan Injil yang bernilai kekal (38:9:1).
Donald H. Juel memberi kesimpulan terhadap bagian ini yang merupakan pengajaran tentang pemuridan dengan mengatakan bahwa pemuridan adalah hidup dalam pemahaman tentang salib dan kemuliaan yang akan datang.[62]
Rome reserved crucifixion for those who challenged their authority and power.  So, when Jesus says that crucifixion is part of the future for those who follow him, he is saying that his disciples must directly confront the powerful in society. Lumped together with this central teaching are additional sayings of Jesus.  The Son of Man will return in glory and distinctions will be made on the basis of shame about Jesus.  Some would see the coming of the kingdom of God with power.  Discipleship is lived in view of the cross but also in view of the coming glory.[63]

Jadi pemuridan adalah kesiapan dan komitmen seseorang untuk kehilangan segala sesuatu yang sementara demi sesuatu yang bernilai kekal yaitu Kristus dan Injil.



Pengajaran dalam Pemberitahuan Kedua tentang Penderitaan dan Kebangkitan
Respons murid-murid terhadap pemberitahuan kedua ini adalah mereka memperbincangkan siapa yang terbesar di antara mereka (9:33-34).  Dari respons tersebut Yesus memberikan pengajaran.  Yesus duduk dan memanggil kedua belas murid dan berkata, “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya” (9:35).  Untuk memberikan ilustrasi tentang itu, Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka, kemudian Ia memeluk anak-anak itu dan berkata kepada mereka; “Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.  Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.”
Soal siapa yang terbesar, memang selalu berkecamuk dalam pemikiran yang salah dari orang-orang Yahudi itu.  Pertanyaan itu pasti akan muncul dalam setiap peristiwa yang bagaimana pun sifatnya.  Juga dalam zaman yang akan datang itu, orang masih saja membedakan antara yang besar dan yang kecil.  Menurut pandangan mereka, di dunia akhirat pembedaan itu akan dilakukan kembali untuk selamanya, dan dalam hal ini akan berbeda dengan dunia ini yang sebentar-sebentar berubah.  Seluruh perjuangan hidup orang Yahudi yang saleh itu dipersiapkan untuk menjadi besar dalam zaman baru itu.  Hal itu hanya mungkin jika ia hidup dengan tulus, mengetahui secara tuntas kitab Taurat dan bersedia mati syahid.[64]
Yesus menyambut permasalahan itu, tetapi memberikan jawaban yang cukup radikal, yang dengan tegas mengatakan, bahwa kerajaan yang Ia masyhurkan itu bukanlah kelanjutan dari keadaan masa kini, tetapi bahkan kebalikannya.  Yang pertama dalam kerajaan itu adalah dia, yang tidak pernah memperhitungkan untuk memperoleh tempat yang terdahulu, juga yang bersedia untuk menjadi pelayan bagi semua orang.  Tempat yang paling belakang adalah tempat yang paling rendah (Luk. 14:10).  Barangsiapa berkurban demi kepentingan orang lain, itulah pelayan yang paling utama.  Karena panggilan untuk menjadi yang terakhir, serta pelayan bagi semuanya, maka usaha untuk menempati tempat yang paling utama menjadi kabur dan bahkan berubah sekali.[65]
Pada bagian ini Yesus mencoba mengaitkan antara pengajaran-Nya pada pemberitahuan pertama dengan pengajaran-Nya pada pemberitahuan kedua.  Pada pemberitahuan pertama Yesus menekankan seorang murid haruslah menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Dia dengan setia, kemudian Ia mengaitkannya dengan pengajaran yang kedua, pentingnya melakukan hal tersebut di dalam pelayanan.  Penyangkalan diri, memikul salib dan mengikut Dia terkonfirmasi dalam hidup yang melayani sesama dengan rendah hati.  Hal ini diungkap oleh Cox:
Jesus brings a new aspect into his teaching on discipleship. For the first time he espouses servanthood as a form of ministry (9:35).  The passion of Jesus is now linked to the need for service. This is the heart of his message on discipleship further from the first instalment after his first prophecy (8:34f), by incorporating to the notion of self denial, cross-bearing and faithful following, the idea of service.[66]

Demikianlah pula Hurtado menegaskan bahwa Yesus mengajarkan murid-murid untuk melayani sesama, “After the second passion prediction (9:32-34), Jesus’ teaching to the Twelve about service to others is again couched in terms that open out to include the readers (“anyone who would be first,” 9:35; “whoever,” 9:37).[67]  Pemuridan tanpa pelayanan bukanlah pemuridan yang Yesus ajarkan.  Pemuridan adalah kerelaan untuk mengambil posisi yang paling hina, yang terwujud dalam melayani sesama.
Yesus memberi contoh tentang konsep pemuridan yang rela mengambil posisi yang paling hina dengan metafora ‘anak-anak’ (9:36-37).  Mereka adalah orang-orang yang diabaikan dan tidak mendapat tempat yang penting dalam konteks masyarakat Roma Palestina pada masa itu.[68]  Namun Yesus memberikan penghargaan terhadap mereka dengan menyatakan bahwa siapa yang menyambut mereka berarti menyambut Allah.  Jadi mengambil posisi yang paling hina seperti anak-anak itulah, yang Tuhan perkenan.
Yesus melanjutkan pengajaran kepada murid-murid tentang pemuridan yang menghambakan diri dalam kisah seorang yang bukan murid mengusir setan (9:38-41).  Pemuridan yang mengambil posisi hamba teraplikasi dalam sikap hidup yang memiliki hati yang terbuka dan menerima orang lain meskipun bukan termasuk kelompok mereka.[69]
Pada ay. 9:42-48, Yesus ingin mengajarkan pentingnya seorang murid menahan diri dari dosa dan tidak menyebabkan orang lain berdosa.  Ia juga mengajarkan pentingnya kesederhanaan dan ketekunan untuk menjalani paggilan dengan setia, agar terhindar dari nasib yang mengerikan pada masa yang akan datang.  Ia menggunakan ilustrasi garam dan api (9:49-50) sebagai simbol bahwa seorang murid harus terus dimurnikan melalui penderitaan dan pergumulan hidup.  Dengan demikian mereka dapat menjadi berkat bagi sesama.[70]

Pengajaran dalam Pemberitahuan Ketiga tentang Penderitaan dan Kebangkitan
Respons murid-murid pada pemberitahuan ketiga adalah Yakobus dan Yohanes datang kepada Yesus dengan permintaan khusus.  Mereka meminta, “Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang di sebelah kanan-Mu dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu (ay. 10:37).”  Kemudian Yesus berkata kepada mereka, “Kamu tidak tahu apa yang kamu minta.  Dapatkah kamu meminum cawan yang harus Kuminum dan dibaptis dengan baptisan yang harus Kuterima?” (ay. 10:38).  Mereka menjawab dengan keyakinan, “Kami dapat” yang ditanggapi Yesus dengan pernyataan bahwa hal itu adalah kedaulatan Allah.
Dari respons murid-murid–yang menandakan ketidakmengertian mereka akan makna dan harapan mengikut Dia–kemudian Yesus memanggil mereka dan memberikan pengajaran pada ay. 10:42-45.  Pengajaran Yesus tentang pemuridan pada bagian ini merupakan klimaks, di mana Ia menggabungkan tema pemuridan dari pengajaran yang terkandung dalam pemberitahuan tentang penderitaan-Nya yang pertama dan kedua.  Cox mengatakan, “. . . the first prophecy twins the passion of Jesus with the idea that self-denial is a prerequisite for attainment of faithful discipleship.  The second prophecy couples Jesus’ passion with the concepts of service and humility.  And the final prophecy, similarly, ties servanthood with the passion of Jesus.[71]
Hurtado lebih menjelaskan klimaks ini dalam uraian berikut:
The third passion prediction (10:32-34)–the longest and most detailed, suggesting, therefore, its climactic placement among the three passion prediction in Mark–is also immediately followed by a scene of Jesus teaching on discipleship (10:35-45).  And in this scene earlier themes on discipleship appear again.  For it is Jesus’ cup and Jesus’ baptism that James and John must partake of, probably referring to Jesus’ own sufferings as the index of their commitment.  The references to Jesus’ cup and baptism, found only in Mark, probably allude to the two widely practiced rites of early Christians, the Lord’s supper and baptism.  If so, the intention may have been to teach readers to associate these rites with Jesus’ sufferings and therefore to make participation in the rites references commitment to Christian discipleship.  The “whoever” in verses 10:43-44, however, again seems intended to extend the circle of adressees to include the readers, with Jesus’ admonition serving to point away from the domineering models proposed by the disciples to the self sacrificing service exemplified by the Son of Man.  Furthermore, the explicit congruence between the discipleship and Jesus’ fate demanded in 8:34, after the first passion prediction, comes to the fore again in 10:43-45 after the final passion prediction.[72]

Yesus memanggil murid-murid-Nya untuk berbeda, tidak seperti mereka yang menjalankan kekuasaan dengan kekerasan (42).  Murid-murid dipanggil untuk menjadi pelayan dan hamba seperti Anak Manusia (43-45).  Jadi Yesus mengajarkan bahwa memiliki kekuasaan berarti untuk melayani.  Yang kuat justru melayani yang lemah.  Dan kemudian Yesus mengungkap tujuan kedatangan-Nya, Ia datang untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.



Kesimpulan
E. Best[73] menyimpulkan bagian ini dengan menggambarkan sebuah perjalanan ke Yerusalem dan Salib, sebuah perjalanan di mana Yesus memimpin murid-murid-Nya.  Yesus dan murid-murid-Nya ‘on the way’ menuju Yerusalem (8:27; 9:33; 10:17, 32, 52).  Murid-murid diberitahu untuk memikul salib mereka; mereka berjalan dengan Yesus ke Yerusalem dan kematian.  Jadi Markus bertujuan untuk menekankan pada pembacanya bahwa pemuridan adalah perjalanan menuju salib.[74]  Namun Best segera menambahkan bahwa salib bukanlah satu-satunya tujuan yang ditekankan oleh Markus.  Yesus pergi ke Yerusalem dan mati tetapi setelah kematian-Nya, kubur itu kosong; Ia telah pergi jauh dari Yerusalem.  Pemberitahuaan-Nya sendiri dan orang muda di kuburan itu menyatakan bahwa Yesus telah pergi ke Galilea; murid-murid mengikuti Dia.  Jadi perjalanan melintasi salib dan Yerusalem menuju Yesus yang bangkit dan Galilea, adalah tempat (perjalanan) terjadinya misi.  Dalam sepanjang masa orang-orang Kristen hidup dalam dua kenyataan salib menuju kebangkitan.  Ketika mereka menjalani salib, mereka menderita tetapi terus-menerus diperbaharui karena mereka juga sedang berjalan menuju kebangkitan Kristus di Galilea.  Bagi Markus perjalanan salib menuju kebangkitan atau Yerusalem ke Galilea adalah sebuah tujuan yang dinamis.  Perjalanan di mana murid-murid pergi ke tempat yang terbuka, sebuah perjalanan misi kepada dunia.  Itu adalah perjalanan keluar dan melintas batas, tetap tekun menjalani natur salib dan kebangkitan, tetapi perjalanan yang tidak pernah terbatas pada jalur misi.  Dan, ketika misi telah terpenuhi dan Injil telah diberitakan kepada segala bangsa (13:10) kemudian tibalah akhir dari semua perjalanan itu.

Masih dalam satu bingkai (8:22-10:52) tersebut, Yesus melanjutkan pengajaran-Nya tentang pemuridan terlepas dari pola ‘passion prediction-misunderstanding-corrective teaching’ namun mengandung makna yang sangat penting.  Pengajaran Yesus tersebut adalah bagaimana pemuridan dalam kaitan dengan perceraian (10:1-12), anak-anak (10:13-16) dan kekayaan (10:17-31).[75]

KONSEP PEMURIDAN DALAM INJIL MARKUS DARI PENGGAMBARAN TENTANG MURID-MURID

Pemahaman terhadap pandangan Markus tentang pemuridan ialah liputannya terhadap murid-murid Yesus, secara khusus terhadap kedua belas murid itu.  Tetapi kedua belas murid, meskipun diberi status khusus, tampaknya mewakili kelompok murid yang lebih besar juga di dalam Injil Markus.  Dan kegagalan mereka juga mewakili kegagalan kelompok murid dalam lingkup yang lebih besar.  Jadi tidak ada perbedaan antara kedua belas murid dengan murid-murid dalam lingkup yang lebih besar itu.[76]
Memperhatikan kedua penggambaran tentang murid-murid, baik yang positif dan negatif, membuat pembacanya mengerti bahwa Markus memiliki motivasi pastoral.[77]  Markus memiliki penghargaan yang tinggi terhadap murid-murid, ia menggunakan kegagalan mereka untuk mengingatkan komunitasnya.  Ia menekankan kesulitan murid-murid dalam memahami pesan dan pelayanan Yesus.  Harapan murid-murid, sangat jauh berbeda dari apa yang menjadi harapan Yesus bagi mereka, karena itu mereka sulit memahami Dia.  Markus menggunakan sejarah murid-murid untuk menunjukkan kepada pembacanya betapa sulitnya untuk mengerti misteri Yesus dan salib.  Bagian-bagian yang menekankan ketidakmengertian murid-murid mengajarkan kepada jemaat Markus tentang pentingnya berpikir apa yang dipikirkan Allah dan bukan apa yang dipikirkan manusia (8:33).  Adegan kebangkitan menetapkan penggenapan Yesus tentang pemberitahuan-Nya (9:9; 14:28) dan mewajibkan pembaca untuk memperhitungkan rekonsiliasi antara murid-murid dan Petrus dengan Yesus sejak mereka bertemu Dia di Galilea seperti yang dikatakan-Nya kepada mereka (16:7).  Panggilan ke Galilea memberikan jaminan kepada Petrus dan murid-murid, meskipun menyangkal dan meninggalkan Yesus, tidak ditolak oleh Tuhan yang bangkit.  Markus menekankan kebodohan murid-murid untuk mengajarkan kepada pembacanya tentang arti pemuridan yang autentik yaitu “selfless servanthood (“kehambaan yang tidak mementingkan diri sendiri”).[78]
Murid-murid yang diberi hak istimewa untuk menjadi anggota Kerajaan Yesus adalah seorang hamba, yang memikirkan pikiran Allah (8:31-33), mengejar hidup yang memikul salib (34-38), melalui pesan (9:1-8) dan teladan Yesus (9:9-32), dan karena itu menolak status (9:33-37), eksklusivisme (9:38-10:16), dan kekayaan dunia (10:17-31). Pengajaran tentang pemuridan mengarahkan mereka untuk memikirkan Jalan Allah, jalan penderitaan dan salib melalui kehambaan.[79]
Pengajaran dan penggambaran tentang murid-murid membuka wawasan untuk meneliti lebih lanjut apa yang penulis ingin paparkan pada bab ketiga.  Sebuah studi terhadap perintah-perintah Tuhan Yesus yang berkaitan dengan tema pemuridan.  Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu (Mrk. 13:31).























BAB III

PERINTAH TUHAN YESUS DAN RESPONS MURID-MURID
DALAM INJIL MARKUS





Setelah menguraikan latar belakang dan konsep pemuridan kitab Markus menurut beberapa ahli, maka pada bab ini penulis akan mengadakan studi terhadap perintah-perintah Tuhan Yesus yang terdapat dalam kitab Markus dan yang berkaitan dengan pemuridan.
Langkah-langkah yang penulis lakukan dalam bab ini adalah sebagai berikut: Pertama, penulis menentukan beberapa perintah Yesus yang secara langsung ditujukan kepada murid-murid-Nya.  Kedua, penulis mengelompokkan perintah-perintah tersebut berdasarkan pembagian struktur pengajaran Yesus terhadap murid-murid-Nya.  Selanjutnya, penulis akan membahas kaitan antara perintah Yesus dengan konteks dan respons murid-murid Yesus. 
Penelitian pada bab ini mengacu pada menyimak perintah Yesus dalam kerangka berpikir Markus tentang pemuridan dan bagaimana respons murid-murid dalam konteks yang dikembangkan Markus terhadap perintah tersebut.



perintah tuhan yesus DALAM KITAB MARKUS
Kitab Markus terdiri dari 16 pasal, 678 ayat.  Perkataan Tuhan Yesus dalam Kitab Markus dari penelitian penulis terdapat 282 ayat, itu berarti 41,46%.[80]  Penulis membagi perkataan Tuhan Yesus ke dalam lima kategori  pendengar, yaitu: orang banyak, murid, musuh, individu (yang tidak termasuk dalam ketiga kategori sebelumnya), alam dan Bapa-Nya.  Kepada orang banyak Tuhan Yesus berbicara dalam 29 ayat, murid:160 ayat, musuh: 62 ayat, individu: 26 ayat, alam: dua ayat dan kepada Bapa-Nya: dua ayat.
Penelitian ini akan memusatkan perhatian kepada perintah-perintah Tuhan Yesus dari 160 ayat yang diucapkan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya.  Perintah-perintah yang diucapkan Yesus langsung kepada murid-murid-Nya terdapat dalam 25 perikop berdasarkan Terjemahan Baru Indonesia.[81]  Perikop-perikop tersebut adalah sebagai berikut: 1:16-20; 1:35-39; 2:13-17; 4:1-33; 4:35-41; 6:6b-13; 6:45-52; 8:14-21; 8:31-9:1; 9:33-37; 9:38-41; 9:42-50; 10:13-16; 10:35-45; 11:1-11; 11:20-26; 12:38-40; 13:3-13; 13:14-23; 13:33-37; 14:12-21; 14:22-25; 14:32-42; 16:9-20.
Penulis akan meneliti perintah-perintah Tuhan Yesus berdasarkan struktur kitab Markus ditinjau dari sudut pengajaran Tuhan Yesus terhadap murid-murid-Nya.  Delorme membagi struktur tersebut demikian: Pertama, panggilan murid-murid (1:16-6:6a); Kedua, pendidikan murid-murid (6:6b-10:52); Ketiga, wahyu yang dialami para murid di Yerusalem (11-16).[82]

perintah yesus dalam narasi pemanggilan murid (1:16-6:6a).
Markus memulai kisahnya dengan menampilkan Yesus memanggil murid-murid-Nya yang pertama.  Perintah Yesus “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia” (Deute ovpi,sw mou, kai. Poih,sw u`maj gene,sqai a`lieij avnqrw,pwn – Mrk. 1:17), terdapat dalam narasi pemanggilan empat murid yang pertama.  Kisah ini didahului dengan semacam ringkasan mengenai karya Yesus di Galilea: Sesudah Yohanes ditangkap, datanglah Yesus ke Galilea memberitakan Injil Allah, kata-Nya: “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat.  Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!”
Narasi yang mengambil setting di danau Galilea/Tiberias, terkesan amat mendadak.  Menurut cerita ini, Yesus muncul dengan tiba-tiba dan langsung berkata kepada mereka: “Ikutlah Aku!”  Kejadian seperti ini sukar dibayangkan dan kiranya mustahil, entah ditinjau dari sudut psikologi maupun dari sudut sejarah.  Namun cerita mengenai panggilan itu ditempatkan di awal kisah selanjutnya.  Maka dapat disimpulkan bahwa penempatan itu pasti beralasan.  Markus ingin melukiskan Yesus yang senantiasa bersama-sama dengan murid-murid-Nya.[83]
Narasi ini juga terkesan tidak ada persiapan secara psikologis dan tidak dijelaskan apakah sebelumnya telah terjadi perkenalan antara Yesus dengan mereka.  Barclay mengatakan, “Mereka pasti sudah pernah bercakap-cakap dengan-Nya ketika orang banyak sudah pergi.  Mereka pasti sudah pernah merasakan betapa hebat kehadiran-Nya dan betapa berpengaruh tatapan mata-Nya.”[84]  Jadi, Markus ingin menekankan pada perkataan Yesus yang berkuasa penuh atas mereka dan mereka mengikut Dia.[85]
Perkataan Yesus yang berkuasa itu dimulai dengan frasa deute opisw mou.  Kata deute adalah sebuah kata keterangan yang berarti ‘sini’ atau ‘mari,’ yang biasanya digunakan sebagai tambahan dari kata kerja imperative untuk jamak.  Dalam frasa ini, setelah deute tidak diikuti kata kerja namun diikuti dengan sebuah penunjukkan tempat ovpi,sw mou.  Jika deute diikuti sebuah penunjukkan tempat—dalam hal ini ovpi,sw mou—itu berarti kalimat tersebut merupakan sebuah imperative[86] yang diterjemahkan oleh LAI “Mari, Ikutlah Aku!”
Barclay menuliskan dalam bukunya bahwa perkataan Yesus “Ikutlah Aku!” itu berarti semuanya dimulai dengan reaksi orang per orang terhadap-Nya; semuanya dimulai dengan sesuatu yang menyentak hati, yang melahirkan kesetiaan yang tak tergoyahkan.  Mengikut Kristus adalah seperti orang yang jatuh cinta.  Sebagaimana dikatakan, “Kita mengagumi orang dengan alasan; kita mencintai mereka tanpa alasan.”[87] Menurut Bolkestein, wibawa Mesianis tampak dalam cara Yesus memanggil mereka untuk mengikut Dia.[88]  Yesus tidak memanggil mereka untuk menjadi pengikut Allah melainkan dipanggil untuk mengikut Yesus.[89]  Ucapan Yesus dan pribadi Yesus kena mengena dengan Allah sendiri.  Allah menyambut mereka secara nyata dalam diri Mesias.  Dengan demikian dapatlah Yesus berkata, Ikutlah Aku! Ia mewakili Allah.  Di dalam Dia Kerajaan Allah hadir.  Sebagai pengemban dan pembawa Kerajaan itu Yesus mengadakan ikatan antara Diri-Nya dengan murid-murid-Nya.  Hal mengikut itu bukanlah menuruti saja, melainkan suatu penyerahan dan pengikatan diri dari manusia seutuhnya kepada Yesus Kristus.  Suatu sikap meninggalkan segala sesuatu yang sebelumnya telah menguasai hidup manusia.  Suatu keterikatan yang begitu mutlak, yang tidak memberikan kemungkinan lagi untuk berbalik.  Mengikuti berarti tunduk pada pimpinan Yesus sebagai Tuhan.  Di dalamnya tersirat pengertian sebagai pemikul salib, dan sekaligus pewaris Kerajaan (8:34; 10, 21, 28; Mat. 10:37 dst.; Luk. 9:62).  Mengikut berarti juga terbukanya Kerajaan bagi manusia.[90]  Jadi manusia dimungkinkan memasuki Kerajaan hanya karena mengikut.  Charles R. Erdmans mengatakan, “This call involves sacrifice and separation.  We are not to suppose that these were men of even moderate wealth, yet they were compelled to abandon whatever they possessed, at least to suspend their usual tasks; and James and John were asked to leave behind them their father, Zebedee.”[91]
Perkataan Yesus yang berkuasa itu dilanjutkan dengan frasa kai. poih,sw u`maj gene,sqai a`lieij avnqrw,pwn.  Frasa ini memiliki sebuah kata kerja aktif, orang pertama tunggal poih,sw dengan modalitas indicative, dan bentuk future.  LAI menerjemahkan “. . . dan Aku akan menjadikan kamu penjala manusia.”  Makna modalitas indicative yang digunakan dalam perkataan ini yang disandingkan dengan kalimat imperative ingin menegaskan bahwa perintah Yesus merupakan sebuah keharusan dalam kehidupan mereka.  Sebuah panggilan yang datang dalam kehidupan mereka sehari-hari, dan menuntut respons yang riil pula dari mereka.  Sedangkan modalitas dalam bentuk future menunjukkan panggilan ini adalah sebuah proses yang panjang dan perlahan dalam membuat mereka menjadi pemenang jiwa.[92]
Respons Simon dan Andreas terhadap perintah Yesus adalah mereka segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia (1:18), dan respons Yakobus dan Yohanes adalah mereka meninggalkan ayahnya, Zebedeus, di dalam perahu bersama orang-orang upahannya lalu mengikuti Dia (1:20).  Jadi, dari respons mereka tersebut menunjukkan bahwa perintah Yesus bersifat Mesianik, perintah yang berkuasa dari Raja di atas segala raja.  Perintah yang bersifat mutlak dan menuntut respons yang segera dan totalitas.
Perintah “Ikutlah Aku!” ( vAkolou,qei moi) kembali diucapkan Yesus dalam Markus 2:14.  Perkataan ini ditujukan kepada Lewi pemungut cukai.  Pemungut cukai tak pernah menjadi bagian popular dalam masyarakat, sebaliknya mereka dibenci.  Namun Yesus justru memanggil orang yang tidak diinginkan oleh masyarakat dan menawarkan persahabatan kepada orang yang oleh orang lain ditolak sebagai sahabat.[93] 
Pemanggilan yang terjadi tanpa persiapan secara psikologis, terulang kembali.  Perintah yang Yesus sampaikan kepada empat orang penjala ikan, sebagaimana yang dikisahkan dalam 1:16-20, perintah itu pula yang diterima Lewi.[94]
Kata vakolou,qei[95] yang artinya “Ikutlah Aku” adalah sebuah kata kerja aktif yang memiliki modalitas imperative yang ditujukan kepada orang kedua tunggal dan memiliki bentuk present.  Ini adalah sebuah kata yang berarti “berjalan pada jalan yang sama.”  Itu berarti “mengikuti seseorang yang telah mendahului, mengikuti dia sebagai pelayannya, mengikuti seseorang sebagai muridnya, berdampingan dalam pestanya.”  Itulah semua yang terkandung dalam perintah Tuhan.  Kata tersebut lebih daripada sebuah undangan atau ajakan.  Ini bukan semacam ajakan, “Maukah kamu mengikuti Aku?  Saya menyampaikan undangan ini kepadamu.”  Di sini yang memberi perintah adalah Raja, yang berdaulat dalam tuntutan-Nya.  Lewi menyadari nada imperative dari perkataan Tuhan.  Ini adalah panggilan yang efektif, seperti panggilan keselamatan.  Seseorang yang dipanggil, diubah menjadi rela untuk merespons.  Lewi meninggalkan meja pemungut pajaknya karena kuasa dari sebuah tekanan yang tidak ia pahami.  Baginya, berarti kemiskinan, daripada memiliki kekayaan dan kemewahan yang telah dialaminya.  Kata kerja ini adalah present tense, yang mengandung sebuah permulaan dari sebuah tindakan dan kebiasaan dari tindakan tersebut tetap dilanjutkan terus-menerus.  Itu berarti, “Dimulai dari mengikut Aku, dan dilanjutkan sebagai sebuah kebiasaan hidup yang mengikuti Aku.”  Itulah yang terjadi dalam kehidupan Lewi, yang mulai sekarang ia mau berjalan pada jalan yang sama dengan jalan yang Yesus lalui, sebuah jalan pengurbanan diri, sebuah jalan pemisahan, sebuah jalan yang mementingkan orang lain, sebuah jalan penderitaan, sebuah jalan kekudusan.  Namun, perintah tersebut bukan sekadar ‘Ikutlah Aku’ melainkan ‘Ikutlah dengan Aku.’  Kata ganti tersebut (moi) dalam associative-instrumental case.  Seseorang yang diindikasikan dengan kata ganti adalah instrument yang melengkapi asosiasi antara dua individu.  Tuhan Yesus kemudian tidak hanya memerintah Lewi untuk menjadi pengikut-Nya melainkan Ia menyambut Lewi masuk berpartisipasi dalam persahabatan dengan-Nya.  Itu adalah berjalan berdampingan pada jalan yang sama.  Dan, persekutuan yang diberkati ini adalah untuk setiap orang yang percaya kepada Yesus.[96]
Perintah Yesus yang berkuasa itu membuat Lewi bangkit berdiri, rela meninggalkan kenikmatan dan kemewahan hidupnya dan mengikut Yesus.  Perpisahan dengan masa lampau menimpanya dengan cara yang sangat radikal, sama seperti keempat murid yang pertama kali menerima panggilan Yesus.[97]  Respons Simon, Andreas, Yakobus, Yohanes dan Lewi diikuti pula oleh murid-murid yang lainnya seperti yang dikisahkan Markus dalam 3:13: “Kemudian naiklah Yesus ke atas bukit, Ia memanggil orang-orang yang dikehendaki-Nya dan mereka pun datang kepada-Nya.” 
Setelah Yesus memanggil murid-murid-Nya yang pertama (1:16-20), Markus mengisahkan Yesus masuk ke dalam rumah ibadat di Kapernaum, Ia mengajar dan mengusir Roh jahat.  Kemudian Yesus menyembuhkan ibu mertua Simon dan banyak orang yang menderita bermacam-macam penyakit dan mengusir banyak setan (1:33).  Markus menggambarkan betapa pedulinya Yesus terhadap orang banyak.  Namun, keesokan harinya, pagi-pagi benar, Ia bangun dan pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana.  Murid-murid-Nya menyusul dan menemukan Yesus di tempat sunyi untuk memberi tahu bahwa orang banyak sedang mencari Dia.  Kemudian Yesus berkata kepada mereka: “Marilah kita pergi ke tempat lain, ke kota-kota yang berdekatan supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, karena untuk itu Aku datang” (1:38).  Yesus tidak memberi respons kepada orang banyak karena ada yang lebih utama yang harus dikerjakan.  Orang banyak mencari Dia untuk memperoleh tanda-tanda ajaib, sesungguhnya bukan itu yang menjadi tujuan Yesus melainkan untuk memberitakan Injil di mana-mana.  Memberitakan Injil meliputi dua hal yaitu Yesus mengajar dan bertindak dengan kuasa (penyembuhan-penyembuhan dan pengusiran roh-roh jahat).  Pengajaran dan kuasa Yesus merupakan kesatuan yang menunjukkan siapakah Yesus itu.  Jadi Injil dipahami oleh Markus sebagai suatu kegiatan yang penuh dinamisme.  Memberitakan Injil berarti menunjukkan melalui Firman pemberitaan bahwa Allah sedang berkarya di tengah-tengah peristiwa.[98] 
Perintah ini mendapat respons segera dari murid-murid-Nya.  Mereka mengikuti Yesus pergi ke seluruh Galilea dan memberitakan Injil dalam rumah-rumah ibadat mereka dan mengusir setan-setan.  Jadi, seorang murid tidak boleh disibukkan dengan segala aktivitas yang bukan menjadi tujuan utama melainkan mereka harus memahami dan terlibat dalam misi kedatangan Kristus yaitu memberitakan Injil.
Markus melanjutkan kisahnya—untuk menggambarkan apa yang Yesus lakukan dalam misi-Nya memberitakan Injil—dengan beberapa peristiwa penyembuhan (sakit kusta: 1:40-45; orang lumpuh: 2:1-12; mati sebelah tangan: 3:1-6; banyak orang dengan berbagai penyakit: 3:7-12), dan Yesus bercakap-cakap dengan orang-orang lain (2:13-17; 18-22; 23-28; 3:20-35). 
Yesus melanjutkan misi pemberitaan Injil-Nya melalui pengajaran tentang Kerajaan Allah dengan beberapa perumpamaan.  Dalam rangkaian perumpamaan pada pasal 4:1-33, Yesus memberikan perintah kepada orang banyak dan murid-murid-Nya ei; tij e;cei w=ta avkouein avkoue,tw (“Barangsiapa mempunyai telinga, hendaklah ia mendengar!”).  Ble,pete ti, avkou,ete)  vEn w-| me,trw| metrei/te metrhwh,setai u`mi/n kai. prosteqh,setai u`mi/n (“Camkanlah apa yang kamu dengar! Ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu,” 4:23, 24).
Perkataan ‘Barangsiapa mempunyai telinga, hendaklah ia mendengar!’ tidak dimulai dengan partikel ean yang menandakan sesuatu yang bersifat akan datang atau belum terpenuhi.  Perkataan ini dimulai dengan partikel ei; yang menandakan bahwa kalimat tersebut merupakan sebuah pernyataan conditional yang syaratnya terpenuhi—sesuatu yang sudah pasti kondisinya.[99]  Ei; tij e;cei w=ta  avkouein avkoue,tw harus diartikan bahwa kalimat ini ditujukan bagi mereka yang memang mempunyai telinga dan karena itu mereka harus menggunakan telinga mereka untuk mendengar.[100]   vAkouein dan avkoue,tw merupakan dua kata kerja yang memiliki bentuk present, sementara avkoue,tw memiliki modalitas imperative sehingga perkataan ini menekankan perintah ‘untuk mendengarkan’ harus terus-menerus menjadi gaya hidup seorang murid.
Kemudian Tuhan Yesus melanjutkan perkataan-Nya, “ble,pete ti, avkou,ete)  Bila sebuah present imperative aktif ble,pete dirangkai dengan interrogative ti, sebagai indirect question, akan membuat ble,pete ti, avkou,ete berarti “Perhatikan apa yang kamu dengar!”[101]  Jadi, perkataan Tuhan Yesus ini ingin menekankan pengajaran bahwa bukanlah asal mendengar yang penting, melainkan bagaimana seseorang mendengar.  France memberi kesimpulan terhadap penekanan ini, “The whole discourse has been about the difference between effective and ineffective hearing.”[102]
Markus mengulang kalimat ei; tij e;cei w=ta avkouein avkoue,tw dua kali pada rangkaian perumpamaan tentang Kerajaan Allah (ay. 9 dan 23) karena ingin menekankan pentingnya perumpamaan-perumpamaan Yesus ini diperhatikan dengan saksama,  dimengerti dan diaplikasikan dalam kehidupan setiap orang yang ingin menjadi murid-Nya.  Penekanan Markus ini dipertegas dengan sebuah janji “Ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu, dan di samping itu akan ditambahkan lagi kepadamu.”  Schweizer dengan lugas mengurai janji ini dengan mengatakan:
The promise that God’s grace will give him more and more understanding is given to the one who listen attentively.  This how the phrase “the same rules you use” (Greek: “in the same measures”) is to be understood.  Greater discernment will be granted to the one who is able to recognize the secret of the Kingdom of God in Jesus’ parable.[103]

Setelah rangkaian perumpamaan tentang Kerajaan Allah yang memuat perintah untuk mendengar, kemudian Markus melanjutkan kisahnya dengan menggambarkan kuasa Yesus melalui peristiwa angin ribut diredakan (4:35-41).  Melihat peristiwa angin ribut diredakan, murid-murid memberi komentar: “Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?”  Komentar yang seharusnya mengingatkan murid-murid akan perintah Yesus.  Jikalau angin dan danau saja taat apalagi manusia yang mempunyai telinga seharusnya lebih taat untuk mendengar apa yang menjadi kehendak Allah. 
Markus melanjutkan misi pemberitaan Injil yang Yesus lakukan dengan mengisahkan pengusiran roh jahat dari orang Gerasa (5:1-20), penyembuhan anak Yairus dan perempuan yang sakit pendarahan (5:21-43).  Kisah demi kisah yang Markus rangkai (meredakan angin ribut, pengusiran roh jahat, dan penyembuhan) ingin menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan atas segalanya.
Di akhir bagian narasi pemanggilan murid, Markus kembali mengisahkan misi pemberitaan Injil Yesus di tempat asal-Nya.  Ia mengajar di rumah ibadat, dan jemaat yang besar menjadi takjub ketika mendengar Dia, lalu mereka berkata: “Dari mana diperoleh-Nya semua itu?”  Masih banyak komentar lainnya yang menandakan mereka menolak untuk mendengar dan percaya.  Mereka mempunyai telinga tetapi tidak mau mendengar.

perintah yesus dalam narasi pendidikan murid (6B-10:52).
Pendidikan bagi murid-murid dalam bagian ini dimulai dari 6:6b-10:52.  Perintah Tuhan Yesus terdapat dalam 10 perikop.[104]  Perintah-perintah Yesus dalam perikop-perikop tersebut menjadi sebuah rangkaian proses Yesus sedang mendidik murid-murid.
Bagian ini dimulai dengan kisah Yesus mengutus kedua belas rasul (6:6b-13).  Ia memanggil kedua belas murid itu dan mengutus mereka berdua-dua.  Ia memberi kuasa kepada murid-murid-Nya atas roh-roh jahat.  Kemudian Ia memberi dua perintah kepada mereka.  Pertama, “Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan, kecuali tongkat, roti pun jangan, bekal pun jangan, uang dalam ikat pinggang pun jangan, boleh memakai alas kaki, tetapi jangan memakai dua baju.”  Perintah ini mengenai apa yang boleh mereka bawa.  Sebuah persyaratan yang mutlak dipenuhi para utusan Yesus.  Delorme mengatakan bahwa utusan Yesus harus menjadi ringan dan membuang segala beban.  Pelepasan segala beban itu merupakan tindak lanjut yang logis dari keputusan untuk mengikut Yesus dan mengikrarkan kehidupan bagi Injil.  Seluruh kehidupan harus dipersembahkan kepada Yesus.  Unsur inilah yang ditonjolkan Markus: seorang murid Yesus harus menjadi “ringan” dalam perjalanan dan harus siap menghadapi keadaan penuh kesukaran dalam menunaikan tugasnya.[105]
Perintah kedua dalam kisah pengutusan kedua belas murid adalah o]pou evan eivse,lqhte eivj oivkian( evkei/ me,nete e[wj a;n evxe,lqhte evkei/qen (“Kalau di suatu tempat kamu sudah diterima dalam suatu rumah, tinggallah di situ sampai kamu berangkat dari tempat itu”).  Kai. o]j a;n to,poj mh. de,xhtai u`ma/j mhde. Avkou,swsin u`mwn( evkporeuo,menoi evkei/qen evktina,xate to.n cou/n to.n u`poka,tw tw/n podw/n u`mw/n eivj martu,rion auvtoi/j  (“Dan kalau ada suatu tempat yang tidak mau menerima kamu dan kalau mereka tidak mau mendengarkan kamu, keluarlah dari situ dan kebaskanlah debu yang di kakimu sebagai peringatan bagi mereka, 6:10, 11).
Me,nete adalah present imperative aktif yang ditujukan kepada orang kedua jamak—dalam hal ini murid-murid Yesus.  Me,nete[106] berarti ‘tinggallah’ di suatu rumah yang menerima dengan tangan yang terbuka sampai keluar dari situ.  Imperative me,nete memberi penekanan pada apa yang harus diperbuat murid-murid yaitu menetap di rumah orang yang siap menerima mereka dan Injil.  Imperative tersebut juga menimbulkan kesan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, murid-murid Yesus akan menghadapi penolakkan juga.
vEktina,xate adalah aorist imperative aktif yang juga ditujukan kepada murid-murid Yesus apabila mereka mengalami penolakkan.  vEktina,xate to.n cou/n berarti ‘kebaskanlah’ debu dari kakimu, ini adalah simbol yang ekstrim, penghinaan terhadap orang lain, dan penolakkan untuk memiliki pergaulan dengannya.[107]  Kebiasaan ini dijelaskan oleh Schweizer: “The gesture of shaking off the dust was performed by Jews when they returned to the Holy Land from a Gentile region and wished to leave everything unclean behind them.[108]  France menjelaskan, “The rabbis shook the dust off their feet when leaving Gentile territory, to avoid carrying its defilement with them.[109]
Tindakan mengebaskan debu dari kaki bertujuan sebagai peringatan bagi mereka ‘eivj martu,rion auvtoij.’  Frasa ini memberi kesan bahwa tindakan tersebut bertujuan membawa mereka pada perubahan hati.[110]  Schweizer menambahkan, “It might be a “sign” (translated here as “warning”) for those who were not ready to repent, so that they might recognize the seriousness of their action and perhaps repent even yet, or it may be a sign against them, namely on the Day of judgement.[111]
Itu berarti kedua imperative tersebut (me,nete* evktina,xate% mengajarkan kepada murid-murid bahwa tugas pemberitaan Injil bukan sesuatu yang ringan, mereka akan menghadapi banyak kesulitan.  Teks ini harus dilihat sebagai ungkapan Markus yang khas.  Ia seolah-olah ingin berkata begini: “Jangan cemas, sebab semuanya itu sudah diketahui sebelumnya! Yesus sendiri sudah memberitahukan bahwa kamu akan ditolak.”[112]  Mereka harus siap menghadapi keadaan diterima maupun ditolak. 
Respons murid-murid menanggapi kedua perintah Yesus dalam kisah pengutusan ini ialah: “Lalu pergilah mereka memberitakan bahwa orang harus bertobat, dan mereka mengusir banyak setan, dan mengoles banyak orang sakit dengan minyak dan menyembuhkan mereka.”  Misi pemberitaan Injil yang Yesus lakukan kini dilakukan oleh murid-murid Yesus. 
Setelah murid-murid pergi menunaikan tugasnya, Markus mengisahkan tentang pendapat Herodes mengenai Yesus dan kisah pembunuhan Yohanes Pembaptis.  Seolah-olah Markus ingin berkata para murid telah pergi; mereka sadar bahwa pemberitaan Injil akan disertai aniaya dan penolakkan; peristiwa dibunuhnya Yohanes Pembaptis menjadi bukti nyata.[113]
Kemudian rasul-rasul itu kembali berkumpul dengan Yesus dan memberitahukan kepada-Nya semua yang mereka kerjakan dan ajarkan.  Lalu Yesus memberi perintah kepada mereka: “Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan berisitirahat seketika!” (6:30, 31).  Barclay menyebutkan perintah beristirahat sebagai irama kehidupan kristiani.  Kehidupan kristiani merupakan gerak berkelanjutan untuk masuk ke hadirat Allah setelah dari hadapan manusia lalu tampil keluar ke hadapan manusia setelah dari hadirat Allah.[114] 
Orang-orang banyak segera berdatangan, Yesus memandang mereka dengan penuh belas kasihan.  Lalu mulailah Yesus mengajarkan banyak hal kepada mereka (6:34).  Ketika hari sudah malam Yesus memberi perintah kepada murid-murid-Nya: “Kamu harus memberi mereka makan!” (6:37).  Tuhan Yesus sedang mengajarkan perlunya kepekaan untuk memperhatikan kebutuhan sesama.  Yesus telah mengajar orang banyak itu, namun Ia juga memperhatikan kebutuhan mereka akan makanan—misi yang holistik.  Respons murid-murid adalah mereka ingin menyuruh orang banyak itu pergi mencari makanan sendiri.  Murid-murid berpikir, mereka tidak mungkin memberi orang banyak itu makan karena apa yang ada pada mereka tidak cukup.  Perintah Yesus terkesan tidak masuk akal bagi mereka.  Karena itu, Yesus ingin mengajar mereka bahwa jikalau seseorang melakukan misi Allah maka Allah akan berkarya melalui hidupnya.  Yang utama adalah melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya dan mengandalkan-Nya dalam segala sesuatu.  Murid-murid hanya terpesona saja, mereka tidak memahami kaitan makna tindakan Yesus memberi makan 5000 orang yang penuh kuasa dengan identitas pribadi-Nya.
Mujizat memberi makan 5000 orang dilanjutkan dengan kisah Yesus berjalan di atas air (6:45-52).  Sementara murid-murid-Nya berangkat lebih dulu ke Betsaida, Yesus berdoa seorang diri di bukit.  Yesus melihat dari kejauhan murid-murid-Nya sedang kepayahan mendayung karena angin sakal.  Yesus menyusul mereka dengan berjalan di atas air.  Mereka mengira Yesus hantu, karena itu Ia berkata: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!”  Lalu Yesus naik ke perahu mendapatkan mereka, dan angin pun redalah.  Respons murid-murid Yesus tampak dari komentar Markus: “Mereka sangat tercengang dan bingung, sebab sesudah peristiwa roti itu mereka belum mengerti juga, dan hati mereka tetap degil.”  Perintah Yesus “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” menyatakan Ia berkuasa terhadap alam–Ia menunjukkan keilahian-Nya–namun murid-murid belum juga mengerti.  Mereka tidak menangkap harapan Yesus agar mereka sendiri mampu mengatasi badai yang mengamuk.  Mereka tidak memahami kaitan antara makna Yesus berjalan di atas air dan meredakan angin sakal yang penuh kuasa dengan identitas pribadi-Nya.[115] 
Markus secara konsisten menggambarkan bahwa misi utama Yesus adalah memberitakan Injil melalui pengajaran dan pengusiran setan/penyembuhan.  Yesus menyembuhkan orang-orang di Genesaret (6:53-56); mengusir setan dari anak perempuan Siro Fenisia (7:24-30); menyembuhkan seorang tuli (7:31-37).  Yesus juga mengajar melalui perumpamaan ketika menentang adat istiadat orang Yahudi (7:1-23), Ia kembali memberi perintah “Barangsiapa bertelinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!” 
Markus kemudian mengungkap perintah Yesus o`rate( ble,pete avpo. tn/j zu,mhj tw/n farisai,wn kai th/j zu,mhj  Hrw,|dou (Berjaga-jagalah dan awaslah terhadap ragi orang Farisi dan ragi Herodes, 8:15).  `Orate adalah bentuk imperative dari o`ra,w,[116] yang berfungsi sebagai sebuah perintah atau larangan.  `Orate merupakan present imperative yang memberi perintah untuk memulai suatu tindakan dan menjadikannya kebiasaan yang terus-menerus dilakukan.[117]
Ble,pete adalah bentuk imperative dari ble,pw,[118] yang memiliki fungsi dan jenis imperative yang sama dengan o`rate)  Sebuah present imperative yang berarti “Be constantly keeping a watchful eye open to consider and take heed of.  Kedua imperative tersebut (ble,pete dan o`rate% mengacu kepada menolak ‘ragi orang Farisi dan ragi Herodes.  Bagi orang Yahudi, ragi adalah lambang hal yang jahat.  Ragi adalah potongan adonan yang dipertahankan dari dalam bahan kue yang dibakar dan difermentasi.  Pemuaian sama artinya dengan pembusukan dan karena itu ragi adalah lambang kejahatan.[119]
Konteks imperative ini adalah orang Farisi baru saja meminta tanda dari Tuhan Yesus—suatu tanda dari sorga (8:11, 12) dan Herodes yang begitu ketakutan terhadap kehilangan kekuasaan, kemakmuran, pengaruh dan prestise karena tersaingi oleh popularitas Yesus.  Bagi orang Farisi dan Herodes, konsep Kerajaan Allah adalah kerajaan duniawi yang dibangun atas kemenangan-kemenangan yang diraih dengan kekuatan berdasarkan kuasa dan kebesaran dunia.  Mereka berpikir tentang Mesias dalam kerangka: hal-hal ajaib, penaklukan, peristiwa-peristiwa mukjizat, kemenangan nasionalistik, dan supremasi politis.  Karena itu, Yesus ingin mempersiapkan para murid untuk memiliki pandangan yang benar tentang Kerajaan Allah dan Mesias—bukan seperti pandangan orang Farisi dan Herodes.  Dalam konteks demikian, perkataan Yesus tertuju kepada murid-murid-Nya: “Orate( ble,pete avpo. tn/j zu,mhj tw/n farisai,wn kai th/j zu,mhj  Hrw,|dou)  Sebuah perintah dengan larangan yang harus terus-menerus menjadi perhatian para murid, untuk menyingkirkan ragi orang Farisi dan Herodes dari pikiran dan cara hidup mereka.[120]
Markus kemudian mengisahkan bagaimana Petrus dihardik oleh Yesus:  [Upage ovpi,sw mou( Satana/( o[ti ouv fronei/j ta. tou/ qeou/ avlla. tw/n avnqrw,pwn (“Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia”).  Sampai tahap ini murid-murid belum mengerti siapa Yesus yang sesungguhnya, padahal Petrus baru saja mengakui Yesus adalah Mesias.
Present imperative aktif “Upage ovpisw mou( Satana yang ditujukan kepada Petrus juga merupakan peringatan keras untuk menyingkirkan pemahaman yang salah tentang Mesias dari pola pikir Petrus dan murid-murid lainnya.  Bentuk present menunjukkan betapa pola pikir seperti itu tidak boleh melintas di pikiran mereka sampai kapan pun karena pola pikir tersebut bukanlah berasal dari Allah melainkan dari manusia.
Kemudian Markus menyatakan perintah Yesus dalam pasal 8:34 “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku”  (Ei; tij qe,lei ovpi,sw mou avkolouqei/n( avparnhsa,sqw e`auto.n kai. avra,tw to.n stauro.n auvtou/ kai. avkolouqei,tw moi))  Perkataan Yesus ini merupakan sebuah pengajaran menanggapi reaksi Petrus terhadap pemberitahuan pertama tentang kematian-Nya.  Perkataan ini bernada sangat keras bagaikan pukulan yang dijatuhkan di atas kepala pembaca.  Ada tiga kata kerja yang bernada imperative merangkai kalimat ini.  Ketiga kata kerja tersebut bertujuan mengungkap pengajaran Yesus tentang arti menjadi murid yang sejati.
Kata kerja avparnhsa,sqw (menyangkal diri) dan avra,tw (memikul), keduanya memakai modalitas imperative dengan bentuk aorist yang menyatakan sebuah tindakan yang terjadi sekali untuk selamanya.  Kata kerja tersebut diikuti dengan bentuk present ‘mengikut Aku’ yang menunjukkan sebuah proses yang berlangsung secara terus-menerus.[121]
Penjelasan tentang pengulangan “Orang yang mau mengikut Aku . . . harus mengikut Aku.”  Antara pangkal dan ujung kalimat ini diberi penjelasan terperinci: sebelum seseorang memutuskan untuk menjadi murid Kristus, ia harus menyadari bahwa ia harus meniru  dan membuktikan bahwa ia mampu untuk ‘menyangkal diri’ dan ‘memikul salib.’[122]  Pemahaman ini dijelaskan Zerwick dengan menyebutkan aturan gramatika bahwa jika sebuah imperative (avkolouqei,tw) dihubungkan dengan kata sambung ‘dan’ kepada imperative sebelumnya (avra,tw dan avparnhsa,sqw), maka anak kalimat terakhir mengandung konsekuensi dari tindakan-tindakan sebelumnya.[123]  Jadi bila seseorang ingin mengambil keputusan untuk menjadi murid Kristus, ada dua hal yang perlu diperhatikannya yaitu: yang batiniah (menyangkal diri) dan lahiriah (memikul salib sendiri).
Markus menggunakan  kata kerja avparnhsa,sqw (menyangkal diri) dan avra,tw (memikul), keduanya memakai bentuk aorist yang menyatakan sebuah tindakan sekali untuk selamanya, dan kata-kata kerja tersebut diikuti dengan present tense avkolouqei,tw (mengikut Aku) yang menunjukkan sebuah proses yang berlangsung secara terus-menerus.   vAparnhsa,sqw dan avra,tw memakai modalitas imperative, sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa perkataan Yesus ini menyatakan sebuah perintah bagi seseorang yang ingin menjadi murid Kristus, tindakan menyangkal diri dan memikul salib bukanlah tindakan sekali seumur hidup melainkan tindakan yang terus-menerus harus teraplikasi dalam perjalanan hidupnya.  Kesimpulan ini senada dengan Wuest:
The first two imperative are aorist giving a summary command to obeyed at once.  The “coming after” and the “taking up” are to obeyed at once and are to be a once-for-all act.  That is, these acts are to be looked upon as a permanent attitude and practice of life.  The whole life is to be characterized by an habitual coming after and taking up of the cross.  After having once for all given over the life to the Lord, the believer must hence-forward count it ever so given over.  He is the Lord’s property.  The word “follow” however, is in the Present imperative, which commands the doing of an action and its habitual, moment by moment continuance.  The first two imperative give direction to the life.  The last speaks of the actual living of that which has been given direction by two once-for all acts.[124]

Narasi Markus dalam perjalanan ke Yerusalem memperlihatkan adanya perbedaan antara apa yang diharapkan para murid dari tindakan mengikut Yesus dengan apa yang diharapkan Yesus dari para murid.  Rhoads dan Michie menjelaskan harapan murid-murid Yesus:
Para murid berharap bahwa bila Mesias datang Allah akan mendudukkan-Nya sebagai raja di Israel dalam kuasa dan kemuliaan.  Para murid berpendapat bahwa jika Yesus adalah Mesias, mereka akan mendapat keuntungan karena bergabung bersama Dia.  Para murid mengharapkan bahwa dengan mengikut Yesus mereka akan menyelamatkan hidup mereka.  Dengan meninggalkan segala sesuatu demi pemerintahan Allah dan sekarang dengan menjadi anggota kelompok dua belas pilihan Yesus, mereka berharap bahwa ketika Yesus menegakkan pemerintahan Allah di Israel mereka akan mendapatkan kemakmuran (memperoleh seluruh dunia), posisi yang penting sebagai yang berkuasa.  Apa yang dahulu telah mereka alami tentang Yesus dalam cerita selama ini lebih memperkuat harapan-harapan tersebut: penyembuhan-penyembuhan, tindakan pengusiran setan, tindakan-tindakan penuh kuasa atas alam dan banyaknya orang yang mengagumi Yesus.  Dan kepada mereka dikatakan bahwa mereka akan menjadi penjala manusia.[125]

Dalam Markus 9:39, Yesus memberi perintah kepada murid-murid-Nya: Mh. kwlu,ete auvto,n) Ouvdei.j ga,r evtin o]j poih,sei du,naming evpi. tw/| ovno,mati, mou kai. duvn,setai tacu. kakologh/sai, me (“Jangan kamu cegah dia! Sebab tidak seorang pun yang telah mengadakan mujizat demi nama-Ku dapat seketika itu juga mengumpat Aku”).
Kwlu,ete adalah present imperative aktif yang ditujukan kepada orang kedua jamak (murid-murid).  Pola mh. + present imperative menyatakan bahwa pembicara melarang sebuah tindakan sampai selama-lamanya.[126]  Mh. kwlu,ete auvto,n “Jangan kamu cegah dia!” berarti murid-murid dilarang untuk mencegah orang-orang yang mengadakan mujizat demi nama Kristus walaupun mereka bukan termasuk kelompok kedua belas.[127]  Yesus mengajarkan mereka untuk memiliki hati yang selalu terbuka menerima orang-orang lain pula.  Cox memberi catatan tentang bagian ini demikian:
The pericope wherein Jesus addresses John’s exclusivist concerns about an outsider exorcising in Christ’s name (9:38-41), portrays Jesus appealing to John and to all his follower to be open and tolerant of all people who call on his name (9:40).  In this context it means regardless of whether they belong to the group of the ‘The Twelve or not.[128]

Sangat menarik untuk menyimak kesimpulan Delorme mengenai Markus 9:38-40, ia menjelaskan demikian:
Arti ketiga ayat ini menjadi lebih jelas, bila menghubungkannya dengan ayat 35.[129]  Yesus minta, supaya kedua belas murid menjadi pelayan-pelayan.  Yohanes dan rasul-rasul lain, sebaliknya, berlagak ibarat penguasa: mereka ingin berkuasa dan tidak mau berbagi kekuasaannya dengan orang lain.  Mereka hendak memonopoli kuasa Kristus.  Orang-orang Kristen sebagai kelompok memang selalu tergoda untuk menguasai, padahal hukum yang diberikan Kristus sebagai dasar eksistensi kelompok murid-murid-Nya ialah hukum melayani.[130]

Jadi, larangan Yesus dalam imperative mh. kwlu,ete auvto,n menyadarkan dan menyentak murid-murid untuk membuang karakter yang ingin berkuasa dan menggantikannya dengan hati yang terbuka dan toleran terhadap orang lain.
Dalam Markus 9:43, 45, 47, 50 Yesus menggunakan beberapa imperative dalam bagian ini yaitu avpo,koyon (Penggallah!); e;kbale (Cungkillah) mengajarkan pentingnya murid Kristus untuk menahan diri dari dosa dan dari tindakan yang menyebabkan orang lain berbuat dosa.  Imperative ini juga menegaskan bahwa seorang murid harus setia mempertahankan hidup yang murni, jauh dari keserakahan dan kenajisan, sebaliknya hidup dalam kesederhanaan dan ketulusan.[131]  Bentuk aorist dalam imperative ini menuntut keputusan segera dari murid-murid untuk meninggalkan segala kejahatan dan keserakahan dunia ini. 
Yesus menutup bagian pengajaran-Nya dalam Markus 9:38-50 (tentang tema kehambaan dengan mengaplikasikan nilai-nilai pemuridan dalam kehidupan sehari-hari)[132] dengan imperative e;cete evn e`autoi/j a[la kai. eivrhneu,ete evn avllh,loij (Hendaklah kamu selalu mempunyai garam dalam dirimu dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang lain).  Dua imperative (e;cete dan eivrhneu,ete) yang Yesus gunakan ini bernada positif sebagai perintah yang seharusnya dilakukan terus-menerus oleh murid-murid berlawanan dengan sikap hidup dunia ini (yang ditentang Yesus dalam imperative pada paragraf yang di atas).  Murid-murid harus menjadi garam yang mempunyai pengaruh positif pada sesama (bukan hidup dalam dosa dan menyebabkan orang lain berbuat dosa) dan mereka harus membawa damai bagi kehidupan antar sesama.
Kemudian Markus melanjutkan kisahnya dengan menggambarkan Yesus yang setia mengerjakan misi-Nya.  Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah sungai Yordan (10:1).  Yesus dan murid-murid-Nya telah meninggalkan kawasan orang-orang kafir di Galilea dan kini mereka berada di wilayah orang-orang Yahudi di Yudea, sudah mendekati kota Yerusalem.  Markus menceritakan Yesus sedang berhadapan dengan orang-orang Yahudi yang ingin mencobai-Nya.  Pada bagian ini, Yesus mengajarkan bagaimana pemuridan berkaitan dengan: perceraian (10:2-12), anak-anak (10:13-16) dan kekayaan (10:17-31).
Pengajaran Yesus tentang pemuridan yang berkaitan dengan anak-anak (10:13-16) terdapat perintah Yesus kepada murid-murid-Nya: a;fete ta. paidi,a e;rcesqai pro,j me( mh. kwlu,ete auvta( tw/n ga.r toiou,twn evstin h` basilei,a tou/ qeou/ (Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah) (10:14).
Pola mh. + present imperatif kembali muncul dalam perkataan Tuhan Yesus ini.  Kwlu,ete berasal dari kata kwluw to forbid, hinder, prevent.  Mh. kwlu,ete merupakan imperative of prohibition, “Stop, jangan menghalang-halangi.”[133]  Murid-murid Yesus baru saja menghardik anak-anak, kemudian Yesus mengatakan imperative ini dengan marah.  Bentuk present menyatakan bahwa Yesus melarang mereka melanjutkan tindakan menghalang-halangi anak-anak tersebut.  Menurut Delorme,[134] Markus menanggapi persoalan ini dari sudut menyambut Kerajaan Allah sebagaimana seorang anak kecil tahu menyambutnya.  Sebab Kerajaan Allah adalah suatu pemberian dan orang harus dapat menerimanya sebagai suatu hadiah dari Allah.  Anak tidak pernah bersikap seolah-olah hadiah yang telah diterimanya, direbutnya dengan paksa.  Sebab ia tahu bahwa ia bergantung pada orang lain.  Karena itu, tidak ada seorang pun dapat merebut Kerajaan Allah dengan paksa, dengan kekuatan sendiri.  Itulah sebabnya, murid-murid tidak boleh menghalang-halangi anak-anak itu, namun sebaliknya murid-murid harus menerima mereka dan belajar sikap dari anak-anak tersebut.  Murid-murid harus menyadari bahwa Yesus tidak pernah mengharapkan mereka menjadi orang-orang yang mencari kebesaran dan kekuasaan, melainkan mereka harus mengejar yang utama yaitu membesarkan Kristus dan Kerajaan-Nya melalui pemberitaan Injil.
Kemudian Markus melanjutkan narasinya mengenai pemuridan yang berkaitan dengan kekayaan dalam narasi orang kaya yang datang kepada Yesus (10:17-27).  Pada bagian ini terdapat perintah: “Juallah apa yang kau miliki . . . kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku.”  Melalui perintah ini, Yesus ingin mengajarkan bahwa pemuridan harus menjadi prioritas yang terbesar dalam hidup seorang murid bukan kekayaan materi.  Pemuridan artinya melepaskan segala kebanggaan, kekayaan dan kesenangan masa lalu untuk mengikut Yesus. 

perintah yesus dalam narasi wahyu yang dialami para murid di yerusalem (11-16).

Kini Markus membawa pembaca untuk menyimak apa yang terjadi selama Yesus berada di Yerusalem.  Markus membuka alur cerita ini dengan peristiwa Yesus menunggangi keledai memasuki Yerusalem.  Banyak orang yang menghamparkan pakaiannya di jalan, ada pula yang menyebarkan ranting-ranting hijau yang mereka ambil dari ladang.  Orang-orang berjalan di depan dan mereka yang mengikuti dari belakang berseru: “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, diberkatilah Kerajaan yang datang, Kerajaan bapak kita Daud, hosana di tempat yang maha tinggi!”
Melalui peristiwa awal memasuki Yerusalem ini, Yesus ingin menyatakan bahwa Ia adalah Mesias.  Kemesiasan Yesus tampak ketika Ia memerintahkan dua murid-Nya untuk pergi ke kampung dan menemukan keledai muda yang tertambat.  Perintah Yesus sangat tepat seperti yang dialami oleh kedua murid yang diperintah-Nya.  Perintah Mesianik yang diresponi kedua murid dengan ketaatan penuh ini, menyatakan Ia adalah Tuhan yang Mahatahu.  Dan sekaligus mengindikasikan bahwa peristiwa ini masuk dalam agenda yang telah dirancang Yesus.
Peristiwa Yesus dielu-elukan di Yerusalem merupakan suatu tindakan demonstratif, seolah-olah Yesus ingin menyatakan kepada orang banyak bahwa jikalau mereka yang mempunyai telinga tetapi tidak mau mendengar, baiklah mereka melihat sekarang.[135]  Tindakan demonstratif ini Yesus lakukan untuk menunjukkan bahwa Ia adalah Mesias.  Namun Ia datang menunggangi keledai.  Di Palestina, seorang raja yang mengendarai kuda melambangkan ia datang dengan maksud perang, bila mengendarai keledai ia datang dengan maksud damai.[136]  Yesus datang menyatakan Diri-Nya sebagai Raja yang lemah lembut dan rendah hati.  Ia datang dalam damai dan demi kedamaian.[137]
Perintah Yesus kepada murid-murid-Nya kembali terdengar setelah Yesus mengutuk pohon ara.  Kisah Yesus mengutuk pohon ara pada 11:12-14 dan 11:20-26 membingkai kisah tentang Yesus menyucikan Bait Allah.  Perintah Yesus kepada murid-murid-Nya menjadi makna dari peristiwa pengutukan pohon ara tersebut.  Perintah Yesus: “Percayalah kepada Allah! Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! Asal tidak bimbang hatinya, tetapi percaya, bahwa apa yang dikatakannya itu akan terjadi, maka hal itu akan terjadi baginya.  Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu.  Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu.” 
Pengutukan pohon ara mengajarkan bahwa Firman Kristus itu berkuasa dan membawa hasil.  Karena itu Yesus memerintahkan mereka untuk percaya kepada Allah.  Ia menanggapi iman dan doa mereka yang berseru kepada-Nya.  Ia juga mengajarkan murid-murid untuk meresapi semangat pengampunan terhadap sesama sebagai bukti iman kepada Allah.
Rangkaian kisah berikutnya, Markus mengisahkan perlawanan yang dihadapi Yesus dari musuh-musuh-Nya.  Ahli-ahli Taurat dan tua-tua mempertanyakan sumber kuasa Yesus (11:27-33).  Beberapa orang Farisi dan Herodian berusaha menjerat Yesus dengan pertanyaan tentang kewajiban membayar pajak kepada Kaisar (12:13-17).  Orang Saduki menjebak dengan pertanyaan tentang kebangkitan (12:18-27).  Seorang ahli Taurat mempertanyakan tentang hukum mana yang paling utama (12:28-34).  Menanggapi musuh-musuh-Nya, kemudian Yesus memberi pengajaran tentang hubungan antara Diri-Nya dan Daud.  Dalam pengajaran-Nya, Ia memberi perintah: “Hati-hatilah terhadap ahli-ahli Taurat yang suka berjalan-jalan memakai jubah panjang dan suka menerima penghormatan di pasar, yang suka duduk di tempat terdepan di rumah ibadat dan di tempat terhormat dalam perjamuan, yang menelan rumah janda-janda, sedang mereka mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang.  Mereka ini pasti akan menerima hukuman yang lebih berat.”  Kemudian Markus melanjutkan kisahnya dengan persembahan janda miskin (12:41-44).  Kisah janda miskin ini juga merupakan tanggapan terhadap kemunafikan musuh-musuh Yesus—yang memberi persembahan hanya untuk dilihat dan dipuji orang—dan terhadap ketamakan mereka yang dikontraskan dengan pengurbanan seorang janda miskin tersebut.[138]
Perintah Yesus untuk berhati-hati terhadap ahli-ahli Taurat merupakan serangan atas praktik kehidupan ahli-ahli Taurat.  Kesungguhan dan kerajinan mereka dalam menuntut kesalehan adalah kemunafikan semata-mata.[139]  Yesus memperingatkan murid-murid-Nya untuk menjauhi praktik kehidupan ahli-ahli Taurat tersebut.  Murid-murid harus menjalani hidup dalam kesalehan yang murni.
Pada pasal 13, imperative dalam perkataan Yesus yang sering muncul adalah “Hati-hatilah! (ble,pete) dan Berjaga-jagalah!” (agrupteneite atau gregoreite).  Ble,pete terdapat pada 13:5, 23 dalam konteks Yesus memperingatkan murid-murid untuk hati-hati terhadap penyesatan,[140] karena akan datang banyak orang yang memakai nama Yesus dan mengaku bahwa mereka adalah Mesias yang menjanjikan hal-hal yang muluk-muluk dan yang membangkitkan pengharapan yang bukan-bukan.  Peringatan ini diulang kembali dalam 13:21 dengan mengunakan imperative yang berbeda.[141]
Ble,pete terdapat juga pada 13:9 dalam konteks Yesus mempersiapkan murid-murid menghadapi penganiayaan dan penderitaan yang akan mereka alami karena memberitakan Injil.[142]  Mereka harus menyadari bahwa pemberitaan Injil di seluruh dunia, tidak mungkin terlepas dari perlawanan, konflik dan aniaya.[143]
Ble,pete (Hati-hatilah!) dan avgrupteneite (Berjaga-jagalah)( terdapat pada 13:33 dan gregorei/te (Berjaga-jagalah!) pada 13:35 dan 37 dalam konteks Yesus memperingatkan murid-murid untuk siap sedia menghadapi kedatangan Anak Manusia yang sama pastinya seperti datangnya musim panas yang diisyaratkan dengan melembutnya dan bertunasnya ranting-ranting pohon ara (13:28).  Tetapi hari dan saatnya kejadian itu adalah rahasia yang diketahui Allah Bapa saja.[144]  Present imperative ini menuntut murid-murid untuk bertanggung jawab menjalani kehidupan ini sampai kedatangan Anak Manusia yang kedua kali.
Pasal 14-16, merupakan puncak dari kisah Markus.  Dalam perjamuan terakhir (14:22-25), Yesus memberi perintah: “Ambillah, inilah tubuh-Ku. . . .  Inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang.”  Dalam bahasa Aram, kata tubuh menunjukkan tubuh manusia, dalam arti: “Inilah Aku (yang memberikan Diri-Ku).”  Dengan menyebut darah, ditegaskan gagasan mengenai pengurbanan dalam arti: “Aku mengurbankan hidup-Ku sebagai persembahan.”  Dalam dunia yang bermentalitas Yunani, ungkapan sedemikian menyatakan pengurbanan yang menyeluruh (Latin: immolation), sebab darah dinyatakan sebagai unsur yang terpisah dari tubuh.[145]  Kematian Yesus ditujukan bagi banyak orang dan melalui kematian-Nya perjanjian antara Allah dan umat manusia dimeteraikan untuk selama-lamanya.  Perintah ini mengingatkan murid-murid terhadap Mesias yang harus menderita.  Mesias yang harus mengurbankan diri untuk menggenapkan rencana Allah bagi penebusan banyak orang.  Kini, Yesus menyatakan dengan jelas siapa Dia sesungguhnya.  Ia menyatakan Diri-Nya adalah Kristus, Anak Allah di hadapan Mahkamah Agama (14:60-62).  Dan melalui pernyataan seorang kafir, prajurit Romawi, Markus membuka rahasia siapa Yesus.  Sambil menyaksikan Yesus disalib, prajurit Romawi itu berkata: “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah” (15:39).[146]
Di taman Getsemani, Yesus memerintahkan murid-murid-Nya demikian: “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan; roh memang penurut, tetapi daging lemah.”  Tiga kali Yesus memberikan perintah “Berjaga-jaga dan berdoalah” namun respons murid-murid-Nya adalah mereka tertidur.  Mereka tidak memahami apa yang akan terjadi ke depan.  Murid-murid tidak mendengar, mereka tidak mengerti padahal Yesus sudah memberitahukan tentang kematian-Nya tiga kali kepada mereka.  Akhirnya, murid-murid gagal menghadapi ujian iman.  Mereka meninggalkan Yesus seorang diri.  Yudas menjual Yesus, sementara Petrus menyangkal Dia.
Markus menggambarkan penangkapan sampai kematian Yesus yang ditanggung-Nya dengan kekuatan Allah, sementara murid-murid-Nya gagal, lemah dan jatuh ke dalam pencobaan.  Namun setelah Yesus bangkit, Ia berpesan kepada murid-murid-Nya dan Petrus bahwa Ia mendahului mereka ke Galilea, di sana mereka akan bertemu.  Sebuah rekonsiliasi terjadi antara Yesus dan murid-murid-Nya.  Rekonsiliasi yang diprakarsai oleh Yesus sendiri.  Yesus mengasihi mereka dan kini murid-murid-Nya mengenal Yesus—Anak Allah.  Inilah titik balik dalam hidup mereka.  Mereka siap melanjutkan misi Kristus bagi dunia ini.
Perintah yang terakhir yang Yesus berikan terdapat dalam Markus 16:15 Poreuqe,ntej eivj to.n ko,smon a]panta khru,xate to. Euvagge,lion pa,sh/| th/| kti,sei (“Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk . . . ”).  Amanat ini diberikan setelah kebangkitan Kristus. Itu berarti bahwa tanpa kebangkitan Kristus murid-murid tidak dapat melanjutkan pemberitaan Injil.  Amanat Agung ini diberikan kepada mereka karena Yesus telah mempersiapkan dan mendidik mereka untuk memberitakannya.[147]
Khru,xate[148] adalah aorist imperative aktif menyatakan bahwa misi pemberitaan Injil mengacu pada suatu jangka waktu tertentu.  Kini murid-murid telah siap diutus, mereka harus menyatakan Injil yang berotoritas mengubahkan manusia.  Makna penting dari Amanat Agung ini ialah bahwa Injil adalah bagi semua bangsa, murid-murid diutus ke seluruh dunia dan Injil harus diwartakan ke seluruh makhluk.[149]  Ruang lingkup pengutusan bersifat universal.  Murid-murid diutus kepada bangsa, suku dan kaum dan bahasa.[150] 
Pemberitaan Injil mengandung konsekuensi: “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum” (16:16).  Pemberitaan Injil bukanlah misi yang mudah melainkan sarat dengan penderitaan dan kesusahan.  Murid-murid Yesus telah mengalami beratnya penderitaan dan kesusahan itu.  Kisah Para Rasul mencatat penganiayaan yang dialami oleh rasul-rasul dan jemaat mula-mula.  Dalam pemberitaan Injil selalu saja ada dua respons yaitu mereka menerima atau menolak.[151] 
Tuhan Yesus memberi jaminan penyertaan-Nya bagi mereka yang mengerjakan misi Kristus.  Ada tanda-tanda yang menyertai:
Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka, mereka akan memegang ular, dan sekalipun mereka minum racun maut, mereka tidak akan mendapat celaka; mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit dan orang itu akan sembuh (Mrk. 16:17-18).

Murid-murid membutuhkan otoritas dan kuasa Allah untuk mengerjakan misi Kristus karena pemberitaan Injil bukanlah melawan darah dan daging melainkan melawan pemerintah-pemerintah, penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.[152]  Tuhan Yesus memberikan tanda-tanda yang akan menyertai murid-murid yang memberitakan Injil.  Tanda-tanda ini menyatakan kejayaan Injil bahwa Tuhan akan menyertai, melindungi dan menguatkan murid-murid yang memberitakan Injil dari kuasa setan, alam dan manusia.[153]  Murid-murid tidak pernah ditinggalkan sendirian melakukan misi-Nya.  Kristus selalu bekerja dengan, di dalam, dan melalui mereka.[154]


Rangkuman
Pada bagian narasi pemanggilan murid (1:16-6:6a) terdapat dua perintah untuk mengikut Yesus (1:16 dan 2:14) yang mendapat respons ketaatan dari para murid.  Terdapat pula dua perintah pergi ke tempat yang lain untuk memberitakan Injil (1:38 dan 4:35).  Selain itu, ada perintah untuk mendengar apa yang Yesus ajarkan (4:23).  Jadi perintah-perintah Yesus pada proses pemanggilan murid menekankan kesiapan untuk mengikut Yesus, kesiapan untuk terlibat dalam misi Kristus—memberitakan Injil dan ketaatan untuk mendengar apa yang Yesus ajarkan.
Pada bagian narasi pendidikan murid (6:6b-10:52) terdapat perintah untuk pergi memberitakan Injil dengan berserah kepada Tuhan atas kebutuhan hidup dan konsekuensi mengerjakan misi itu (6:8-10).  Terdapat juga perintah yang berkaitan dengan perlunya memiliki kesegaran fisik dan rohani di dalam mengerjakan misi pemberitaan Injil (6:31).  Yesus memberi perintah kepada murid-murid untuk memiliki kepekaan terhadap kebutuhan fisik orang-orang yang dilayani dan untuk memahami siapa Yesus dari apa yang didemonstrasikan-Nya (6:37-38, 50).  Yesus juga memerintahkan kepada mereka untuk mengenal Dia sebagai Mesias yang harus menderita (8:15, 33) dan murid-murid juga harus siap mengambil bagian dalam penderitaan Kristus.  Yesus memerintahkan mereka untuk siap menyangkal diri dan memikul salib (8:34), menjadi yang terakhir, pelayan dan hamba dari semuanya (9:35, 39, 10:43, 44), dan menjadi berkat bagi sesama (9:43, 44, 47, 49, 50).
Pada bagian narasi wahyu yang dialami murid-murid di Yerusalem (11-16), Yesus memerintahkan murid-murid untuk memiliki iman yang teguh kepada Tuhan dan menunjukkan iman itu di dalam relasi terhadap sesama (11:2, 22, 24, 25; 14:13-15), dan menjalani hidup dalam kesalehan yang murni (12:38).  Iman yang teguh membuat murid-murid tidak tergoyahkan oleh penyesatan (13:5, 21), tidak gentar menghadapi penderitaan dalam mengerjakan misi Kristus (13:9, 11), dan menjalani hidup dengan bertanggung jawab sambil menantikan kedatangan Kristus yang kedua kali (13:33, 35, 37).  Perintah-perintah Yesus selanjutnya mulai mengarahkan murid-murid menghadapi kematian-Nya walaupun mereka belum juga memahami apa yang akan terjadi (14:22, 32, 38, 41).  Pada akhirnya murid-murid memahami bahwa Yesus adalah Mesias yang harus menderita dan Tuhan yang berkuasa dan yang bangkit.  Saat itulah Yesus memberi perintah kepada mereka untuk mengerjakan misi pemberitaan Injil—yang sarat dengan penderitaan dan kesusahan—ke seluruh dunia dan kepada segala makhluk dengan tanda-tanda dari Tuhan yang menyertai (16:15-18).
Rangkaian perintah-perintah Yesus yang penulis uraikan pada bab ini, menjadi acuan untuk mengungkap teologi pemuridan dari Injil Markus.  








BAB IV

TEOLOGI PEMURIDAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PROSES PEMURIDAN MASA KINI





Pada bab ini penulis akan merumuskan teologi pemuridan berdasarkan studi terhadap perintah-perintah Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya.  Kemudian penulis akan membahas implikasi dari teologi tersebut terhadap proses pemuridan masa kini.

TEOLOGI PEMURIDAN DALAM INJIL MARKUS
Perintah “Ikutlah Aku!” ditujukan Tuhan Yesus kepada murid-murid disertai dengan tujuan Yesus memanggil mereka yaitu menjadi penjala manusia.  Setelah panggilan dan respons murid-murid yang taat, dilanjutkan dengan dua perintah (1:38 dan 4:35) untuk pergi ke berbagai tempat untuk memberitakan Injil.  Markus ingin menunjukkan bahwa Yesus segera melibatkan murid-murid-Nya di dalam misi pemberitaan Injil, dan itulah yang paling utama di dalam hidup Kristus dan murid-murid-Nya.  Misi Kristus memberitakan Injil terimplementasi dalam dua hal yaitu: mengajarkan kebenaran dan bertindak dengan kuasa (menyembuhkan/mengusir setan).  Murid-murid mengikuti Yesus pergi ke seluruh Galilea.  Mereka melihat Yesus mengajar dan bertindak dengan penuh kuasa.  Markus ingin menyatakan bahwa pemuridan adalah panggilan untuk mengikut Yesus di dalam misi-Nya  dan mengalami serta memberitakan karya Yesus yang berkuasa kepada dunia ini.
Perintah “Barangsiapa mempunyai telinga untuk mendengar hendaklah ia mendengar” (4:23) diungkapkan Yesus ketika Ia mengajarkan tentang Kerajaan Allah.  Perintah ini ditempatkan Markus dalam bingkai pemanggilan murid-murid.  Mereka telah terlibat dalam misi Kristus, karena itu perintah ini bertujuan agar murid-murid menaruh perhatian untuk memahami dan menaati apa yang Yesus ajarkan.  Selain itu, perintah ini bertujuan agar mereka menyadari dan mengenal siapa Yesus dari tindakan-tindakan-Nya yang penuh kuasa.  Murid-murid tidak boleh melewati begitu saja apa yang Yesus ingin sampaikan melalui pengajaran dan tindakan-tindakan penuh kuasa yang dikerjakan-Nya.  Murid-murid harus menangkap maksud Yesus bahwa pengajaran dan tindakan-tindakan-Nya membuktikan bahwa Ia adalah Anak Allah.  Jadi bagi Markus, pemuridan adalah panggilan untuk mengikut Yesus untuk mengenal dan mengalami Yesus sebagai Anak Allah.  Ia adalah Tuhan Yang Mahakuasa.
Mengawali bingkai narasi pendidikan murid, Yesus mengutus murid-murid-Nya untuk pergi memberitakan Injil.  Yesus memberikan tiga perintah yang harus mereka kerjakan ketika memberitakan Injil.  Perintah yang pertama, yaitu; “Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan . . .” (6:8-9), disusul dengan perintah “Tinggallah di situ sampai kamu berangkat dari tempat itu” (6:10) dan “Keluarlah dari situ dan kebaskanlah debu yang di kakimu sebagai peringatan bagi mereka” (6:11).  Melalui tiga perintah tersebut, Yesus ingin menyatakan bahwa seorang murid yang telah mengambil komitmen untuk mengikut Yesus harus rela melepaskan segala beban.  Ia harus mempersembahkan seluruh hidupnya kepada Yesus dan mengikrarkan kehidupan bagi Injil.  Yesus juga  ingin menekankan bahwa misi pemberitaan Injil bukanlah tugas yang mudah.  Murid-murid akan mengalami banyak kesulitan.  Ada orang yang akan menerima pemberitaan Injil yang mereka sampaikan, namun ada pula yang akan menolaknya.
Markus mencatat respons murid-murid: “Lalu pergilah mereka memberitakan bahwa orang harus bertobat, dan mereka mengusir banyak setan, dan mengoles banyak orang sakit dengan minyak dan menyembuhkan mereka” (6:12-13).  Misi pemberitaan Injil yang Yesus lakukan dalam dua implementasi (mengajarkan kebenaran dan bertindak dengan kuasa) kini dilakukan oleh murid-murid Yesus.  Markus ingin menegaskan bahwa pemuridan adalah mengikut Yesus dalam mengerjakan misi pemberitaan Injil seperti yang Yesus lakukan.  Penekanan pada ‘seperti yang Yesus lakukan’ adalah misi pemberitaan Injil harus selalu di dalam dua implementasi yaitu mengajarkan kebenaran dan bertindak dengan kuasa. 
Setelah memberitakan Injil, murid-murid kembali berkumpul dengan Yesus.  Lalu Ia memberikan perintah, “Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian dan beristirahat seketika!” (6:31).  Perintah ini berkaitan dengan perlunya murid-murid memiliki kesegaran fisik dan rohani di dalam mengerjakan misi pemberitaan Injil.
Kemudian Yesus tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak.  Ia mulai mengajar mereka dan ketika hari sudah mulai malam, Yesus memberi perintah kepada murid-murid, “Kamu harus memberi mereka makan” (6:37) dan “Cobalah periksa!” (6:38).  Perintah ini menegaskan bahwa misi harus dikerjakan secara holistik.  Murid-murid harus memiliki kepekaan terhadap kebutuhan fisik orang-orang yang dilayani.  Perintah ini dalam konteksnya, juga ingin mengajarkan kepada murid-murid bahwa jika seseorang melakukan misi Allah maka Allah akan berkarya melalui hidupnya.  Yang utama adalah melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya dan mengandalkan Dia dalam segala sesuatu.
Perintah-perintah Yesus di dalam narasi ‘memberi makan 5000 orang’ dan perintah “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” (6:50)—yang berada di dalam konteks Yesus berjalan di atas air ketika Ia menjumpai murid-murid yang sedang kepayahan mendayung karena angin sakal—menegaskan kepada murid-murid bahwa Ia berkuasa terhadap kebutuhan manusia dan kekuatan alam.  Tuhan Yesus ingin membuka mata murid-murid-Nya untuk memahami bahwa Ia adalah Anak Allah, Tuhan Yang Mahakuasa.  Namun, respons murid-murid menandakan mereka belum juga memahami. Markus mencatat respons mereka ketika angin sakal itu reda: “Mereka sangat tercengang dan bingung, sebab sesudah peristiwa roti itu mereka belum juga mengerti dan hati mereka tetap degil.”  Mereka menjadi begitu tercengang sehingga tidak menangkap harapan Yesus agar mereka sendiri mampu mengatasi badai yang mengamuk.  Mereka tidak memahami kaitan antara makna tindakan penuh kuasa dari Yesus dengan identitas pribadi-Nya.  Pemuridan adalah proses mengenal identitas pribadi Yesus sebagai Anak Allah Yang Mahakuasa dan mengalami serta mendemonstrasikan kuasa-Nya.
Pada suatu waktu, murid-murid Yesus lupa membawa roti—Yesus memakai moment ini dengan memberi perintah yang relevan yaitu “Berjaga-jagalah dan awaslah terhadap ragi orang Farisi dan Herodes” (8:15).  Perintah ini juga berkaitan dengan narasi ‘orang Farisi yang meminta tanda’ (8:11-13).  Melalui perintah tersebut, Yesus mengingatkan murid-murid untuk memiliki pemahaman akan kehendak Allah yang berbeda dengan nilai-nilai dunia, namun ternyata mereka tidak dapat menangkap maksud-Nya.  Karena itu, ketika Petrus menegur Yesus setelah Ia memberitahukan tentang kematian-Nya Ia langsung mengatakan sebuah imperative yang sangat tajam, “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” (8:33)–kedua imperative ini mengingatkan murid-murid untuk menghindari pemahaman manusia yang keliru tentang Mesias.  Pemuridan adalah proses mengenal Yesus sebagai Mesias yang harus menderita.
Pemuridan bukan hanya berhenti pada pengenalan terhadap Mesias yang harus menderita, namun juga pada kesiapan untuk mengambil bagian dalam penderitaan Kristus.  Untuk menekankan maksud tersebut, Yesus memberikan perintah: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (8:34).  Selain itu, Yesus juga memberi perintah “. . . hendaklah ia menjadi terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya” (9:35) dan “. . . hendaklah ia menjadi pelayanmu . . . hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya” (10:43, 44).  Ini merupakan perintah-perintah yang mengikuti reaksi/tanggapan murid-murid ketika Yesus menyampaikan pemberitahuan tentang penderitaan dan kematian-Nya.  Yesus menyampaikan tolok ukur pemuridan yang sungguh baru yaitu siapa yang ingin mengikut Dia harus menyangkal diri dan memikul salib.  Tindakan para murid untuk mengikut Yesus selama ini ternyata bermuara pada pemberitahuan bahwa Sang Mesias akan dibunuh dan bahwa mereka juga akhirnya akan mati karena penganiayaan.  Ini bertolak belakang dari pemikiran murid-murid yang ingin mendapatkan kemakmuran, posisi yang penting sebagai yang berkuasa.  Yesus malah memerintahkan murid-murid untuk menjadi yang terakhir, menjadi pelayan dan hamba dari dan untuk semuanya.  Pemuridan adalah proses mengenal dan menjadi serupa dengan Yesus sebagai Mesias (yang menderita, yang menjadi pelayan dan hamba bagi semua orang) dan mengambil bagian dalam penderitaan-Nya.
Untuk mengaplikasikan secara konkrit bagaimana menjadi pelayan dan hamba, Yesus memberikan perintah: “Jangan kamu cegah dia!” (9:39) dalam konteks ada orang di luar kelompok murid sedang mengusir setan; dan “Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka” (10:14).  Kedua perintah tersebut memberikan petunjuk kepada murid-murid bagaimana bertindak secara konkrit dalam mengaplikasikan perintah menjadi pelayan dan hamba.  Murid-murid harus mengambil posisi yang paling hina seperti anak-anak yang diabaikan dan dipandang rendah. Murid-murid harus mengambil posisi hamba yang memiliki hati yang terbuka dan menerima orang lain meskipun bukan termasuk kelompok mereka. 
Kehidupan seorang murid menjadi sorotan yang tajam bagi Yesus.  Ia memberikan perintah “Penggallah!” (9:43, 44); “Cungkillah!” (9:47); “Hendaklah kamu selalu mempunyai garam dalam dirimu dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang lain” (9:50).  Melalui perintah-perintah tersebut, Yesus ingin mengajarkan pentingnya seorang murid menahan diri dari dosa dan tidak menyebabkan orang lain berdosa.  Ia juga mengajarkan pentingnya kesederhanaan dan ketekunan untuk menjalani panggilannya dengan setia, agar terhindar dari nasib yang mengerikan pada masa yang akan datang.  Ia menggunakan ilustrasi garam dan api (9:49-50) sebagai simbol bahwa seorang murid harus terus dimurnikan melalui penderitaan dan pergumulan hidup.  Dengan demikian mereka dapat menjadi berkat bagi sesama.  Jadi pemuridan adalah proses pembentukan karakter untuk menjadi serupa dengan Kristus sehingga dapat menjadi berkat bagi sesama.
Pada bagian narasi ‘wahyu yang dialami murid-murid di Yerusalem diawali dengan perintah “Pergilah ke kampung yang di depanmu itu” (11:2) dalam konteks Yesus membutuhkan keledai yang ditunggangi untuk memasuki Yerusalem.  Dan ketika ingin mempersiapkan perjamuan, Ia memberikan perintah, “Pergilah ke kota; di sana kamu akan bertemu seorang . . . dan katakanlah . . . , kamu harus mempersiapkan perjamuan” (14:13-15).  Kedua perintah Yesus tersebut dialami oleh kedua murid yang diperintah-Nya dengan sangat tepat.  Perintah Mesianik yang diresponi kedua murid dengan ketaatan penuh ini, menyatakan Ia adalah Tuhan yang Mahatahu.  Dan sekaligus mengindikasikan bahwa peristiwa ini masuk dalam agenda yang telah dirancang Yesus.  Jadi melalui perintah-perintah tersebut, Markus ingin menyatakan bahwa pemuridan adalah proses mengenal Yesus sebagai Anak Allah (Tuhan yang Mahatahu) dan mengalami kuasa-Nya.
Memasuki Yerusalem, Yesus mulai menekankan pentingnya murid-murid memiliki iman yang teguh terhadap Dia.  Ia memberi perintah “Percayalah kepada Allah!” (11:22); “Percayalah bahwa kamu telah menerimanya” (11:24).  Selain itu, Yesus juga menekankan kepada murid-murid untuk memiliki iman yang teraplikasi dalam relasi dengan sesama.  Ia memerintah murid-murid-Nya, “Ampunilah” (11:25).  Perintah-perintah tersebut berada dalam konteks peristiwa pengutukan pohon ara yang mengajarkan bahwa Firman Kristus itu berkuasa dan membawa hasil.  Karena itu Yesus memerintahkan mereka untuk percaya kepada Allah.  Ia menanggapi iman dan doa mereka yang berseru kepada-Nya.  Ia juga mengajarkan murid-murid untuk meresapi semangat pengampunan terhadap sesama sebagai bukti iman kepada Allah.  Jadi melalui perintah-perintah ini, Markus ingin menyatakan bahwa pemuridan adalah proses mengenal dan mengimani Yesus sebagai Anak Allah (Tuhan yang Mahakuasa) dan membuktikan iman itu di dalam semangat pengampunan terhadap sesama.
Iman yang teguh juga tampak dalam kesalehan yang murni.  Yesus memberi perintah “Hati-hatilah terhadap ahli-ahli Taurat . . .” (12:38); Yesus memperingatkan murid-murid-Nya untuk menjauhi praktik kehidupan ahli-ahli Taurat tersebut.  Jadi menurut Markus, pemuridan adalah menjalani hidup dalam kesalehan yang murni.
Iman yang teguh membuat murid-murid tidak mudah untuk disesatkan.  Yesus memberi perintah, “Waspadalah supaya jangan ada orang yang menyesatkan kamu” (13:5); “Lihat, Mesias ada di sini, atau: Lihat, Mesias ada di sana, jangan kamu percaya” (13:21).  Yesus memperingatkan murid-murid untuk hati-hati terhadap penyesatan, karena akan datang banyak orang yang memakai nama Yesus dan mengaku bahwa mereka adalah Mesias yang menjanjikan hal-hal yang muluk-muluk dan yang membangkitkan pengharapan yang bukan-bukan.  Dari perintah-perintah ini, Markus ingin menyatakan bahwa pemuridan adalah mengenal dengan benar Pribadi Yesus dan beriman teguh kepada-Nya.
Iman yang teguh menjadikan murid-murid tidak gentar menghadapi penderitaan di dalam mengerjakan misi Kristus.  Yesus memberi perintah, “Hati-hatilah!” (13:9); dan “Jangan kamu kuatir akan apa yang harus kamu katakan, tetapi katakanlah apa yang dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga” (13:11).  Yesus mempersiapkan murid-murid menghadapi penganiayaan dan penderitaan yang akan mereka alami karena memberitakan Injil.  Mereka harus menyadari bahwa pemberitaan Injil di seluruh dunia, tidak mungkin terlepas dari perlawanan, konflik dan aniaya.  Dari perintah-perintah ini, Markus ingin menyatakan bahwa pemuridan adalah mengambil bagian dan siap mengalami penderitaan serta kuasa Kristus di dalam mengerjakan misi pemberitaan Injil.
Yesus juga memberi perintah agar murid-murid memiliki hidup yang selaras dengan iman mereka yang teguh kepada Kristus.  “Hati-hatilah dan berjaga-jagalah!” (13:33, 35, 37); present imperative ini menuntut murid-murid untuk bertanggung jawab menjalani kehidupan ini sampai kedatangan Anak Manusia yang kedua kali.  Dari perintah-perintah dalam bagian ini, Markus ingin menyatakan bahwa pemuridan adalah menjalani hidup dengan bertanggung jawab di hadapan Allah sambil menantikan kedatangan Yesus yang kedua kali.
Perintah-perintah Yesus selanjutnya mulai mengarahkan murid-murid menghadapi kematian-Nya walaupun mereka belum juga memahami apa yang akan terjadi.  “Ambillah, inilah tubuh-Ku” (14:22), perintah ini mengingatkan murid-murid terhadap Mesias yang harus menderita.  Mesias yang harus mengurbankan diri untuk menggenapkan rencana Allah bagi penebusan banyak orang, dan sekaligus menjadi panggilan bagi murid-murid untuk mengambil bagian di dalam penderitaan-Nya.  Dari perintah ini, Markus ingin menyatakan bahwa pemuridan adalah mengenal Yesus sebagai Mesias yang harus menderita dan mengambil bagian di dalam penderitaan-Nya.
Di taman Getsemani, Yesus memberikan perintah “Duduklah di sini sementara Aku berdoa” (14:32); “Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah” (14:32); “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan” (14:38).  Setelah Yesus bergumul, Ia berkata, “Tidurlah sekarang dan istirahatlah. . . .  Bangunlah, marilah kita pergi.  Dia yang menyerahkan Aku sudah dekat” (14:41).  Mereka tidak memahami apa yang akan terjadi ke depan.  Murid-murid tidak mengerti padahal Yesus sudah memberitahukan tentang kematian-Nya tiga kali kepada mereka.  Akhirnya, murid-murid gagal menghadapi ujian iman.  Mereka meninggalkan Yesus seorang diri.  Yudas menjual Yesus, sementara Petrus menyangkal Dia.  Dari perintah-perintah ini Markus ingin menyatakan bahwa pemuridan adalah menyerahkan hidup kepada Allah di dalam segala pergumulan dan sepanjang hidup serta siap menghadapi kematian demi melaksanakan kehendak-Nya.
Pada akhirnya murid-murid memahami bahwa Yesus adalah Mesias yang harus menderita dan Tuhan yang berkuasa dan yang bangkit.  Saat itulah Yesus memberi perintah kepada mereka untuk mengerjakan misi pemberitaan Injil, “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (16:15).  Makna penting dari Amanat Agung ini ialah bahwa Injil adalah bagi semua bangsa, murid-murid diutus ke seluruh dunia dan Injil harus diwartakan ke seluruh makhluk.  Ruang lingkup pengutusan bersifat universal.  Murid-murid diutus kepada bangsa, suku dan kaum dan bahasa. 
Pemberitaan Injil mengandung konsekuensi: “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum” (16:16).  Pemberitaan Injil bukanlah misi yang mudah melainkan sarat dengan penderitaan dan kesusahan.  Ada yang menerima dan ada yang menolak. 
Murid-murid membutuhkan otoritas dan kuasa Allah untuk mengerjakan misi Kristus karena pemberitaan Injil bukanlah melawan darah dan daging melainkan melawan pemerintah-pemerintah, penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.  Tuhan Yesus memberikan tanda-tanda yang akan menyertai murid-murid yang memberitakan Injil.  Tanda-tanda ini menyatakan kejayaan Injil bahwa Tuhan akan menyertai, melindungi dan menguatkan murid-murid yang memberitakan Injil dengan kuasa-Nya dari setan, alam dan manusia.  Murid-murid tidak pernah ditinggalkan sendirian melakukan misi-Nya.  Kristus selalu bekerja dengan, di dalam, dan melalui mereka.
Amanat Agung pada Markus 16:15-18 mendapat respons yang positif dari murid-murid dan Markus mengatakan, “Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya.” Jadi, pemuridan adalah kesiapan untuk pergi mengerjakan misi Kristus dan mendemonstrasikan kuasa Allah kepada dunia.

Kesimpulan

Bagi Markus, pemuridan adalah proses mempersiapkan murid untuk melanjutkan misi Kristus.  Dengan kata lain, Markus ingin menyatakan bahwa pemuridan adalah panggilan untuk mengikut Yesus di dalam misi-Nya dan mengalami serta memberitakan karya Yesus yang berkuasa kepada dunia ini.  Markus ingin menekankan pada ‘seperti yang Yesus lakukan’ adalah misi pemberitaan Injil harus selalu di dalam dua implementasi yaitu mengajarkan kebenaran dan mendemonstrasikan kuasa Allah.  Murid-murid harus mengerjakan misi seperti yang Yesus telah perbuat.  Yesus ingin murid-murid-Nya dapat melakukan sama seperti apa yang telah dilakukan-Nya.  Yesus ingin murid-murid-Nya mengajarkan kebenaran yang berkuasa kepada dunia ini seperti yang disampaikan-Nya.  Yesus ingin murid-murid-Nya memiliki iman untuk dapat mendemonstrasikan kuasa Allah kepada dunia yang tidak percaya seperti yang telah dilakukan-Nya.
Untuk mempersiapkan murid melanjutkan misi Kristus, Markus menekankan bahwa seorang murid harus mengenal dan mengalami Yesus sebagai Anak Allah dan Mesias.  Ia harus mengenal bahwa Yesus adalah Tuhan Yang Mahakuasa dan Mesias yang harus menderita.  Esensi pemuridan adalah mengenal Yesus secara komprehensif dan mengalami Dia.  Mengerjakan misi Kristus tanpa pengenalan dan pengalaman bersama dengan Kristus akan menghasilkan misi yang rapuh dan mandul. 
Markus lebih lanjut menekankan bahwa mengikut Yesus untuk mengerjakan misi-Nya mengandung konsekuensi—ada harga yang harus dibayar.  Seorang murid harus rela melepaskan segala sesuatu untuk mengikut Yesus.  Ia harus mempersembahkan seluruh hidupnya kepada Yesus dan mengikrarkan kehidupan bagi Injil.  Ia harus menyangkal diri untuk hidup berbeda dari nilai-nilai dunia ini.  Ia harus mengambil bagian dalam penderitaan Kristus, menjadi pelayan dan hamba bagi semuanya dan siap menyerahkan nyawa sekalipun demi Injil. 
Markus juga ingin menyatakan bahwa seorang murid yang mengerjakan misi Kristus harus hidup menjadi berkat bagi sesama bukan menjadi batu sandungan.  Seorang murid harus menahan diri dari dosa dan tidak menyebabkan orang lain berdosa.  Ia harus memiliki hati yang terbuka dan selalu siap mengampuni orang lain.  Ia harus menjalani hidup dalam kesalehan yang murni.  Murid harus hidup dalam kesederhanaan dan ketekunan untuk menjalani panggilannya dengan setia.  Seorang murid harus terus dimurnikan melalui penderitaan dan pergumulan hidup.  Ia harus melakukan apa yang menjadi kehendak Yesus dan mengandalkan Dia dalam segala sesuatu.  Dengan demikian mereka dapat menjadi berkat bagi sesama.  



IMPLIKASI TEOLOGI PEMURIDAN TERHADAP PEMURIDAN MASA KINI
Pada bab pertama penulis mengemukakan adanya kondisi stagnan di dalam pelipatgandaan atau multiplikasi.  Kondisi stagnan itu ditandai dengan masalah adanya anggota KTB yang tidak mengalami pertumbuhan rohani dan tidak memiliki kerinduan untuk memuridkan, sehingga kurang terjadi kontinuitas dalam pelipatgandaan proses pemuridan. 
Kondisi pemuridan yang stagnan harus diubah.  Dalam hal ini peran pemimpin KTB sangat diperlukan untuk memutuskan “rantai kemandegan spiritualitas dalam proses pemuridan tersebut.  Karena itu, solusi yang tepat untuk akar permasalahan stagnasi tersebut adalah seorang pemimpin KTB meneladani proses pemuridan yang Tuhan Yesus lakukan terhadap murid-murid-Nya.
Penulis akan mengimplikasikan teologi pemuridan berdasarkan perspektif perintah-perintah Tuhan Yesus terhadap pemuridan masa kini dalam tiga prinsip, yaitu: prinsip pemilihan murid, prinsip pembinaan dan prinsip pengutusan.  Melalui ketiga prinsip tersebut diharapkan pemimpin KTB dapat mengatasi kondisi stagnan pemuridan dan menciptakan murid-murid yang terus bermultiplikasi.

Prinsip Pemilihan Murid
Bagi Markus, prinsip pemilihan adalah memanggil orang-orang yang rela meninggalkan masa lalunya dan mengikut Yesus.  Markus juga menekankan bahwa di dalam pemilihan murid harus disertai dengan kesadaran akan panggilan untuk mengerjakan misi Kristus.  Ketika Yesus memilih orang-orang yang akan dimuridkan, Ia secara langsung menyatakan panggilan untuk mengikuti Dia dan tujuan yang akan dicapai oleh mereka setelah mengikut Dia–menjadi penjala manusia.  Seorang pemimpin KTB masa kini ketika hendak memilih orang-orang yang akan dimuridkan perlu meneladani apa yang Yesus lakukan.  Pemimpin KTB harus memberikan pemahaman kepada calon murid tentang apa visi dan misi pemuridan itu.  Mereka harus memahami dengan baik sebelum memutuskan untuk terlibat dalam proses pemuridan.  Jangan tergesa-gesa memulai proses pemuridan melalui KTB apabila tiap orang belum memahami visi dan misi tersebut.[155]
Seorang pemimpin KTB harus melihat apakah telah terjadi perubahan hidup dalam diri seseorang yang akan dimuridkan setelah mendengar Injil yang telah disampaikan kepadanya.  Murid-murid menunjukkan perubahan yang radikal ketika mereka dipanggil untuk mengikut Yesus.  Simon, Andreas, Yakobus dan Yohanes segera meninggalkan jala, Lewi meninggalkan profesinya yang menjanjikan kekayaan dan kemewahan.  Ini menjadi sebuah perubahan hidup.  Jadi, pemimpin KTB harus melihat perubahan hidup dari orang-orang yang akan dimuridkan sebelum masuk dalam proses KTB.  Tidak mungkin mengajarkan kebenaran apabila mereka belum meninggalkan kehidupan yang lama.  Harus ada titik balik pertobatan terlebih dahulu.
Seorang yang siap dimuridkan adalah mereka yang telah mengalami perubahan hidup.  Ciri yang utama adalah mereka membenci dosa, meninggalkan kebiasaan dan kebanggaan hidup yang lama serta mereka memiliki kerinduan untuk belajar Firman Tuhan.  Seorang yang mendengar adalah seorang yang siap untuk belajar dan menaati apa yang Tuhan kehendaki dalam hidup mereka (teachable).[156]
Bagi mereka yang akan memimpin harus belajar melayani.  Begitu juga seseorang yang akan melatih orang-orang lain harus rela meluangkan waktunya dengan mereka dalam percakapan yang memakan waktu berjam-jam dan menjalin hubungan dalam kehidupan sehari-hari.  Itulah salah satu sebabnya mengapa seorang pemimpin tidak dapat melatih terlalu banyak orang sekaligus.  Seorang pemimpin harus dapat membagi diri secukupnya dengan mereka.  Seorang pemimpin mempunyai persediaan emosi, waktu dan kapasitas rohani yang terbatas, sehingga ia tidak dapat melatih orang dalam jumlah yang besar.  Kesalahan yang umum ialah orang ingin mencoba melakukan terlalu banyak, terlalu cepat, dan dengan terlalu banyak orang.[157]  Robert E. Coleman mengatakan: “The necessity is apparent not only to select a few laymen, but to keep the group small enough to be able to work effectively with them.[158]



Prinsip Pembinaan
Pembinaan yang harus dilakukan adalah membawa seorang anggota kelompok mengenal dan mengalami Yesus sebagai Tuhan dan Mesias di dalam hidupnya.  Pembinaan harus membawa seorang murid memiliki keyakinan yang teguh terhadap Yesus sehingga mereka tidak dapat diombang-ambingkan oleh rupa-rupa pengajaran sesat.  Pembinaan yang dilakukan bertujuan mempersiapkan mereka mengerjakan misi Kristus dalam pemahaman yang benar terhadap identitas dan misi Kristus.
Yesus membina murid-murid-Nya selama kurang lebih tiga setengah tahun.  Metode yang Yesus pakai untuk membina murid-murid adalah melalui kehidupan, pengajaran dan pelatihan/praktik lapangan.  Seorang pemimpin KTB harus memiliki waktu yang khusus untuk membina orang-orang yang dimuridkan.  Bukan hanya mengandalkan pertemuan KTB sekali seminggu melainkan juga melalui interaksi dalam kehidupan nyata.[159] 
Yesus mempersiapkan mereka untuk menghadapi perlawanan, bahkan penolakan (6:11).  Pada waktu sedang melatih calon murid, beritahu kepadanya tentang kesulitan pelayanan yang pernah pemimpin hadapi.  Pemimpin berbicara kepada mereka tentang saat-saat ditolak ketika bersaksi.  Pemimpin menyatakan kepada mereka tentang risiko pemuridan.
Yesus melatih murid-murid langsung di medan pertempuran.  Sewaktu-waktu Ia membawa orang-orang-Nya menyepi untuk waktu yang khusus bersama-sama, tetapi kebanyakan latihan-Nya diberikan langsung di lapangan.  Mereka melayani bersama-sama dengan Dia.  Melalui teladan Tuhan Yesus ini, maka sangatlah penting bagi seorang pemimpin untuk melibatkan murid-murid dalam kehidupannya.  Murid-murid dapat melihat keteladanan pemimpin rohaninya baik melalui kehidupan dalam keluarga, gereja, profesi, dan lingkungan sekitarnya.  Pemimpin melibatkan murid-murid yang dipimpinnya dalam pelayanan bersama, sehingga mereka dapat melihat secara langsung apa yang diajarkan oleh pemimpinnya.
Yesus membina murid-murid-Nya dalam proses yang panjang dan perlahan agar murid-murid-Nya dapat mengenal Dia dengan benar.  Pengenalan yang benar akan menghasilkan kepercayaan dan keyakinan yang luar biasa dan pada akhirnya membawa seseorang menyerahkan diri secara total kepada Yesus dalam pengabdian yang tinggi untuk mengerjakan misi-Nya.  Pemimpin masa kini harus mengajarkan murid-murid untuk mengenal Yesus adalah Anak Allah dan Mesias.  Bila seorang murid mengenal Yesus dengan benar maka Ia akan menjadikan Yesus Tuhan yang akan mengontrol seluruh hidupnya.  Hidup dan keteladanan seorang pemimpin yang menghayati Ketuhanan Kristus memberi pengaruh yang besar bagi murid untuk menghayati hidup yang mentuhankan Kristus pula.  Gareth Weldon Icenogle mempertanyakan, “What is it about the small discipleship group that makes it such a nurturing environment for planting and growing the realm of God on earth?[160]  Kemudian ia memberikan jawaban demikian:
Personal and intimate contact with Jesus and with those who know Jesus is the nurturing process. . . .  Only in the close community can the explanations about the realm of God make sense, for the realm is about the liberation and restoration of humanity for human community.  It was in the smaller gatherings of real people around Jesus that the secrets of realm made sense and that the invisible realm became visible, touchable, knowable and real.[161]

Yesus membina murid-murid-Nya untuk siap mengerjakan misi pemberitaan Injil.  Misi pemberitaan Injil sering kali terhalang oleh karakter seseorang yang memberitakannya.  Karena itu, sebelum murid-murid pergi mengerjakan misi pemberitaan Injil—Yesus melakukan proses pembentukan karakter di dalam hidup mereka.  Pemimpin masa kini dalam membina murid-murid perlu memperhatikan beberapa karakter yang harus dimiliki seorang murid yang siap diutus untuk memberitakan Injil.  Karakter yang harus dimiliki seorang murid antara lain: taat dan rela meninggalkan segala sesuatu yang berharga demi Kristus dan Injil; sadar akan ketidaklayakan di hadapan Tuhan (semua karena anugerah); siap untuk mendengar pengajaran Tuhan artinya mau belajar dan diajar (teachable); hidup dalam kesucian dan kemurnian hati; pembawa damai (menjadi garam dan terang); memiliki keterbukaan; rendah hati (mengambil posisi pelayan dan hamba); kritis dalam menghadapi serangan musuh dan pengajaran sesat; kasih yang memotivasi hidupnya; memiliki pengharapan yang teguh akan kedatangan Kristus; disiplin menjalankan kehidupan rohani (relasi dengan Tuhan dan sesama); memiliki kepekaan terhadap kebutuhan orang lain; murah hati; siap mengampuni orang lain;  berani dan setia memberitakan Injil.
Yesus membina murid-murid untuk siap mengerjakan misi pemberitaan Injil.  Karena itu murid-murid harus melewati proses pembentukan skill.  Pemimpin masa kini harus memperhatikan beberapa hal yang Tuhan Yesus tekankan dalam pembentukan skill murid-murid-Nya.  Skill yang harus dimiliki murid-murid, antara lain: bagaimana mengajar, berelasi dan berinteraksi dengan sesama (interpersonal relationship skill),[162] berapologetika, pelayanan pastoral dan pemberitaan Injil.
Karakteristik yang harus dimiliki pemimpin KTB dalam proses pembinaan adalah: Pertama, ia  adalah seorang pemimpin yang melayani (servant-leader);[163] Kedua, ia adalah seorang yang memiliki komitmen untuk menolong orang yang dimuridkan untuk bertumbuh (committed to helping others grow);[164] Ketiga, ia adalah seorang yang mendorong pertumbuhan orang yang dimuridkan dengan menolong mereka mengembangkan kemampuan dan potensi mereka (stimulate growth in others by helping them to develop their own skills and resource);[165] Keempat, ia adalah seorang yang berorientasi pada proses (process-oriented);[166] Kelima, ia adalah seorang yang memahami bahwa Roh Kudus adalah agen perubahan di dalam hidup anggota-anggota kelompok (know the Holy Spirit is the change agent in the lives of the group members).[167]
Prinsip Pengutusan
Bagi Markus, pengutusan dilakukan ketika murid-murid telah memiliki pengenalan dan pemahaman bahwa Yesus adalah Mesias yang harus menderita dan Tuhan yang berkuasa dan yang bangkit.  Saat itulah Yesus memberi perintah kepada mereka untuk mengerjakan misi pemberitaan Injil—yang sarat dengan penderitaan dan kesusahan—ke seluruh dunia dan kepada segala makhluk dengan tanda-tanda dari Tuhan yang menyertai (16:15-18).
‘Pergilah ke seluruh dunia.’  Penekanan Markus pada ruang lingkup pengutusan adalah bersifat universal.  Murid-murid diutus kepada bangsa, suku dan kaum dan bahasa.[168]  KTB menjadi wadah untuk mengutus anggotanya kepada dunia di dalam nama Kristus.  Ruang lingkup yang universal juga bermakna anggota KTB diutus ke dalam dunia di mana mereka hidup dan beraktivitas.  Anggota diutus ke rumahnya, ke tempat profesinya, ke gereja, ke lingkungan pergaulannya bahkan ke tempat-tempat yang berbeda, asing dan tak terjangkau sekalipun.[169]
‘Beritakanlah Injil kepada segala makhluk.’  Ruang lingkup misi secara universal lebih ditekankan sekali lagi yaitu kepada segala makhluk, artinya kepada semua orang tanpa terkecuali harus mendengar berita Injil.[170]  Penekanan perintah Yesus yang bersifat universal ini adalah beritakanlah Injil.  Murid-murid diutus untuk memberitakan Injil karena Injil adalah kekuatan Allah yang mengubahkan dan menyelamatkan setiap orang yang percaya.  Karena KTB merupakan base bagi murid-murid untuk diutus, maka KTB harus menjadi wadah yang memfasilitasi proyek penginjilan.  Dan KTB harus mempersiapkan pemimpin yang akan segera memuridkan orang-orang yang telah mendengar Injil.  Keberhasilan sebuah KTB, bila menghasilkan murid-murid yang menjadikan penginjilan sebagai gaya hidupnya.  Selain itu, ketika sebuah KTB menghasilkan orang-orang baru yang siap dimuridkan—yang merupakan hasil penginjilan mereka—bukan sekadar adopsi.
Tuhan Yesus memberi jaminan penyertaan-Nya bagi mereka yang mengerjakan misi Kristus.  Ada tanda-tanda yang menyertai:
Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka, mereka akan memegang ular, dan sekalipun mereka minum racun maut, mereka tidak akan mendapat celaka; mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit dan orang itu akan sembuh (Mrk. 16:17-18).

KTB membutuhkan otoritas dan kuasa Allah untuk mengerjakan misi Kristus karena pemberitaan Injil bukanlah melawan darah dan daging melainkan melawan pemerintah-pemerintah, penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.[171]  Tuhan Yesus memberikan tanda-tanda yang akan menyertai murid-murid yang memberitakan Injil.  Tanda-tanda ini menyatakan kejayaan Injil bahwa Tuhan akan menyertai, melindungi dan menguatkan murid-murid yang memberitakan Injil.[172]  Murid-murid tidak pernah ditinggalkan sendirian melakukan misi-Nya.  Kristus selalu bekerja dengan, di dalam, dan melalui mereka.[173]
Kualifikasi murid yang siap diutus: pertama, murid yang siap diutus adalah murid yang telah mengenal Yesus dengan benar.  Ia teguh tentang keyakinan imannya sehingga ia tidak mudah diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran.  Ia memiliki ajaran yang benar untuk disampaikan kepada orang lain.  Kedua, murid yang siap diutus adalah murid yang telah menjadi serupa Kristus dalam pembentukan karakternya.  Ketiga, murid yang siap diutus adalah murid yang telah diperlengkapi dengan skill yang memampukan ia mengerjakan misi Kristus bagi dunia.  Dalam tahap pengutusan seorang pemimpin KTB mengambil peran mendorong, menguatkan, menyertai dan mendampingi anggota KTB yang siap menjangkau murid baru. 
Injil Markus ditutup dengan kalimat-kalimat yang membuat pembaca akhirnya menyadari Kristus adalah disciple maker yang sempurna:
Sesudah Tuhan Yesus berbicara demikian kepada mereka, terangkatlah Ia ke sorga, lalu duduk di sebelah kanan Allah.  Mereka pun pergilah dan memberitakan Injil ke segala penjuru, dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya (Mrk. 16:19-20).

Markus mengisahkan pada bagian akhir narasinya tentang sebuah keberhasilan dan kemenangan.  Murid-murid memahami dan mengenal pribadi dan misi Kristus.  Murid-murid mengerjakan misi Kristus.  Misi yang terus dikerjakan dahulu, sekarang dan sampai selama-lamanya.  O God, we realize: You do not call us to be successful in the marketplace; You call us to be faithful as disciple of Jesus; You do not call us  to achievement in work, but to responsible living; You do not call us to make a great fortune, but to a labor for Your reign; Guide us into greater understanding of Your priorities.  Amen (Anton K. Jacobs).[174]










BAB V

PENUTUP





KESIMPULAN
Injil Markus disusun secara kronologis sehingga perintah-perintah Tuhan Yesus di dalam Injil Markus yang ditujukan kepada murid-murid-Nya merupakan rangkaian perintah yang semakin memuncak.  Perintah-perintah yang Tuhan Yesus berikan kepada murid-murid-Nya disesuaikan dengan perkembangan murid-murid-Nya dalam mengikut Dia.  Karena itu, penulis berpendapat bahwa pembaca masa kini dapat menemukan teologi pemuridan dari rangkaian perintah-perintah Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya.
Dari penelitian terhadap rangkaian perintah-perintah Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya, penulis menemukan bahwa pemuridan menurut Markus adalah proses pembentukan seorang murid untuk mengalami dan mengerjakan misi Kristus.  Panggilan murid adalah panggilan untuk memasuki sebuah proses yang panjang dan perlahan dalam membuat seseorang menjadi pemenang jiwa.  Bagi Markus proses ini adalah sebuah perjalanan[175] dari ‘mengikut’ menuju tujuan ‘menjadi penjala manusia.’  Proses itu terjadi antara imperative pada Markus 1:17 (Deute ovpi,sw mou, kai. Poih,sw u`maj gene,sqai a`lieij avnqrw,pwn “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia”) dan Markus 16:15 (Poreuqe,ntej eivj to.n ko,smon a[panta khru,xate to. euvagge,lion pa,sh| “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk”).
Penekanan Markus terhadap misi pemberitaan Injil yang Yesus kerjakan adalah mengajarkan kebenaran dan mendemonstrasikan kuasa Allah.  Yesus ingin murid-murid-Nya dapat melakukan sama seperti apa yang telah dilakukan-Nya.  Yesus ingin murid-murid-Nya mengajarkan kebenaran yang berkuasa kepada dunia ini seperti yang disampaikan-Nya.  Yesus ingin murid-murid-Nya memiliki iman untuk dapat mendemonstrasikan kuasa Allah kepada dunia yang tidak percaya—seperti yang dilakukan-Nya. 
Untuk mengerjakan misi Kristus seorang murid harus mengenal Yesus secara benar.  Pengenalan yang benar terhadap Yesus memampukan murid-murid untuk memberitakan Injil yang berkuasa.  Pengenalan yang benar akan menghasilkan kepercayaan dan keyakinan yang luar biasa dan pada akhirnya membawa seseorang menyerahkan diri secara total kepada Yesus dalam pengabdian yang tinggi untuk mengerjakan misi-Nya.  Markus menyatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah, Ia adalah Tuhan yang berkuasa dan berdaulat atas manusia, alam semesta, dan roh kegelapan.  Markus juga menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias yang datang untuk menebus dan menyelamatkan manusia dari hukuman yang kekal.  Yesus adalah Mesias yang siap dan rela menempuh jalan salib dan penderitaan demi menebus dan menyelamatkan manusia.  Markus juga menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan yang telah bangkit dari kematian, duduk di sebelah kanan Allah Bapa dan sekarang senantiasa menyertai pemberitaan Injil yang dilakukan oleh mereka yang telah menjadi murid–pengikut-Nya yang setia.
Markus lebih lanjut menekankan bahwa mengikut Yesus untuk mengerjakan misi-Nya mengandung konsekuensi—ada harga yang harus dibayar.  Seorang murid harus rela melepaskan segala sesuatu untuk mengikut Yesus.  Ia harus mempersembahkan seluruh hidupnya kepada Yesus dan mengikrarkan kehidupan bagi Injil.  Ia harus menyangkal diri untuk hidup berbeda dari nilai-nilai dunia ini.  Ia harus mengambil bagian dalam penderitaan Kristus, menjadi pelayan dan hamba bagi semuanya dan siap menyerahkan nyawa sekalipun demi Injil.
Pemuridan adalah proses pembentukan karakter seseorang untuk siap mengambil bagian dalam misi Kristus.  Misi Kristus adalah memberitakan Injil melalui pengajaran akan kebenaran dan pembebasan manusia dari kuasa kegelapan, dosa, dan nilai-nilai dunia ini.  Ini panggilan pemuridan yang harus dikerjakan oleh murid-murid sampai sekarang.  Panggilan yang tak pernah mati, panggilan yang harus terus dikerjakan sampai kedatangan Kristus yang kedua kali.  Pemberitaan Injil harus diberitakan oleh murid-murid yang telah mengalami pembentukan karakter—yang menjadikan mereka serupa dengan Kristus.  Sering kali pemberitaan Injil terhalang oleh karakter orang yang memberitakannya.  Karena itu, Tuhan Yesus menaruh perhatian yang besar dalam pembentukan karakter murid-murid-Nya, sehingga mereka dapat menjadi penjala manusia yang hidup sesuai Berita Injil yang disampaikannya.
Menyikapi kondisi stagnan di dalam pelipatgandaan atau multiplikasi yang ditandai dengan masalah adanya anggota KTB yang tidak mengalami pertumbuhan rohani dan tidak memiliki kerinduan untuk memuridkan, maka kondisi pemuridan yang stagnan harus diubah.  Dalam hal ini peran pemimpin KTB sangat diperlukan untuk memutuskan “rantai kemandegan spiritualitas dalam proses pemuridan tersebut.  Karena itu, solusi yang tepat untuk akar permasalahan stagnasi tersebut adalah seorang pemimpin KTB meneladani proses pemuridan yang Tuhan Yesus lakukan terhadap murid-murid-Nya.
Solusi yang penulis ingin sampaikan merupakan implikasi teologi pemuridan dari penelitian terhadap perintah-perintah Yesus kepada murid-murid-Nya terhadap pemuridan masa kini.  Pemimpin KTB perlu memperhatikan kembali prinsip-prinsip pemuridan yang Tuhan Yesus lakukan, agar kontinuitas pemberitaan Injil yang murid-murid Yesus kerjakan terus menjadi bagian dalam pemuridan masa kini.
Prinsip pemilihan murid adalah: pertama, pemimpin KTB memilih murid yang telah memahami apa arti menjadi murid Kristus dan tujuan pemuridan; kedua, memilih murid bukan berdasarkan kriteria faktor lahiriah: fisik, intelektual atau status sosial seseorang, melainkan faktor batiniah: kesiapan untuk berubah dan meninggalkan masa lalu serta kesiapan untuk mendengar dan menaati perintah dan kehendak Tuhan Yesus (teachable).
Prinsip pembinaan murid adalah: pertama, membina murid membutuhkan waktu dan keseriusan serta pembimbingan dan pemeliharaan; kedua, membina murid melalui pengajaran, kehidupan dan pelatihan—sebuah proses keteladanan hidup seorang pemimpin; ketiga, membina murid agar mereka mencapai pengenalan dan keyakinan yang teguh kepada Kristus, Anak Allah dan Mesias yang mati dan yang telah bangkit; keempat, membina murid agar mereka menjadi serupa dengan karakter Kristus; kelima, membina murid untuk mempersiapkan mereka mengerjakan misi Kristus.
Prinsip pengutusan murid adalah: pertama, lingkup pengutusan murid bersifat universal; kedua, murid-murid diutus untuk memberitakan Injil yang Yesus ajarkan, Injil yang berkuasa—yang menyelamatkan setiap orang yang percaya; ketiga, pemberitaan Injil akan menghadapi dua respons: ada yang percaya dan ada yang tidak percaya.  Murid-murid diminta untuk setia memberitakan Injil dan harus siap menghadapi segala tantangan di dalam mengerjakan misi Kristus; keempat, Tuhan akan menyertai mereka yang pergi memberitakan Injil dengan tanda-tanda ajaib; kelima, pemberitaan Injil harus segera dilaksanakan.
Penerapan prinsip-prinsip pemilihan, pembinaan dan pengutusan dalam pemuridan diharapkan dapat mengatasi masalah stagnasi dalam proses pemuridan masa kini.  Pemimpin KTB dapat melihat anggota-anggota yang dimuridkan bermultiplikasi menjadi penjala manusia dalam kehidupan dan generasinya. 

SARAN
Skripsi ini memberikan beberapa masukan bagi pemimpin KTB untuk dapat menjadi pemimpin yang bermultiplikasi.  Penulis menyadari bahwa implikasi dari teologi pemuridan ini belum memberikan langkah konkrit dan strategi pencapaian dalam setiap tahap.  Saran penulis kepada para pemimpin KTB agar dapat membuat strategi pencapaian dan langkah konkrit di dalam tiap proses pemuridan yang dilakukan (pemilihan, pembinaan dan pengutusan).
Penulis mengusulkan agar pemimpin KTB dapat membuat kurikulum pemuridan berdasarkan konteks kelompoknya masing-masing yang berpijak pada teologi pemuridan dan implikasinya pada skripsi ini.
Penulis mengusulkan ide untuk melanjutkan pembahasan teologi pemuridan di dalam Kitab Markus dengan menyimak perintah-perintah Yesus kepada musuh-Nya dan atau kepada karakter-karakter minor yang Markus tokohkan.  Selain itu, penulis juga melihat kemungkinan menyimak perintah-perintah Yesus dalam Injil Sinoptik yang lainnya.
Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat menjadi masukan yang berarti bagi para pemimpin yang ingin bermultiplikasi.  Penulis juga mengharapkan saran dan masukan dari pembaca untuk mempertajam penelitian ini agar berguna bagi pengaplikasian sebuah esensi pemuridan.




DAFTAR KEPUSTAKAAN



SUMBER BUKU

Barclay, William.  Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Injil Markus.  Jakarta: BPK Gunung Mulia,  1983.

Best,  Ernest.  Mark: The Gospel As Story.  Edinburgh: T. & T. Clark, 1983.

Bolkestein, M. H.  Kerajaan yang Terselubung.  Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985.

Brooks, James A.  An Exegetical and Theological Exposition of Holy Scripture: Mark.  The New American Commentary.  Nashville: Broadman, 1991.

Cole, R. Alan.  Mark.  The Tyndale New Testament Commentaries.  Surabaya: Momentum, 2007.

Coleman, Robert E.  Discipleship: The Best Writings From the Most Experienced Disciple Makers.  Eds. Billie Hanks dan William A. Shell.  Grand Rapids: Zondervan, 1981.  41-53.

Cox, Nicholas Christopher.  Disciple and Discipleship in the Gospel of Mark, with Particular Reference to Mark’s Contrast Between Male and Female Disciples.  Pretoria: University Of South Africa, 2007.

Cranfield, C. E. B.  The Gospel According to St. Mark. The Cambridge Greek Testament Commentary.  Cambridge: Cambridge University, 1966.

Delorme, J.  Injil Markus.  Yogyakarta: Kanisius, 1978.

Dibbert, Michael T. dan Frank B. Wichern,  Growth Groups: A Key to Christian Fellowship and Spiritual Maturity in the Church.  Grand Rapids: Zondervan, 1985.

Dobson, John H.  Learn New Testament Greek.  Grand Rapids: Baker Book, 1989.

Drane, John.  Memahami Perjanjian Baru.  Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.

Drewes, B. F.  Satu Injil Tiga Pekabar.  Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982.

Eaton, Michael.  Jesus of the Gospel: Kronologi Kisah Yesus menurut Empat Injil.  Yogyakarta: Andi, 2008
Edwards, James R.  The Gospel According to Mark.  PNTC.  Grand Rapids: Eerdmans, 2002.

Eims, LeRoy.  Pemuridan Seni yang Hilang.  Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2002.

Erdmans, Charles R.  The Gospel of Mark.  Grand Rapids: Baker Book House, 1966.

Foster, Richard J.  Celeberation of Discipline.  San Francisco: Harper & Row, 1988.

France, R. T.  The Gospel of Mark.  NIGTC.  Grand Rapids: Eerdmans, 2002.

Friedrich, Gerhard.  khrussw dalam Theological Dictionary of the New Testament.  Vol. 3.  Ed. Gerhard Kittel.  Grand Rapids: Eerdmans, 1964.  697-714.

Garland, David E.  Mark.  NIVAC.  Grand Rapids: Zondervan, 1996.

Guelich, Robert A.  Mark 1-8:26.  WBC.  Dallas: Word Books, 1989.

Gundry, Robert H.  Mark: A Commentary on His Apology for the Cross.  Grand Rapids: Eerdmans, 1993.

Guthrie, Donald.  Pengantar Perjanjian Baru.  Vol. 1.  Jakarta: Momentum, 2008.

Hauck, F. “me,nw” dalam TDNT.  Abridged ed.  Eds. Gerhard Kittel & Gerhard Friedrich.  Grand Rapids: Eerdmans, 1985.  581-584.

Hurtado, Larry W.  “Following Jesus in the Gospel of Mark—and Beyond” dalam The Patterns of Discipleship in the New Testament.  Ed. Richard N. Longenecker.  Grand Rapids: Eerdmans, 1996.  9-29.

_______.  Mark.  New International Biblical Commentary.  Peabody: Hendrickson, 1983.

Icenogle, Gareth Weldon.  Biblical Foundation for Small Group Ministry.  Downers Grove: InterVarsity, 1994.

Kistemaker, Simon J.  The Miracles.  Grand Rapids: BakerBook, 2006.

Kittel, G.  avkou,w” dalam TDNT.  Abridged ed.  Eds. Gerhard Kittel & Gerhard Friedrich.  Grand Rapids: Eerdmans, 1985.  34-35.

_______.  avkolouqe,w dalam TDNT.  33-34.

Michaelis, W.  o`raw” dalam TDNT.  706-716.

Mounce, William D.  Basics of Biblical Greek Grammar.  Grand Rapids: Zondervan, 2003.
Nicholas, Ron.  Buku Pegangan Pemimpin Kelompok Kecil.  Jakarta: Perkantas, 1986.

Rhoads, David dan Donald Michie.  Injil Markus Sebagai Cerita.  Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.

Ryken, Leland, et al., eds.  “Donkey, Ass” dalam Dictionary of Biblical Imagery.  Downers Grove: InterVarsity, 1998.  215.

________.  “Leaven, Leavening” dalam Dictionary of Biblical Imagery.  498.

Schweizer, Eduard.  The Good News According to Mark.  Atlanta: John Knox, 1970.

Stewart, Dorothy M.  The Westminster Collection of Christian Prayer.  Louisville: Wesminster John Knox, 2002.

Swete, H. B.  The Gospel According to St. Mark.  London: MacMillan and Co., 1908.

Swift, C. E. Graham.  “Markus: Pengantar” dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini.  Vol. 3.  Eds. Donald Guthrie, et al.  Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1981.  128-133.

Van Bruggen, Jacob.  Markus: Injil Menurut Petrus.  Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988.

Wallace, Daniel B.  Greek Grammar: Beyond the Basics.  Grand Rapids: Zondervan, 1996.

Watts, Rikki E.  Isaiah’s New Exodus in Mark.  Grand Rapids: Baker, 1997.

Weder, Hans “Disciple, Discipleship” dalam The Anchor Bible Dictionary.  Vol. 2.  Ed. David Noel Freedman.  New York: Double Day, 1992.  208-210.

Wessel, Walter W.  “Mark” dalam The Expositors Bible Commentary: New Testament.  Abridged ed.  Eds. Kenneth L. Barker & John R. Kohlenberger III.  Grand Rapids: Zondervan, 1994.  136-205.

Wilkins, Michael J.  Following the Master: A Biblical Theology of Discipleship.  Grand Rapids: Zondervan, 1992.

Witherington III, Ben.  The Gospel of Mark: A Sosio-Rhetorical Commentary.  Grand Rapids: Eerdmans, 2001.

Wuest, Kenneth S.  Mark in the Greek New Testament.  Wuest’s Word Studies.  Grand Rapids: Eerdmans, 1959.

Zerwick, Max dan Mary Grosvenor.  A Grammatical Analysis of the Greek New Testament.  Rome: Biblical Institute, 1974.
SUMBER JURNAL

Jokiman, Bob.  “Dasar-Dasar Alkitabiah Pengembangan Kepemimpinan.”  Veritas 4/1 (April 2003) 87-106.

Meyer, Marvin.  “Taking Up the Cross and Following Jesus: Discipleship in the Gospel of Mark.”  Calvin Theological Journal 37(2002) 230-238.

Samra, James G.  “A Biblical View of Discipleship.”  Bibliotheca Sacra 160/683 (April-June 2003) 219-234.



SUMBER MAJALAH

Deswanto, Yusuf.  “Mentoring: Menemukan Titik Balik Perubahan Hidup dalam Proses Pemuridan.”  Disciple 4/1 (September-Okober 2007) 45-51.

_______.  “Peperangan Rohani dalam  Proses Awal Pemuridan: Menanamkan Konsep Peperangan Rohani  dalam Meningkatkan Efektivitas Multiplikasi KTB dalam Lingkup Pelayanan Mahasiswa.” Disciple 3/3 (Juni 2006) 32-41.

Kurniawan, Agung.  “Kepemimpian Rohani.” Disciple 4/1 (September-Oktober 2007) 20-23.



SUMBER INTERNET

Hays, Richard B.  “The Way of the Cross: Discipleship and Suffering in Mark’s Gospel.”  http://www.westmont.edu/~fisk/Lecture%20Outlines/MarkDiscipleship.htm.

Juel, Donald.  “Discipleship.” http://www.stjohnadulted.org/mark3.htm.




[1]James G. Samra mengatakan, “Discipleship is the process of becoming like Christ (“A Biblical View of Discipleship,” Bibliotheca Sacra 160/683 [April-June 2003] 219-234).
[2]Kelompok Tumbuh Bersama sebagai sebuah kelompok yang terdiri dari 3-5 orang yang bersama-sama berkomitmen untuk masuk dalam proses pemuridan.  Mereka memiliki kerinduan untuk belajar Alkitab dengan tujuan mengalami keserupaan dengan Kristus (Ron Nicholas, Buku Pegangan Pemimpin Kelompok Kecil [Jakarta: Perkantas, 1986] 1-15).
[3]Yusuf Deswanto, “Mentoring: Menemukan Titik Balik Perubahan Hidup dalam Proses Pemuridan,” Disciple 4/1 (September-Oktober 2007) 45.
[4]“Peperangan Rohani dalam Proses Awal Pemuridan: Menanamkan Konsep Peperangan Rohani dalam Meningkatkan Efektivitas Multiplikasi KTB dalam Lingkup Pelayanan Mahasiswa,” Disciple 3/3 (Juni 2006) 32.
[5]Dari data KTB mahasiswa di tiap kota pada Rapat Kerja BPC Perkantas Jatim tahun 2005, setiap tahun ada sekian banyak anggota KTB yang kemudian tidak mampu melanjutkan proses multiplikasi (memimpin KTB baru).  Dalam perhitungan kasar dari berbagai kota kecuali Surabaya, persentase tingkat keberhasilan multiplikasi KTB mahasiswa ternyata masih berkisar antara 30-50%.  Sedangkan di kota Surabaya sendiri, dengan melihat data KTB hingga November 2005, tingkat keberhasilan multiplikasi baru mencapai persentase 50-70%.  Jika data tahun 2005 dibandingkan dengan data tahun sebelumnya (2004), di tiap kota selalu ada beberapa nama anggota KTB yang “hilang” tanpa keterangan.  Hampir bisa dipastikan, lepas dari berbagai hambatan yang ada, nama-nama yang “hilang” ini telah berhenti dan “menyerah” di dalam proses pemuridan (ibid. 33).
[6]Deswanto, “Mentoring” 48.
[7]Old Tappan: Fleming H. Revell, 1979 sebagaimana yang dikutip oleh Bob Jokiman, “Dasar-Dasar Alkitabiah Pengembangan Kepemimpinan,” Veritas 4/1 [April 2003] 97.
[8]Ibid. 98-99.
[9]Richard J. Foster mengatakan, “The desperate need today is not for greater number of intelligent people, or gifted people, but for deep people (Celeberation of Discipline [San Francisco: Harper & Row, 1988] 1).
[10]Agung Kurniawan, “Kepemimpian Rohani,” Disciple 4/1 (September-Oktober  2007) 22.
[11]“Taking Up the Cross and Following Jesus: Discipleship in the Gospel of Mark,” Calvin Theological Journal 37 (2002) 230.
[12]“Following Jesus in the Gospel of Mark-and Beyond” dalam Patterns of Discipleship in the New Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1996) 9.
[13]Ibid.
[14]Menurut Michael Eaton, “Injil Markus disusun secara kronologis, hanya bagian kecil yang tidak kronologis.  Ada sedikit ‘flashback’ dalam Markus 6:17-29 yang menengok ke belakang pada beberapa peristiwa sebelumnya untuk menjelaskan apa yang telah dikatakan dalam 6:14-16.  Penyangkalan Petrus dilaporkan setelah 14:55-65; hal itu dilaporkan sedikit terlambat dari apa yang terjadi berkaitan dengan 14:54.  Cerita tentang Maria dari Betania enam hari sebelum Paskah (seperti diceritakan Injil Yohanes) hanya diberi petunjuk waktu yang tidak begitu jelas dalam Injil Markus (sementara ia berada di Betania) dan seharusnya bisa diberi tanggal lebih tepat sebelum peristiwa 14:1-2 (Jesus of the Gospel: Kronologi Kisah Yesus menurut Empat Injil [Yogyakarta: Andi, 2008] 47).
[15]The Gospel According to St. Mark (London: MacMillan and Co., 1908) lviii.
[16]Ibid. lviii-lix.
[17]Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru (Surabaya: Momentum, 2008) 1.44.
[18]Following the Master (Grand Rapids: Zondervan, 1992) 195.
[19]Guthrie, Pengantar 61-62.
[20]Hurtado mengatakan, “Since at least the second century of the Christian era, it has been suggested that the author of Mark was John Mark, the relative of Barnabas (Acts 12:12, 25), and that he wrote his Gospel in Rome” (Mark [NIBC; Peabody: Hendrickson, 1983] 6); Ahli lain mengatakan, “Bukti bahwa Markus penulis Injil ini banyak terdapat dalam tulisan-tulisan para Bapa Gereja dari keempat abad yang pertama.  Papias, Justin Martyr, Iranaeus, Clement dari Alexandria, Tertulian, Origenes, Eusebius dan Jerome, semuanya menunjuk kepada hal itu” (C. E. Graham Swift, “Markus: Pengantar” dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini [Jakarta: YKBK, 1996] 3.128).
[21]Ada beberapa bukti lainnya: pertama, Papias berkata bahwa Markus adalah penafsir Petrus dan karena secara tradisional diyakini bahwa Petrus meninggal di Roma, maka itu berarti Markus juga sempat tinggal di sana.  Kedua, prolog anti-Marcion secara lebih spesifik menegaskan bahwa Markus menulis di Italia setelah kematian Petrus.  Ketiga, rujukan kepada penderitaan dan penganiayaan di dalam Markus diklaim merujuk kepada penganiayaan Nero dan karena itu dianggap membuktikan kaitan penulis dengan gereja Roma.  Keempat, kesaksian terawal bagi pemakaian Injil datang dari 1 Clement dan Shepherd of Hermas.  Keduanya mungkin mengenai Injil Markus dan keduanya dikaitkan dengan Roma (Guthrie, Pengantar 54-55).
[22]Hurtado mengatakan, “Mark wrote his Gospel, basing it in on the preaching of the Apostle Peter.  This is still the view of some scholars, though it must be admitted that the evidence is little more than early church tradition” (Mark 6); John Drane mengatakan, “Sejumlah cerita dikisahkan dengan rincian yang begitu hidup sehingga wajar untuk menganggap Injil Markus sebagai laporan tangan pertama dari peristiwa-peristiwa tersebut.  Cerita tentang panggilan Petrus (Mrk. 1:14-20), dan penyembuhan ibu mertua Petrus (Mrk. 1:29-34) mendukung anggapan ini (Memahami Perjanjian Baru [Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001] 207-208).
[23]Berikut ini adalah kutipan yang dikatakan oleh Papias: “Markus, adalah penerjemah Petrus, . . .” (William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Injil Markus [Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983] 6).
[24]Guthrie, Pengantar 47; Swift, Markus 128.
[25]Barclay, Injil Markus 1-3.
[26]Ibid. 3; R. Alan Cole mengatakan, “The material of all three Gospels is very similar in wording, often strikingly so.  Wherever this wording is altered in Matthew or Luke from the wording of Mark, there is usually an obvious reason. . . .  As regard contents, over 90% of the material in Mark appears in either Matthew or Luke: to be exact, about 90% of Mark has parallels in Matthew, and 50% has parallels in Luke” (Mark [TNTC; Surabaya: Momentum, 2007] 31).
[27]Cole mengatakan, “Both Matthew and Luke follow the general order of Mark” (Mark 31).
[28]Ibid.
[29]Barclay, Injil Markus 7.
[30]Satu Injil Tiga Pekabar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982) 105.
[31]James R. Edwards, The Gospel According to Mark (Grand Rapids: Eerdmans, 2002) 20.
[32]R. T. France, The Gospel of Mark (Grand Rapids: Eerdmans, 2002) 13-14.
[33]Ibid.; Robert A. Guelich, Mark 1-8:26 (WBC; Dallas: Word Books, 1989) xxxvii.
[34]James R. Edwards mengatakan, “Following Caesarea Philippi the narrative is directed resolutely to Jerusalem.  On the way Jesus three times predicts his imminent suffering, death, and resurrection (8:31; 9:31; 10:33-34).  The large crowds that attended him in Galilee fall away, and Jesus focuses on teaching the Twelve the meaning of discipleship” (The Gospel According to Mark 21).  Bagian ini akan dibahas lebih lanjut dalam sub bab konsep pemuridan menurut Injil Markus.
[35]Eduard Schweizer, The Good News According to Mark (Atlanta: John Knox, 1970) 9-10.
[36]Bagi pembaca Injil Markus nyatalah hubungan yang terjalin antara Yesus dengan murid-murid-Nya yang selalu mendampingi-Nya.  Namun perkembangan hubungan itu tergantung pula dari hubungan Yesus dengan khalayak ramai dan dari hubungan Yesus dengan musuh-musuh-Nya.  Dengan demikian dalam Injil Markus tampaklah adanya semacam segitiga hubungan timbal balik: khalayak ramai, para musuh dan para murid (J. Delorme, Injil Markus [Yogyakarta: Kanisius, 1978] 40).
[37]Keenam tahap tersebut tidak sama coraknya: keempat tahap yang pertama mempersiapkan kedua tahap yang terakhir yang berlangsung di kota Yerusalem.  Lagipula tahap-tahap itu berpasang-pasangan (ibid. 40-41).
[38]Ibid.
[39] The whole of Mark’s Gospel undoubtedly intended by its author to be instructive for its reader as they lived out their lives as Christians–both its narrative portions and those materials more directly presented as teaching (Hurtado, Following Jesus in the Gospel of Mark 9).
[40]The primary difference is that the rabbi does not call his disciples–he is sought by them (Schweizer, The Good News According to Mark 49).
[41]Ernest Best, Mark: The Gospel As Story (Edinburgh: T. & T. Clark, 1983) 83.
[42]Satu Injil 157.
[43]Ibid.
[44]Ibid. 158.
[45]Ibid.
[46]Menurut Weder, “The call of Jesus demanded a total break with the past.  The disciple immediately left their families and their vocations, and followed Jesus” (“Disciple, Discipleship” dalam The Anchor Bible Dictionary [New York: Double Day, 1992] 2.208).
[47]Schweizer mengatakan, “This concept of discipleship is Jesus’ own creation.  The Greeks and the later rabbis spoke of “disciples of God”; however, they meant by this “becoming like him” in an ethical sense (The Good News According to Mark 49).
[48]Barclay mengatakan, “Yesus memanggil mereka bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk melayani.  Ada yang pernah berkata bahwa yang diperlukan oleh manusia adalah “sesuatu yang bisa menginvestasikan kehidupannya.”  Jadi, Yesus memanggil pengikut-Nya bukan supaya mereka hidup senang dan nyaman atau bermalas-malasan tanpa kegiatan.  Ia memanggil mereka untuk melakukan tugas yang menuntut mereka berkurban dan pada akhirnya mati bagi-Nya dan bagi sesama mereka.  Ia memanggil mereka pada suatu tugas yang dengannya mereka dapat memenangkan sesuatu bagi diri mereka sendiri hanya dengan menyerahkan diri mereka kepada-Nya dan kepada sesamanya (Injil Markus 44-45).
[49]Menurut Garland, “The disciples are called to be agents who will bring a compelling message to others that will change their lives beyond recognition.  Jesus call has the same effect on them.  Jesus call of disciple is therefore dramatically authoritative and matches the biblical pattern of God’s calling of humans: a command with a promise, which is followed by obedience.  The call so overpowers these disciples that will never be the same again (Mark [NIVAC; Grand Rapids: Zondervan, 1996] 69-70).
[50]Disciple and Discipleship in the Gospel of Mark, with Particular Reference to Mark’s Contrast Between Male and Female Disciples (Pretoria: University of South Africa, 2007) 13; Barclay memberikan penjelasan tentang kesembuhan Bartimeus demikian, “Bartimeus memang adalah seorang pengemis yang ada di pinggir jalan.  Namun, sesungguhnya ia adalah orang yang tahu berterima kasih.  Setelah ia dapat melihat, ia mengikut Yesus.  Ia tidak pergi dengan begitu saja menurut kemauannya sendiri ketika kebutuhannya sudah dipenuhi.  Ia mulai dengan kebutuhan dan melanjutkan dengan berterima kasih, serta mengakhirinya dengan kesetiaan–ini adalah ringkasan yang sempurna mengenai tahapan-tahapan menjadi murid Yesus (PASH: Injil Markus 435).
[51]France, The Gospel of Mark 320; Simon J. Kistemaker, The Miracles (Grand Rapids: BakerBook, 2006) 177, 180-181; Delorme mengatakan, “Dalam kitab Yesaya, pembukaan mata dan telinga dipahami secara kiasan, sebagai lambang pembaharuan yang akan terjadi di zaman Mesias.  Markus akhirnya menemukan kembali makna simbolis teks Yesaya itu dan memperkenalkan mukjizat-mukjizat Yesus sebagai tanda-tanda penyembuhan batin manusia” (Injil Markus 120-121); James A. Brooks mengatakan, “. . . a major purpose of the division is to show how Jesus gave not only physical sight but spiritual insight to his disciple.  In this division the disciple began to realize who Jesus was and what was involved in following him as disciple” (An Exegetical and Theological Exposition of Holy Scripture: Mark [NAC; Nashville: Broadman, 1991] 172).
[52]Best mengatakan, “Earlier we saw how the blindness of Peter and the disciples was symbolized in the blindness of the man who was healed in two stages.  Peter understands that Jesus is important, but does not understand the need for his death. Disciples are in danger of following Jesus but not perceiving that in following him they also must go the way of cross” (Mark The Gospel As Story 85).
[53]Drewes, Satu Injil 113-114.
[54]Barclay, PASH:Injil Markus 435.
[55]A Repeated Pattern: Jesus predicts suffering; the disciple fail to understand; Jesus provides further teaching:
Passion Prediction
Misunderstanding
Corrective Teaching
8:31
8:32-33
8:34-9:1
9:31
9:33-34
9:35-37
10:32-34
10:35-41
10:42-45
(Richard B. Hays, “The Way of the Cross: Discipleship and Suffering in Mark’s Gospel,” http://www. westmont.edu/~fisk/Lecture%20Outlines/MarkDiscipleship.htm).
[56]The Jesus’ new ethics of discipleship are folows: 8:34–‘deny themselves and take up their cross’: indicating the importance of self-denial and sacrifice in one’s pilgrimage. 9:35–‘last of all and servant of all’: pointing to the significance of humility, service and servanthood. 10:31–‘(the) first will be last, and the last will be first’: indicating a sense of divine justice, and a sign of true greatness (cf. 9:35b). 10:45–‘not to be served, but to serve’: indicating again the need for service, and seeking the good of anothers with sacrificial love. 13:33, 35, 37–‘keep alert/keep awake’: showing the immense need for perpetual watchfulness and vigilance in one’s pilgrimage, at all times (Cox, Disciple 25-26).
[57]Best, Mark 86 (Poin keempat ditambahkan oleh penulis).
[58]Argumentasi Cox, “To gain proper sense of the Markan deployment of these verbs in 8:34 for ‘deny’(aparnesastho) and ‘take up’ (arato) are both in the imperative mood of the punctiliar aorist tense indicating a single once-for-all action, and they are then succeeded by the durative present tense for ‘follow me’ (akolutheito), indicating an on-going continuous process.  What this means is that the aorist tense views the action of denying self and taking up the cross of ‘however long duration, as telescoped to a point’.  So a punctiliar statement may be made as we have it here, but it is ‘all-embracing, summarizing numerous instances’ (Disciple 16).
[59]PASH: Injil Markus 334-335.
[60]Kerajaan yang Terselubung (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985) 162.
[61]Disciple 17.
[62]“Discipleship,” http://www.stjohnadulted.org/mark3.htm.
[63]Ibid.
[64]Bolkestein, Kerajaan 182.
[65]Ibid. 182-183.
[66]Disciple 18.
[67]Following Jesus 11.
[68]Cox mengatakan, “It is important to understand that in the context of the 1st century in Roman Palestine, ‘Judaism had little understanding of the individuality of the child’ and that children ranked among the most vulnerable and neediest in society and least worthy of any honour and respect.  The occupied a very underpriviledged place in the societal and cultural scheme of things (Disciple 18).
[69]Ibid.
[70]Ibid. 18-19.
[71]Ibid. 21.
[72]Following Jesus 11-12.
[73]Best, Mark 83-92.
[74]Hal ini dikuatkan dengan pandangan Wilkins: “Discipleship teaching direct them to think God’s way, the way of suffering and the Cross through servanthood” (Following The Master 200); Guthrie mengatakan, “Injil Markus dilihat sebagai “panggilan serius untuk hidup pemuridan demi Yesus Kristus, yang menuntut penerimaan salib-Nya dalam penganiayaan, dan mengikut Dia dalam kegelapan penderitaan yang tidak terjelaskan dan tiada henti” (Pengantar 51).
[75]Pengajaran tersebut akan dibahas dengan detil pada Bab III.
[76]Hurtado, Following Jesus 17;  Drewes mengatakan, “Ketika kita membaca tentang perjamuan Paskah dalam pasal 14, jelaslah bahwa istilah ‘murid-murid-Nya’ dan ‘kedua belas’ dapat dipakai dalam arti yang sama.  Dalam 14:14 Yesus mencari ‘ruangan yang disediakan bagi-Ku untuk makan Paskah bersama-sama dengan murid-murid-Ku’; dan dalam 14:17 kita baca: ‘Setelah malam, datanglah Yesus bersama kedua belas’” (Satu Injil 160).
[77]Menurut Hurtado, “Ahli-ahli lain yang sebagian besar terdiri dari mereka yang berpandangan bahwa Injil Markus lebih bertujuan sebagai didaktik daripada sebagai polemik dan melihat kedua belas murid yang berfungsi untuk mengajarkan kepada pembaca pelajaran tentang pemuridan (Following Jesus 18).
[78]Wilkins, Following The Master 200.
[79]Ibid.
[80]Perkataan yang dimaksud adalah perkataan Tuhan Yesus yang langsung ditujukan kepada murid-murid-Nya menurut Alkitab versi Terjemahan Baru Indonesia.
[81]Dalam 25 perikop ini, Tuhan Yesus menggunakan modalitas imperative dalam 49 ayat—sebanyak 66 kali.
[82]Injil Markus 41.
[83]Delorme memberi argumentasi, “Segera sehabis cerita ini dikatakan bahwa mereka tiba di Kapernaum (1:21).  Jadi Yesus sudah dikelilingi oleh murid-murid-Nya.  Demikianlah Markus menggambarkan Yesus dalam Injilnya” (Injil Markus 44-45).
[84]Injil Markus 43-44.
[85]Bolkestein, Kerajaan 30.
[86]France, The Gospel 96.
[87]Barclay, Injil Markus 44.
[88]Kerajaan  30; James R. Edwards mengatakan, “The call to the four fishermen is rooted not in the Torah, nor even in the name of God, but in Jesus’ Messianic authority alone. . . .  For Mark, the act of following Jesus entails a risk of faith, and faith must be an act before it is a content of belief.  Only as Jesus is followed can he be known” (The Gospel 50).
[89]Dalam PL dikenal panggilan untuk mengikut Allah (Ul. 10:12; 13:5 dst.) (Bolkestein, Kerajaan 30).
[90]Hal ini dikuatkan pula oleh pendapat Jakob Van Bruggen, “. . . panggilan untuk mengikut Yesus dalam ayat 17 ini harus dikaitkan dengan pemberitaan-Nya mengenai Injil Kerajaan yang sudah dekat” (Markus: Injil Menurut Petrus [Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998] 68).
[91]The Gospel of Mark (Grand Rapids: Baker Book House, 1966) 37; Edwards mengatakan, “This service is costly, requiring a separation from former allegiances in order to be free for the new allegiance to Jesus” (The Gospel According to Mark 50-51).
[92]Kenneth S. Wuest, Mark in the Greek New Testament  (Wuest’s Word Studies; Grand Rapids: Eerdmans, 1959) 29; Edwards mengatakan, “The process of becoming disciple of Jesus is a slow and painful one for the Twelve; it is not easy to understand (8:14-21), to watch (14:50), to suffer persecution for the cause of Jesus (13:13). The life to which Jesus calls disciples requires a rather than self (8:33).  Only thus can disciples participate in and serve the kingdom.  As the Servant whose goal is not to be served but to serve and give his life as a ransom for many (10:45), Jesus is the model of those who would follow him (The Gospel According to Mark 50).
[93]Barclay, Injil Markus 82.
[94]Bolkestein, Kerajaan  51-52.
[95]The term is reserved for being a disciple of Christ (except when the sense is very general) and is confined to the four Gospels.  External following is still involved (Mk. 10:28) but with a total commitment and in an exclusive relation to one who is recognized as not just a teacher but the Messiah.  This discipleship brings participation in salvation (Mk. 10:17) but also in suffering (Mk. 8:34) (G. Kittel, “avkolouqe,w dalam TDNT [Abridged ed.; Grand Rapids: Eerdmans, 1985] 33).
[96]Wuest, Mark 52.
[97]Bolkestein, Kerajaan 52.
[98]Delorme, Injil Markus 47-48.
[99]The “if” here is not the conditional particle ean which introduce a future, unfulfilled, hypothetical condition, but ei, the particle of a fulfilled condition.  The point is, they had ears with which to hear (Wuest, Mark 90); ei, means “if.”  It is used chiefly in statements or clauses referring to the past, and in some that refer to the present.  It is used when the thought in the speaker’s mind is definite, or the statement clearly either true or untrue.  Its force can often best be expressed in English by the use of ‘in fact’ or ‘really’ (John H. Dobson, Learn New Testament Greek [Grand Rapids: Baker Book, 1989] 219).
[100]It implies, as Mark 4:10-12 will explicitly state, that not everyone has ears to hear, so that not all who have listened to the parable will benefit from it (France, The Gospel of Mark 193); “avkou,win the absolute can express the true hearing of appropriation (Mk. 4:9).  The content of hearing corresponds to that of what is heard.  It is reception of grace and the calls to repentance in response to salvation and its ethical demand.  Thus faith and obedience are the marks of real hearing: “the obedience of faith” (G. Kittel, “avkou,w” dalam TDNT 35).
[101]France, The Gospel 210.
[102]Ibid.
[103]The Good 101; Wuest memberi penjelasan tentang janji ini, “The prefixed preposition proj in prosteqh,setai means toward.  The idea is that more will be added to that which is your due.  There shall be given over and above, not to those who hear, but to those who think on what they hear: . . . the more a man thinks, the more he will understand, and the less a man thinks, the less his power of understanding will become (Mark 91).
[104]Pembagian perikop berdasarkan Alkitab versi Terjemahan Baru Indonesia.  Dari penelitian penulis, Markus menggunakan modalitas imperative di dalam 15 ayat pada bagian pasal 6:6b-10:52.
[105]Injil Markus 83.
[106]Berasal dari kata yang berarti “to stay in a place” (F. Hauck, “me,nw” dalam TDNT 581).
[107]Wuest, Mark 124.
[108]The Good 130-131.
[109]The Gospel 250.
[110]Ibid.
[111]The Good 130-131.
[112]Delorme, Injil Markus 82.
[113]Ibid. 87.
[114]PASH: Injil Markus 255.
[115]Kepada para murid tidak disampaikan secara eksplisit dan jelas apa arti tindakan-tindakan itu dan bahwa mereka diharapkan untuk mengulangi melakukan tindakan-tindakan yang penuh kuasa yang Yesus telah lakukan (David Rhoads dan Donald Michie, Injil Markus Sebagai Cerita [Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004] 112).
[116] `Ora,w: “to see, to become acquainted with by experience.  This word gives prominence to discerning mind (Wuest, Mark 161); W. Michaelis, “o`raw” dalam TDNT 706.
[117]Perintah untuk melakukan suatu tindakan yang menjadi kebiasaan tersebut adalah: “They were to put the teachings of the Pharisees and the Herodians to the acid test of experience, not in the actual doing of the things taught, but with the mind’s eye following out the ultimate conclusion of the act of practicing what they taught” (Wuest, Mark 161-162).
[118]Blepw: ‘to perceive by the use of the eyes.  It is used in metaphorical sense, ‘to see with the mind’s eye, to discern mentally, understand, to turn the thoughts or direct the mind to a thing, to consider, to take heed’ (ibid. 162).
[119]Barclay, Injil Markus 308; “ble,pwalso meansto seewith a stronger emphasis on the function of the eye, so that it serves as the opposite of to be blind.  It can also be used for intellectual or spiritual perception, and in the absolute for insight (Michaelis, “o`raw” dalam TDNT Abridge: 707).
[120]Jesus saw the theology of some of his Jewish contemporaries as potentially destructive to his disciple.  So, for example, he warned his followers in various place to beware the leaven of the Pharisees, Sadducees or Herod (Mt. 16:6, 11; Mk. 8:15).  Though the disciple were confused, Matthew makes it clear that Jesus was speaking of the teaching of the Pharisees and Sadducees (Mt. 16:12), also identified as hyprocrisy (Lk. 12:1) (t.n., “Leaven, Leavening” dalam Dictionary of Biblical Imagery [Eds. Leland Ryken, et al.; Downers Grove: InterVarsity, 1998] 498).
[121]Cox, Disciple 16.
[122]Hendaknya diperhatikan bahwa tuntutan ini ditujukan Yesus kepada khalayak ramai maupun kepada para murid.  Ini tidak berarti bahwa ada dua golongan orang Kristen, yaitu murid-murid yang dipanggil untuk berkurban lebih banyak serta khalayak ramai.  Ini hanya berarti bahwa syarat-syarat itu harus dikenal semua orang.  Mereka harus tahu bahwa para calon murid harus mengikut Yesus sambil memikul salib mereka (Delorme, Injil Markus 129).
[123]Zerwick mengatakan, “an imperative link by kai to a previous imperative may contain the consequence of the preceeding actions (A Grammatical Analysis of the Greek New Testament [Rome: Biblical Institute, 1974) 134.
[124]Mark 170-171.
[125]Injil Markus 113.
[126]Mh, plus the present imperative.  Because it is a present imperative, the speaker is prohibiting an undefined action (William D. Mounce, Basics of Biblical Greek Grammar [Grand Rapids: Zondervan, 2003] 315); The imperative is commonly used to forbid an action.  It is simply a negative command.  Mh, (or cognate) is used before the imperative to turn the command into a prohibition.  Almost all instances in the NT involve the present tense (Daniel B. Wallace, Greek Grammar: Beyond the Basics [Grand Rapids: Zondervan, 1996] 487).
[127]Dengan perkataan ini Yesus mengecam rasul Yohanes yang berjiwa terlampau fanatik.  Ucapan ini mengundang pembaca untuk percaya akan kegiatan Allah seperti dimaksudkan Gamaliel sewaktu ia berkata: “Kalau (karya kristen ini) berasal dari Allah, kamu tidak akan dapat melenyapkan orang-orang ini” (Kis. 5:39).  Jadi ada kemungkinan untuk bertindak dalam nama Yesus, juga di luar kelompok murid-murid Kristus.  Tetapi untuk menilai tindakan tersebut, harus diperhatikan ucapan mengenai Yesus, iman akan Kristus (Delorme, Injil Markus 146).
[128]Disciple 18.
[129]Markus 9:35 “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.”
[130]Injil Markus 147.
[131]Cox, Disciple 18.
[132]Ibid.
[133]Wuest, Mark 200.
[134]Injil Markus 150.
[135]Para nabi Israel selalu memiliki metode yang unik untuk menyampaikan pesan mereka.  Bila perkataan gagal mendatangkan perubahan, mereka melakukan sesuatu yang dramatik (1Raj. 11:30-32) (Barclay, Injil Markus 438).
[136]That Jesus rides not a war horse but the donkey of Zechariah 9:9 makes him “meek.”  His chosen beast does not show him to be a poor or common man but a king, albeit one who does not conquer.  Clearly he is innocent of the charge of rebelling against Caesar.  A man on a donkey is not looking for war (t.n., “Donkey, Ass” dalam Dictionary of Biblical Imagery 215).
[137]Barclay, PASH: Injil Markus 438-441.
[138]This story contrasts the greed of the teachers of the law with the liberality of the widow (Walter W. Wessel, “Mark” dalam The Expositors Bible Commentary: New Testament Abridged [Eds. Kenneth L. Barker & John R. Kohlenberger III; Grand Rapids: Zondervan, 1994] 185); The true godliness of a widow now contrasts with the pretended righteousness of the scribes “who devour widows’ house” (Robert H. Gundry, Mark: A Commentary on His Apology for the Cross [Grand Rapids: Eerdmans, 1993] 728); Ben Witherington III, The Gospel of Mark: A Socio-Rhetorical Commentary [Grand Rapids: Eerdmans, 2001] 335-336).
[139]Bolkestein, Kerajaan 252.
[140]Ble,pete in 13:5, 23 was a call to the cooling of expectation (France, The Gospel 544).
[141]vea,n tij u`mi/n ei;ph|( ;Ide w-de o` Cristo,j( ;Ide evkei/( mh. pisteu,ete (Jika orang berkata kepada kamu: Lihat, Mesias ada di sini, atau: Lihat, Mesias ada di sana,  Jangan kamu percaya!).
[142]Ble,pete in 13:9 a call to prepare for hard times ahead, here it has a more positive note (France, The Gospel 544).
[143]Delorme, Injil Markus 181.
[144]Linked with avgrupneite( it is a summons to vigilance, literally staying awake, a metaphor which is continued in the double exhortation  grhgorei/te in vv. 35 and 37; the converse is the danger of being caught asleep (13:36). The metaphor is vivid, but apparently impractical.  No one can stay awake all the time, not even a porter (13:34), and the awareness that the parousia may happen at any time does not relieve us of the ordinary business of living (France, The Gospel 544).
[145]Delorme, Injil Markus 189-190.
[146]Ibid. 182.
[147]Without the resurrection of Jesus there would be no preaching office.  It exist only because the risen Lord has charged His disciples to declare the message (Gerhard Friedrich, “khrussw dalam TDNT [Ed. Gerhard Kittel; Grand Rapids: Eerdmans, 1965] 3.713).
[148]The Greek word for ‘preach’ is in the aorist tense, implying proclamation of the gospel for an appointed time rather than indefinitely.  Of significance in the saying is that the gospel is of universal import: the disciple are sent ‘into all the world,’ and the gospel is ordained for ‘all creation’ (Edwards, Mark 506).
[149]The ‘all’ (a]panta) is emphatic.  The gospel is not intended for Jews apart from Gentiles, or Gentiles apart from Jews, but for all creation (ibid.); All people without distinction are to hear the message (Gerhard Kittel, “khrussw 713).
[150]Bangsa, suku dan kaum dan bahasa akan berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba.  Ini merupakan penglihatan yang dialami rasul Yohanes di pulau Patmos (Why. 7:9).  Karena itu, murid-murid harus pergi menjangkau mereka yang akan berdiri di hadapan Allah kelak.
[151]The point of 16:16 is that the apostolic message brings either life or death for men; according as they respond to it with faith or unbelief they will inherit salvation or be condemned in the final judgement.  The aorist is used (both pisteu,saj and baptisqei,j), because the thought is of the decision which has to be made in response to the preaching (khru,xate).  The order, pisteu,saj before baptisqei,j answering to avpisth,saj, rule out a magical, mechanical conception of baptism (C. E. B. Cranfield, The Gospel According to St. Mark [The Cambridge Greek Testament Commentary; Cambridge: Cambridge University, 1966] 473-474).
[152]Sebagaimana yang diungkapkan Rasul Paulus dalam Efesus 6:12.
[153]Jacob Van Bruggen mengatakan, “Pengutusan pertama kedua belas murid diiringi tanda pengusiran roh jahat dan penyembuhan penyakit (6:12-13).  Tanda-tanda itu juga yang akan mengiringi perjalanan Injil di dunia ini.  Selain itu, akan ada tanda baru (berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru, memegang ular, tidak mendapat celaka walau minum minuman beracun).  Semua tanda itu memperlihatkan kejayaan Injil: Roh jahat harus lari, batas-batas bahasa tidak berlaku lagi.  Alam tidak lagi berbahaya (patukan ular tidak mencelakakan).  Permusuhan menjadi tidak berdaya (minuman beracun tidak membawa mati).  Kehidupan sembuh: orang sakit pulih.  Injil itu sungguh-sungguh kabar baik yang datangnya dari Allah sendiri (1:1) (Markus: Injil Menurut Petrus 631).
[154]Barclay, Injil Markus 620.
[155]Menurut LeRoy Eims, “Ada tiga hal yang harus dilakukan bagi orang yang ingin menolong orang lain menjadi kuat imannya, setia, dan berhasil di dalam pelayanan Yesus Kristus.  Pertama, Ia harus mempunyai  tujuan jelas tentang apa yang ia kehendaki agar mereka mengetahui dan mengerti mengenai Allah dan kebenaran-Nya.  Ia harus tahu unsur-unsur dasar dalam kehidupan seorang murid Kristus.  Kedua, Ia harus memiliki suatu gambar yang jelas tentang menjadi seperti apa seharusnya murid-murid nantinya.  Ia harus mengetahui unsur dasar watak Kristen yang harus mereka miliki.  Ketiga, Ia harus memiliki visi yang baik akan apa yang harus mereka pelajari supaya tercapai tujuannya dan rencana untuk menolong mereka menjalankannya” (Pemuridan Seni yang Hilang [Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2002] 33-34).
[156]Yet Jesus saw in these simple men the potential of leadership for the Kingdom.  They were indeed “unlearned and ignorant” according to the world’s standard (Acts 4:13), but they were teachable (Billie Hanks & William A. Shell, Discipleship [Grand Rapids: Zondervan, 1981] 43).
[157]LeRoy Eims, Pemuridan 28; Sebaiknya satu kelompok terdiri dari 3-5 orang saja.
[158]Robert E. Coleman menjelaskan alasan mengapa perlu berkonsentrasi terhadap beberapa orang saja: “In noting this fact, however, one does not want to miss the practical truth of how Jesus did it.  Here is the wisdom of His method, and in observing it, we return again to the fundamental principle of concentration upon those He intended to use.  One cannot transform a world except as individuals in the world are transformed, and individuals cannot be changed except as they are molded in the hands of the Master (“Selection of Disciples” dalam Discipleship [Eds. Bill Hanks & William A. Shell; Grand Rapids: Zondervan, 1981] 43).
[159]Pada masa kini betapa sulitnya seorang pemimpin bertemu dengan orang-orang yang dimuridkan.  Karena itu seorang pemimpin harus mengatur waktu dengan baik agar dapat berinteraksi dengan mereka di luar jam pertemuan yang direncanakan juga.
[160]Biblical Foundation for Small Group Ministry (Downers Grove: InterVarsity, 1994) 218.
[161]Ibid. 218-219.
[162]Some important skill that are seemingly lost within our culture, such as how to listen, how to display accurate empathy, how to resolve conflicts, and how to complement others in a meaningful fashion” (Michael T. Dibbert & Frank B. Wichern, Growth Groups: A Key to Christian Fellowship and Spiritual Maturity in Church [Grand Rapids: Zondervan, 1985] 114).
[163]He leads by providing guidance and direction for group members.  His means for doing so involves very little verbal instruction but a great deal of modeling and sharing of himself.  He serves by helping others mature, by being ardently devoted to their psychological, spiritual, and intellectual growth.  Servant leader facilitate growth rather than try to control it; they are shepherds rather than directors.  Jesus is model of the servant leader (Mrk. 10:45) (ibid. 54).
[164]They don’t use their position to solidify their status and authority.  They try, instead, to help others become more self reliant and independent—they discourage dependency! One of their primary objectives is to bring the gifts of the group to play in the building up of each of the members (ibid.).
[165]They help others learn how to listen, sympathize, and solve problems.  They encourage group members to take more initiative and assume more responsibility for ministering to one another.  And by so doing, they help group members realize that they have within themselves vast resources for creatively dealing with life (ibid.).
[166]They realize that growth often involves a series of complex and subtle changes that occur over time.  And they are interested more in creating a climate for learning and helping others learn how to learn than in directly teaching right answers and distributing information (ibid.).
[167]The changes that come about in the lives of the group members.  The changes that come about in the believer’s life are due to the work of the Holy Spirit.  A leader can facilitate because the Holy Spirit is active in the lives of the group members.  The group leaders who structures every meeting from beginning to end and the leader who plans nothing do not expect the Holy Spirit to bring about the maturity in Christ that they are seeking.  The leader both plans and leaves openings because he or she knows that the Spirit is at work (ibid. 54-55).
[168]Bangsa, suku dan kaum dan bahasa akan berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba.  Ini merupakan penglihatan yang dialami Rasul Yohanes di pulau Patmos (Why. 7:9).  Karena itu, murid-murid harus pergi menjangkau mereka yang akan berdiri di hadapan Allah kelak.
[169]Icenogle, Biblical 336.
[170]Bdk. Paulus, ‘Segala makhluk’ dapat dimengerti dari Rasul Paulus yang menulis, “. . . di seluruh alam di bawah langit . . .” (Kol. 1:23); “. . . kepada orang Yunani maupun kepada orang bukan Yunani, baik kepada orang terpelajar, maupun kepada orang yang tidak terpelajar” (Rm. 1:14-15). 
[171]Sebagaimana yang diungkap Rasul Paulus dalam Efesus 6:12.
[172]Jacob Van Bruggen mengatakan, “Pengutusan pertama kedua belas murid diiringi tanda pengusiran roh jahat dan penyembuhan penyakit (6:12-13).  Tanda-tanda itu juga yang akan mengiringi perjalanan Injil di dunia ini.  Selain itu, akan ada tanda baru (berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru, memegang ular, tidak mendapat celaka walau minum minuman beracun).  Semua tanda itu memperlihatkan kejayaan Injil: Roh jahat harus lari, batas-batas bahasa tidak berlaku lagi.  Alam tidak lagi berbahaya (patukan ular tidak mencelakakan).  Permusuhan menjadi tidak berdaya (minuman beracun tidak membawa mati).  Kehidupan sembuh: orang sakit pulih.  Injil itu sungguh-sungguh kabar baik yang datangnya dari Allah sendiri” (1:1) (Markus: Injil Menurut Petrus 631).
[173]Barclay, PASH: Injil Markus 620.
[174]Dorothy M. Stewart, The Westminster Collection of Christian Prayer (Louisville: Westminster John Knox, 2002) 69.
[175]Pemuridan adalah sebuah perjalanan, merupakan istilah yang menjadi khas di dalam narasi Markus (Rikki E Watts, Isaiah’s New Exodus in Mark [Grand Rapids: Baker, 1997] 124-125).

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai dengan topik yang dibahas..