BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang Masalah
Esensi
pemuridan adalah menjadikan seseorang serupa dengan Kristus.[1] Proses menjadi serupa dengan Kristus diawali
dengan “titik balik perubahan hidup” yang disebut pertobatan. Pertobatan menyebabkan orientasi hidup dan
motif-motif terdalam di dalam hidup seseorang menjadi berubah secara
total. Sebelum ia bertobat, orientasi
dan motif-motif dasar hidupnya akan selalu berpusat pada dirinya sendiri. Namun ketika seseorang benar-benar bertemu
dengan Kristus dan bertobat serta menerima-Nya sebagai Tuhan, semua orientasi
dan motif-motif terdalam di dalam dirinya akan diarahkan kepada Allah dan
kepada Kristus.
Proses
pemuridan sesungguhnya dimulai sejak seseorang mengalami titik balik perubahan
hidup. Ketika seorang pemimpin KTB[2]
telah menemukan titik balik dalam hidup anggota yang dimuridkan, maka ia akan
semakin mampu mengembangkan pola pemuridan kepada anggota-anggota
kelompoknya. Dapat ditekankan di sini
bahwa totalitas proses pemuridan/kemuridan sangat ditentukan oleh sejauh mana
anggota-anggota kelompok di dalamnya mengalami titik balik perubahan hidup.[3]
Setelah
titik balik perubahan hidup, maka seorang pemimpin KTB berorientasi kepada
pertumbuhan rohani anggotanya. Melalui
pertumbuhan tersebut, diharapkan anggota KTB memiliki kerinduan untuk melayani
dan akhirnya bermultiplikasi menjadi pemimpin KTB yang memuridkan orang lain.
Namun
ternyata ditemukan kondisi pemuridan yang stagnan,
seperti yang diungkapkan oleh Yusuf Deswanto:
. . . perkembangan pelayanan KTB di
berbagai kota
saat ini ibarat berjalan di dalam sebuah ironi. Di satu sisi, berbagai strategi pembenahan dan
pengembangan KTB telah dilakukan dengan sangat rapi, terpola, dan simultan.
Dari “sekadar” berkumpul, PA, dan kemauan melakukan proyek ketaatan seadanya,
saat ini di berbagai daerah telah dikembangkan berbagai “perangkat” untuk
meningkatkan kualitas KTB; dari kurikulum, buku kerja pemimpin KTB, hingga pola
pembinaan yang berkesinambungan bagi pemimpin dan calon pemimpin KTB. Namun di sisi lain, setiap tahun masih
terdapat banyak data kelompok yang macet, bahkan beberapa nama anggota KTB yang
gugur di tengah jalan.[4]
Kondisi stagnan itu juga ditandai dengan masalah
adanya anggota KTB yang tidak memiliki kerinduan untuk memuridkan, sehingga
kurang terjadi kontinuitas[5]
dalam pelipatgandaan proses pemuridan.
Kondisi
pemuridan yang stagnan harus diubah. Dalam hal ini peran pemimpin KTB sangat
diperlukan untuk memutuskan “rantai kemandegan
spiritualitas” dalam proses
pemuridan tersebut. Pemimpin KTB
selayaknya semakin mengenal dan mendorong anggota kelompoknya kepada perubahan
orientasi hidup yang total, dan mengarahkannya kepada pertumbuhan rohani yang
sejati. Untuk mencapai hal ini, seorang
pemimpin KTB menginvestasikan hidupnya ke dalam hidup orang-orang yang
dimuridkannya. Hal ini sejalan dengan
teladan Yesus Kristus sendiri yang menginvestasikan hidup-Nya secara khusus
kepada para murid-Nya.[6] Karena itu, solusi yang tepat untuk akar
permasalahan stagnasi tersebut adalah
seorang pemimpin KTB meneladani proses pemuridan yang Tuhan Yesus lakukan
terhadap murid-murid-Nya.
Robert
Coleman dalam The Master Plan of
Evangelism memberikan delapan prinsip yang Yesus pakai untuk melengkapi
murid-murid-Nya:[7] (1)
Pemilihan: Yesus memilih sekelompok murid dari antara para pengikut-Nya untuk
melatih mereka secara lebih efektif; (2) Persekutuan: Yesus tinggal bersama
mereka di dalam suatu perkumpulan dan mereka mengikuti-Nya ke mana pun Ia pergi;
(3) Pengabdian: Yesus menuntut mereka menaati-Nya; (4) Penyerahan Diri: Yesus
bukan hanya meminta mereka untuk taat, Ia sendiri menunjukkan bagaimana Ia
mengasihi mereka; (5) Perwujudan: Semasa hidup-Nya, bersama para murid-Nya, Ia
menunjukkan keagungan-Nya, sikap-Nya terhadap Allah Bapa dan manusia dalam
pelayanan; para murid belajar dari Yesus dengan melihat apa yang Ia lakukan;
(6) Pengutusan: Yesus tidak hanya mengajar dan menunjukkan bagaimana melayani,
Ia juga memberi tugas yang harus dikerjakan dan memberi kesempatan kepada para
murid-Nya untuk menerapkan apa yang telah mereka pelajari; (7) Pembimbingan:
Yesus juga mengevaluasi dan mengoreksi pelayanan para murid-Nya sehingga mereka
bisa melayani lebih efektif; (8) Pelipatgandaan: Harapan Yesus dalam melatih
para murid-Nya adalah agar mereka juga bisa menghasilkan murid-murid lainnya.
Dari
prinsip-prinsip di atas, Bob Jokiman menyimpulkan bahwa pola pelatihan Yesus
bisa diringkas sebagai berikut:[8] pertama, pelatihan dalam kehidupan.
Dalam pelatihan ini, Ia ingin para murid-Nya tinggal dan bepergian bersama-Nya
sebagai satu kelompok, serta belajar dari kehidupan-Nya sehari-hari dan
sifat-Nya. Mereka bertumbuh melalui apa
yang mereka lihat pada Guru mereka. Kedua, pelatihan dalam pengajaran. Melalui pengajaran-Nya, baik yang terbuka
untuk umum ataupun secara pribadi, para murid memperoleh banyak pelajaran
kebenaran, baik teori maupun praktik. Ketiga, pelatihan dalam pelayanan. Para murid
Yesus belajar bukan hanya mendengar pengajaran-Nya dan melihat guru mereka,
tetapi mereka juga memiliki kesempatan untuk berpraktik ketika diutus untuk
memberitakan Injil, menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan. Melalui semuanya itu, mereka mengembangkan
kemahiran mereka dalam pelayanan.
Dalam
waktu tiga setengah tahun, Tuhan Yesus telah meletakkan dasar bagi pola pemuridan
yang seharusnya menjadi pola pemuridan yang kita lakukan pada zaman ini. Sangat dibutuhkan pemimpin KTB yang memahami
secara mendalam[9] dan
menerapkan apa yang Yesus lakukan dalam pola pemuridan-Nya. Melalui usaha pemimpin KTB tersebut, niscaya
akan dapat mengatasi stagnasi dalam
proses pemuridan yang dipercayakan kepadanya.
Ia harus menyadari bahwa proses pemuridan bukan hanya melibatkan
usaha/kemampuan dirinya, namun juga melibatkan Sang Gembala Agung, yang
memiliki kuasa atas hati manusia.[10]
Usaha
untuk memahami secara mendalam dan menerapkan pola pemuridan yang Yesus lakukan
merupakan suatu usaha untuk menemukan teologi pemuridan Yesus. Pendekatan yang dapat kita lakukan adalah
menggali secara alkitabiah pola pemuridan Yesus yang terdapat dalam kitab
Injil. Secara khusus penulis akan
menekankan teologi pemuridan dalam kitab Markus. Tema pemuridan sangat menonjol dalam kitab
Markus, seperti pendapat Marvin Meyer: “The
theme of discipleship is a particularly poignant one in the gospel of Mark in
the light of strong emphasis upon discipleship. . . .”[11] Hal ini ditegaskan pula oleh Larry W. Hurtado:
The
Gospel of Mark is manifestly a narrative about Jesus. It is also, however, about Christian discipleship,
or what it means to be a follower of Jesus. Two types of material in Mark
are generally recognized as reflecting this latter concern: (1) teaching on discipleship that is
directed to the disciple/readers and (2) the portrayal of the Twelve, which
seems also to have a strongly didactic purpose behind it. Furthermore, as we will argue later, in his
portrayal of Jesus evangelist was concerned to clarify the nature of
discipleship. So the themes of “Christology” and “Discipleship” in Mark’s Gospel go hand in hand.[12]
Narasi
dari kitab Markus dimaksudkan untuk memberikan pengajaran tentang petunjuk
bagaimana pembaca kitab ini hidup sebagai pengikut Kristus. Interaksi Yesus dengan kedua belas murid-Nya
juga memberi pengajaran kepada pembaca kitab ini bagaimana mengikut Kristus
atau menjadi murid-Nya.[13] Jadi, unsur pengajaran menjadikan seseorang
murid Kristus adalah maksud dari kitab Markus ini.
Pola
pendekatan yang penulis bangun untuk menemukan teologi pemuridan dalam kitab
Markus adalah menyimak perintah Tuhan Yesus yang langsung ditujukan kepada
murid-murid-Nya dan bagaimana respons murid-murid terhadap perintah tersebut. Perintah-perintah Yesus merupakan sebuah
rangkaian kronologis karena Injil Markus disusun secara kronologis.[14] H. B. Swete memberi argumentasi tentang Injil
Markus disusun secara kronologis, “. . . there
are indications of the writers’
desire to follow the order of events, as far as his information permitted him
to do so. It is shewn by the notes of time and place
which continually occur.”[15] Kemudian Swete meneruskan dengan mencatat referensi
waktu dan tempat sembilan pasal Injil yang pertama dan menyimpulkan, “It is imposible to resist the impression
that writer who constructed this hain of sequence believed himself to
presenting his facts upon the whole in the order of their actual occurrence.”[16]
Karena
Injil Markus disusun secara kronologis, maka penulis berasumsi bahwa
perintah-perintah Yesus kepada murid-murid-Nya disesuaikan dengan tingkat
kemajuan atau perkembangan pengenalan murid-murid terhadap Yesus. Perintah Yesus di awal pemanggilan
murid-murid memiliki penekanan tertentu dibandingkan dengan perintah-perintah
Yesus pada tahap pembinaan dan pengutusan murid-murid-Nya. Setiap penekanan dari perintah-perintah
tersebut mengandung maksud Yesus untuk membentuk mereka dalam sebuah proses
pemuridan. Tuhan Yesus memberi perintah
kepada murid-murid agar mereka mengerti kehendak Tuhan dan menaatinya sehingga
mereka menjadi semakin serupa dengan Kristus.
Dengan asumsi demikian, penulis mencoba untuk menemukan teologi
pemuridan dengan menyimak perintah-perintah Yesus kepada murid-murid-Nya.
Dengan
mengacu pada penjabaran di atas, penelitian ini berharap dapat mengungkapkan
teologi pemuridan Yesus—sebuah kedalaman maksud Yesus terhadap proses
pemuridan—sehingga memberikan inspirasi bagi pemimpin KTB masa kini. Inspirasi
yang dimaksudkan ialah supaya dapat menggerakkan para pemimpin untuk melakukan
pemuridan demi mengubah orang-orang yang dimuridkan, bertumbuh dan makin serupa
dengan Kristus. Mereka menjadi seorang
yang memuridkan orang lain sehingga terjadi kontinuitas. Amanat Agung dikerjakan, murid-murid
dihasilkan dan proses pelipatgandaan akan terus bergulir sampai kedatangan
Kristus yang kedua kali. Murid-murid
Kristus tersebut akan masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan dan menjadi agen
transformasi kehidupan.
Rumusan masalah dan tujuan penulisan
Untuk mengarahkan penelitian ini dengan baik dan mencapai hasil
yang diinginkan, maka perlu dilakukan perumusan terhadap masalah penelitian
melalui beberapa pertanyaan berikut: Pertama,
bagaimana perkembangan tahapan pemuridan di dalam kitab Markus? Kedua, apakah
ada perkembangan perintah Tuhan Yesus dan respons murid-murid dalam tiap tahap
pemuridan serta makna teologis apa yang terkandung dari perintah-perintah dan
respons tersebut? Ketiga, apa implikasi makna perintah Yesus dan respons murid-murid
tersebut, pada tiap tahapan pemuridan terhadap proses pemuridan masa kini?
Melalui
beberapa pertanyaan investigasi di atas, penulis berharap dapat menghasilkan
sebuah tulisan yang memberikan masukkan berharga bagi pemuridan masa kini, baik
di lembaga pelayanan nongereja maupun gereja, untuk beberapa hal berikut: Pertama, memberikan gambaran tahapan
pemuridan yang dilakukan Yesus dalam kitab Markus. Kedua, menggali
makna perintah Tuhan Yesus dan respons murid-murid dari konteks kitab Markus,
latar belakang kehidupan dan pemikiran pada zaman-Nya. Ketiga,
menjawab kondisi stagnan yang
terjadi dalam proses pemuridan dengan menemukan teologi pemuridan Yesus, yang
dapat dipahami dan diterapkan oleh pemimpin KTB, yaitu dengan memberikan
penekanan pemuridan yang Yesus lakukan.
BATASAN MASALAH
Dalam
penulisan ini penulis membatasi penelitian terhadap ketiga batasan, sebagai
berikut: Pertama, perintah-perintah Tuhan Yesus yang akan diselidiki adalah
perintah yang terdapat di dalam Injil Markus.
Kedua, perintah-perintah Tuhan
Yesus yang dimaksud adalah perintah-perintah yang langsung ditujukan kepada
murid-murid-Nya saja. Ketiga, implikasi dari teologi pemuridan
yang dihasilkan akan bermuara kepada pencarian solusi terhadap kondisi stagnasi multiplikasi KTB.
METODE PENELITIAN
Metode yang akan
digunakan dalam melakukan penelitian untuk skripsi ini pada dasarnya adalah
metode riset kepustakaan, yaitu sebuah penelitian di mana bahan-bahan yang digunakan
dalam setiap bagian skripsi ini berasal dari literatur-literatur yang ada di
perpustakaan dan internet.
Untuk
menemukan teologi pemuridan dalam kitab Markus, penulis akan memperhatikan
bagaimana perkembangan tahapan pemuridan yang Yesus lakukan dalam hal pemilihan
dan pemanggilan, pembinaan dan pelatihan serta pelipatgandaan dan pengutusan
murid-murid-Nya. Dalam perkembangan
tahapan itu, penulis akan melakukan studi terhadap perintah-perintah Tuhan
Yesus dan respons murid-murid-Nya.
Analisis untuk menemukan teologi pemuridan ini didukung pula dengan
studi terhadap kata-kata atau frasa-frasa tertentu yang merupakan kata-kata
atau frasa-frasa kunci dari setiap perintah Tuhan Yesus tersebut. Di samping itu, penelitian ini didukung oleh
eksposisi latar belakang kehidupan maupun pemikiran yang berlaku pada saat
penulisan Injil Markus maupun pada zaman Tuhan Yesus.
SISTEMATIKA PENULISAN
Pembahasan
dari penulisan skripsi ini terdiri dari lima
bab, dengan sistematika sebagai berikut: setelah memaparkan apa yang menjadi latar
belakang dan signifikansi dari penelitian ini pada bab pertama, maka pada bab
kedua penulis akan membahas tentang latar belakang dan sistematika penulisan
serta konsep pemuridan menurut Injil Markus.
Penulis akan memaparkan konsep pemuridan dalam Injil Markus ditinjau
dari perspektif pengajaran Yesus terhadap murid-murid-Nya dan penggambaran
Markus tentang murid-murid Tuhan Yesus.
Uraian konsep pemuridan Injil Markus pada bab kedua ini, merupakan
pandangan konsep pemuridan menurut beberapa ahli. Kemudian pada bab ketiga, penulis akan
meneliti perintah-perintah Tuhan Yesus dan respons murid-murid-Nya dalam Injil
Markus. Pertama, penulis akan meneliti
perintah-perintah Tuhan Yesus dalam narasi pemanggilan murid-murid
(1:16-6:6a). Kedua, penulis akan
meneliti perintah-perintah Tuhan Yesus dan respons murid-murid-Nya dalam narasi
pendidikan murid-murid (6:6b-10:52). Ketiga,
penulis akan meneliti perintah-perintah Tuhan Yesus dan respons murid-murid
dalam narasi wahyu yang dialami murid di Yerusalem (11-16).
Bab
keempat, penulis akan membahas tentang teologi pemuridan dan implikasinya terhadap
proses pemuridan masa kini. Setelah
mengetahui teologi pemuridan Yesus, maka penulis akan mengimplikasikannya
terhadap apa yang diharapkan dari seorang pemimpin KTB dalam proses pemuridan,
yaitu: ia memahami dan mengaplikasikan arti panggilan menjadi dan menjadikan
murid seumur hidup (prinsip pemilihan), ia menjadi pemimpin KTB yang memiliki
jiwa seorang gembala (prinsip pembinaan) dan ia meningkatkan efektivitas
multiplikasi KTB yang dipimpinnya (prinsip pelipatgandaan/pengutusan).
Bab
kelima merupakan bagian penutup dari skripsi ini, yang akan mengemukakan
kesimpulan dari keseluruhan penelitian ini dan juga saran-saran praktis bagi
gereja atau lembaga nongereja yang melakukan proses pemuridan guna menghasilkan
pemimpin-pemimpin KTB yang dapat memuridkan dan menghasilkan murid-murid.
BAB II
LATAR BELAKANG DAN SISTEMATIKA PENULISAN SERTA KONSEP
PEMURIDAN MENURUT INJIL MARKUS
Pada
bab ini, penulis akan memaparkan latar belakang dan sistematika penulisan serta
konsep pemuridan Markus menurut pandangan beberapa ahli. Penulis tidak akan menguraikan pandangan
ahli-ahli secara terpisah, namun menjadi satu kesatuan kesimpulan pada tiap bagian. Penulis akan memaparkan konsep pemuridan
berdasarkan perspektif pengajaran Tuhan Yesus dan penggambaran Markus tentang
murid-murid.
Pembaca
akan menemukan sekumpulan pengajaran yang mengesankan dari kitab Markus. Gaya
menulis Markus yang gamblang meninggalkan kesan bagi pembaca bahwa Injil ini
adalah sebuah drama yang bergulir dengan cepat dengan salib sebagai klimaksnya.[17] Markus mencatat bagian demi bagian, kisah
demi kisah dalam latar narasi yang mengandung pengajaran bagi murid-murid-Nya
dan bagi pembaca masa kini. Penulis
setuju dengan pendapat Michael J. Wilkins, “Mark
writes to people who need experience the stark reality of Jesus, who need to
have their lives touched and challenged by his message and his ministry.”[18] Markus ingin mengungkapkan bahwa tujuan hidup
dan perkataan Tuhan Yesus adalah mentransformasi individu menjadi serupa
dengan-Nya–Pribadi Yang Agung. Tuhan
Yesus memberi waktu selama tiga tahun lebih untuk mentransformasi
murid-murid-Nya dalam sebuah proses pemuridan.
LATAR BELAKANG
INJIL MARKUS
Tradisi
menyamakan Markus dengan Yohanes Markus yang adalah kemenakan dari Barnabas
(Kol. 4:3).[19] Ia pernah menjadi teman seperjalanan dari
Barnabas dan Paulus dalam tahap pertama perjalanan pekabaran Injil (Kis. 12:25;
13:5, 13), namun ia meninggalkan misi itu dan kembali ke Yerusalem. Karena itu, Paulus tidak mau melibatkannya
lagi dalam perjalanan misi yang selanjutnya.
Kemudian hari, terjadi rekonsiliasi—Markus diterima kembali sebab
pelayanannya sangat penting bagi Paulus (2Tim. 4:11; Kol. 4:10; Fil. 24). Markus menulis Injilnya di kota Roma.[20] Salam Petrus dalam 1 Petrus 5:13 cenderung
untuk meneguhkan pendapat ini, yaitu jika benar bahwa ‘Babilon’ merupakan
metafora bagi Roma.[21]
Markus
memperoleh informasi tentang kehidupan dan pekerjaan Yesus melalui pemberitaan
rasul Petrus.[22] Menjelang akhir abad kedua, ada seorang yang
bernama Papias yang gemar mencari tahu dan meneruskan informasi sejauh yang ia
peroleh mengenai kehidupan awal jemaat perdana.
Ia mengatakan bahwa Injil Markus tidak lain dari sebuah rekaman bahan
khotbah Petrus, rasul terbesar. Tentu
saja Markus dekat sekali di hati Petrus sehingga Petrus menyebutnya, “Markus,
anakku” (1Pet. 5:13).[23] Jadi dapat dikatakan bahwa apa yang ada dalam
Injil Markus adalah apa yang ia ingat dari bahan pemberitaan Petrus sendiri.
Injil
ini agaknya ditulis untuk pembaca bukan Yahudi pada umumnya, dan orang Roma
pada khususnya. Kutipan dan kiasan dari
PL dapat dikatakan sedikit; ungkapan-ungkapan dalam bahasa Aram diberi penjelasan (mis. 5:41),
adat-istiadat Yahudi diterangkan (mis. 7:3,11); ada beberapa kata Latin. Nada umum yang melukiskan kegiatan Tuhan yang
tiada hentinya, dan kuasa-Nya atas roh jahat, penyakit dan maut, adalah nada
yang dapat disukai oleh pembaca Romawi, yang lebih memperhatikan perbuatan
daripada kata-kata. Tidak dapat
diragukan, bahwa tujuan penulis adalah untuk mencukupi kebutuhan jemaat
Roma. Ia ingin menguatkan iman mereka untuk
menghadapi penderitaan dan penganiayaan yang akan datang. Maksud utama Markus adalah penginjilan.[24]
Markus
merupakan Injil pertama dengan beberapa alasan. Pertama,
kesesuaian di antara ketiga Injil sinoptik begitu dekat yang mendorong untuk
mengambil salah satu dari dua kesimpulan berikut: apakah ketiga-tiganya memakai
satu sumber yang sama ataukah dua dari tiga Injil itu didasarkan pada Injil
yang satu.[25] Kedua,
Matius dan Lukas menggunakan Markus sebagai dasar bagi kitab Injil mereka.[26] Ketiga,
Matius dan Lukas sama-sama mengikuti urutan peristiwa yang ada dalam Markus.[27] Terkadang Matius mengubah urutan Markus dan
Lukas pun demikian. Namun, manakala
terjadi perubahan dalam urutan tidak pernah Matius dan Lukas bersama-sama
melawan urutan Markus. Selalu ditentukan
bahwa salah satu dari mereka berdua mengikuti urutan peristiwa yang ada dalam
Markus.[28]
Ada dua alasan kuat untuk
mengatakan bahwa Injil Markus adalah kitab yang sangat penting. Pertama,
ia adalah kitab Injil tertua. Jika
ditulis tidak lama setelah Petrus meninggal dunia, waktu penulisannya adalah
sekitar tahun 65 M. Kedua, isinya adalah rekaman atas apa yang diberitakan dan
diajarkan Petrus tentang Yesus. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa Injil Markus adalah pendekatan terdekat terhadap
laporan saksi mata mengenai kehidupan Yesus.[29]
B.
F. Drewes mengatakan,
Markus menekankan
dalam kitabnya bahwa Tuhan Yesus inilah yang pernah hidup dan bekerja di dunia
ini sebagai manusia di tengah-tengah manusia.
Ia telah hidup secara konkrit dan nyata di dunia ini. Tuhan Yesus inilah yang telah menderita dan
disalibkan. Dan kabar yang baik mengenai
Tuhan Yesus tidak boleh dilepaskan dari kenyataan historis tersebut dan secara
khusus tidak dari penderitaan dan salib-Nya.
Sebab itu hal penderitaan dan salib sangat ditekankan Markus. Ia menyusun suatu kitab di mana pekerjaan,
sabda-sabda dan penderitaan Yesus merupakan suatu kesatuan![30]
SISTEMATIKA
PENULISAN INJIL MARKUS
Injil
Markus dapat dibagi dalam dua bagian besar yaitu: pelayanan Yesus di Galilea
(1:1-8:26) dan perjalanan Yesus ke Yerusalem dan penderitaan dan
kebangkitan-Nya di sana
(8:27-16:8).[31]
Injil
Markus adalah narasi yang terdiri dari tiga bagian kisah yang diawali dengan
sebuah judul (1:1) dan prolog (1:2-13).
Kisah bagian pertama di Galilea (1:14-8:21), bagian kedua dalam
perjalanan ke Yerusalem (8:22-10:52) dan bagian ketiga di Yerusalem (11:1-16).[32]
Kisah
bagian pertama ingin menekankan otoritas Yesus (1:16-3:12), pengajaran-Nya
(3:13-6:6) dan misi-Nya (6:7-8:21).[33] Bagian kedua menekankan instruksi Yesus
kepada murid-murid-Nya tentang bagaimana pemuridan yang sesungguhnya.[34] Sementara bagian ketiga menekankan hari-hari
terakhir di Yerusalem (11:1-13:37) dan hari-hari penderitaan dan kebangkitan
Yesus (14:1-16).[35]
Sistematika
Injil Markus dengan pendekatan relasi antara Yesus dan murid-murid-Nya[36]
dapat dibagi menjadi enam tahap.
Masing-masing tahap dimulai dan diakhiri dengan suatu adegan yang
memperlihatkan Yesus sendirian dengan murid-murid-Nya. Bersama-sama dengan para murid-Nya, Yesus
mempersiapkan langkah berikutnya.[37] Tahap pertama, dari panggilan keempat murid
yang pertama sampai pengangkatan kedua belas murid (1:16-3:12). Tahap kedua, dari pengangkatan kedua belas
murid sampai pengutusan mereka (3:13-6:6a).
Tahap ketiga, dari pengutusan kedua belas murid sampai pengakuan iman
Petrus (6:6b-8:26). Tahap keempat, dari
pengakuan iman Petrus sampai pemberitahuan Yesus mengenai sengsara
(8:27-10:52). Tahap kelima, Yesus
berhadapan dengan Yerusalem (11:1-13:57).
Tahap keenam, pemberitahuan-pemberitahuan Yesus mengenai sengsara dan kebangkitan
menjadi kenyataan (14:1-16:20).
Bila
ditinjau dari sudut pengajaran Yesus terhadap murid-murid-Nya, seluruh Injil
Markus agaknya dapat dibagi atas tiga bagian, yaitu:[38] Pertama,
panggilan murid-murid (1:16-6:6a)–setelah dipanggil, murid-murid itu membentuk
suatu kelompok yang erat hubungannya dengan Yesus. Lambat laun kelompok itu memiliki ciri-ciri
tersendiri, berkat hubungannya dengan para musuh Yesus dan khalayak ramai (lihat
tahap pertama dan kedua). Kedua, pendidikan murid-murid
(6:6b-10:52)–Yesus berusaha mendidik murid-murid-Nya. Ia membantu mereka memahami siapakah Dia dan
apakah karya-Nya serta tugas mereka.
Tetapi Markus menekankan pula bahwa murid-murid itu toh tidak memahami siapakah Yesus dan apakah karya-Nya. Keadaan ini berlangsung sampai saat pengakuan
iman Petrus. Mereka tidak memahami pula
“jalan yang menuju kemuliaan,” walaupun Petrus sudah mengakui Yesus sebagai Mesias
(lihat tahap ketiga dan keempat). Ketiga, wahyu yang dialami para murid di
Yerusalem (11-16) (lih. tahap kelima dan keenam).
KONSEP PEMURIDAN DALAM INJIL
MARKUS DARI PERSPEKTIF PENGAJARAN YESUS
Pengajaran
Yesus dikemas Markus dalam narasi kepada pembacanya.[39] Penulis akan mengungkapkan pengajaran Yesus
dari beberapa narasi yang sangat kuat mengungkap tema pemuridan, yaitu: narasi
pemanggilan murid-murid yang pertama (1:16-20); narasi panjang dalam sebuah inclusio yang terdapat pada pasal
8:22-10:52.
Pemanggilan Murid-murid yang pertama
(1:16-20).
Dalam
narasi yang seolah-olah tanpa makna ini, Yesus ingin mengajarkan bahwa menjadi
murid-murid menyatakan secara tidak langsung penerimaan tuntutan dari
Yesus. Yesus tiba-tiba muncul menyusur
danau dan memanggil Petrus dan Andreas untuk menjadi murid-murid-Nya. Ini menunjukkan pemuridan adalah inisiatif
dari Yesus dan sekaligus mendobrak kultur zaman itu di mana seorang muridlah
yang mencari gurunya.[40] Tidak terjadi unsur psikologis atau persiapan
lainnya. Mereka menjawab panggilan-Nya
dan segera meninggalkan jala mereka dan mengikut Dia.[41]
B.
F. Drewes menampakkan keunikan dalam narasi ini yang menceritakan tentang
pemanggilan Simon Petrus dan Andreas (ay.
16-18) dan Yakobus dan Yohanes (ay. 19-20). Ada
sebuah kesejajaran dari kedua pemanggilan itu, demikian:[42]
Pertama, Yesus
sedang berjalan melihat orang dalam kesibukan sehari-hari (ay. 16 dan ay. 19);
Kedua, Ia
memanggil mereka untuk mengikuti-Nya (ay. 17–dengan janji, dan ay. 20a);
Ketiga, orang meninggalkan urusannya untuk mengikuti Dia (ay. 18 dan ay. 20b).
Skema
yang sama kita temui pula dalam 2:14, pada pemanggilan Lewi:[43]
Pertama, kemudian
ketika Ia berjalan lewat di situ, Ia melihat Lewi anak Alfeus duduk di rumah
cukai.
Kedua, lalu Ia
berkata kepada-Nya: “Ikutlah Aku.”
Ketiga, maka
berdirilah Lewi lalu mengikuti Dia.
Skema
yang sama terdapat juga dalam Markus 3:13, di mana Yesus menetapkan kedua belas
orang murid, yang berbunyi demikian:[44]
Pertama, “Naiklah
Yesus ke atas bukit.”
Kedua, “Ia
memanggil orang-orang yang dikehendaki-Nya.”
Ketiga, “. . . dan
mereka pun datang kepada-Nya.”
Jadi,
melalui narasi tersebut kita menarik kesimpulan seseorang menjadi murid melalui
ketaatan kepada panggilan Yesus untuk mengikuti-Nya.[45] Di sini juga muncul pengajaran Yesus tentang
pemuridan bahwa panggilan menjadi murid menuntut kesiapan untuk meninggalkan
segala sesuatunya.[46]
Panggilan
Yesus adalah panggilan untuk mengikuti Dia, sebuah panggilan untuk menjadi
serupa dengan Dia.[47] Namun bukan sekadar mengikut, melainkan juga
panggilan untuk menjadi penjala manusia.[48] Jadi, panggilan menjadi murid adalah sebuah
perjalanan dari mengikut Yesus menuju visi ‘menjadi penjala manusia.’ Ayat 17 dalam versi NIV menuliskan: “Come, follow Me, and I will make you a
fisher of man.” ‘Come, follow Me’ dalam bentuk present dan
‘I will make you a fisher of man’
dalam bentuk future. Artinya panggilan menjadi murid bertujuan agar
dapat memuridkan orang lain lagi, namun sebelum memuridkan orang lain kita
perlu dimuridkan lebih dahulu untuk menjadi berbeda dan semakin serupa dengan
Dia.[49]
Pemberitahuan tentang Penderitaan Yesus
dalam 8:22-10:52.
Markus
merangkai kisah pemuridan Yesus dalam bingkai yang sangat indah, yang
menyingkap ‘standar yang Yesus buat terhadap pemuridan’ pada bagian alur pasal
8:22-10:52. Bagian ini diawali (8:22-26)
dan ditutup (10:46-52) dengan kisah penyembuhan orang buta. Bingkai seperti ini dikenal sebagai sebuah
bentuk inclusio. Bingkai ini mempunyai makna yang sangat
penting untuk disimak, seperti yang dikatakan oleh Nicholas Christopher Cox
dalam disertasinya:[50]
It
is vital to understand that the healing of blindness is a metaphor in the
Gospel for the gift of spiritual understanding. So the pericope of the two-stage healing is a
metaphor for two stages of enlightenment. The instant healing of Bartimaeus who follows
Jesus into Jerusalem
signifies the notion that genuine spiritual understanding leads to true
discipleship. Both these pericopae hold
deeper implication with regards to Jesus’ attempt to instil in his followers a
greater depth of faith and spiritual insight needed to see his true identity
and vocation as the Messiah.
Penyembuhan
orang buta secara bertahap menjadi orang yang dapat melihat, berkat pelayanan
Yesus (8:22-26) dipakai Markus untuk menjadi simbol[51]
bahwa demikian pula secara bertahap mata para murid akan dibuka oleh Yesus,
sehingga mereka mulai memahami makna-Nya sebagai Mesias, Anak Allah. Sangatlah berbahaya apabila seseorang
mengikut Yesus tidak memiliki pemahaman yang utuh. Mengikut tanpa memahami apa makna kematian
Yesus dan bahwa dalam mengikut Yesus ia juga harus menjalani jalan salib.[52] Itulah sebabnya murid-murid diajar oleh Yesus
untuk memberi pemahaman yang utuh kepada mereka.
Proses
yang dilakukan Yesus untuk mencelikkan kebutaan murid secara bertahap
dikisahkan Markus dalam bagian selanjutnya yaitu 8:27-10:45. Dan kemudian Markus menutup inclusio tersebut dengan kisah
penyembuhan Bartimeus secara langsung, kemudian mengikuti Yesus dalam
perjalanan-Nya menuju kesengsaraan-Nya (10:46-52). Perikop ini menekankan bahwa untuk mengikut Yesus, Ia
sendiri yang harus membuka mata seseorang lebih dulu.[53] Sebuah simbol kerinduan Yesus terhadap
murid-murid-Nya agar mereka memiliki pemahaman spiritual sejati yang memimpin
kepada pemuridan sejati. Karena itu,
menjadi murid bagi Markus adalah terbukanya kesadaran seseorang tentang Yesus
Mesias dan kesediaannya untuk terlibat dalam misi-Nya dengan penuh kesetiaan.[54]
Berikut
ini adalah uraian bagaimana Yesus dengan bertahap membuka pemahaman
murid-murid-Nya tentang misi-Nya dan apa arti mengikut Dia. Markus mengemas hal ini dengan sangat
menarik. Kemasan dalam satu bingkai inclusio penyembuhan orang buta, ada
suatu pola yang berulang yaitu pemberitahuan tentang penderitaan Yesus diikuti
dengan kesalahpahaman murid-murid dan bagaimana Yesus memberikan pengajaran
menanggapi kesalahpahaman murid-murid tersebut.[55] Kisah-kisah dan pengajaran-pengajaran itulah
yang mengungkap misi Yesus dan apa standar Yesus terhadap pemuridan.[56] Yesus
sedang memperkenalkan standar pemuridan-Nya yang sesungguhnya (8:34-9:1;
9:35-37; 10:42-45) ketika Ia menanggapi respons murid-murid-Nya tersebut.
Pengajaran dalam
Pemberitahuan Pertama tentang Penderitaan dan Kebangkitan
Setelah
Yesus memberitahukan tentang penderitaan-Nya yang pertama kali (8:31-32),
kemudian Petrus segera menarik Yesus ke samping dan menegur Dia. Yesus memarahi Petrus dengan keras dan berkata,
“Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah,
melainkan apa yang dipikirkan manusia” (ay. 33). Menanggapi respons Petrus itulah, kemudian
Yesus memanggil orang banyak dan murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka,
“Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul
salibnya dan mengikut Aku” (ay. 34).
Pada
bagian ini, pengajaran Yesus berkonsentrasi pada apa arti salib bagi orang
percaya dalam relasinya dengan Dia. Dari
ayat 34, ada empat hal yang Markus tekankan:[57]
Pertama, ada sebuah panggilan untuk
mengikuti atau datang kepada Yesus.
Kedua, murid-murid dipanggil untuk
memikul salib mereka.
Ketiga, murid-murid dipanggil untuk
menyangkal diri.
Keempat, murid-murid dipanggil untuk
mengikuti Dia dengan setia.
Panggilan
pemuridan yang menuntut konsekuensi penyangkalan diri dan memikul salib
bukanlah tindakan sesaat melainkan panggilan seumur hidup. Cox dengan lugas mengatakan, “For a follower to be a true disciple of
Christ, the denying of self and taking up of one’s cross is not a once in a
lifetime act, but rather a perpetual event in the daily pilgrimage of a
believer.”[58]
Barclay
menuliskan dalam bukunya tentang bagian ini: Yesus berkata tentang orang-orang
yang akan menjadi murid-Nya,
“Sangkallah dirimu sendiri.” Kita akan memahami makna tuntutan ini dengan
benar jika kita memahaminya dengan sederhana dan harfiah. “Biarlah ia berkata ‘tidak’ kepada dirinya
sendiri.” Jika seseorang mau mengikut Yesus Kristus, ia
harus selalu berkata “tidak’ kepada dirinya sendiri dan “ya” kepada
Kristus. Ia harus mengatakan “tidak”
pada cinta alaminya terhadap hal-hal yang mudah dan menyenangkan. Ia harus berkata “tidak” kepada semua tindakan
yang didasarkan pada kepentingan dan kehendak diri sendiri. Ia harus mengatakan “tidak” pada naluri dan
hasrat yang mendorongnya untuk menyentuh, merasakan, dan memegang hal-hal
terlarang. Ia harus tanpa ragu-ragu
berkata “ya” pada suara dan perintah Yesus Kristus. Ia harus mampu berkata bersama dengan Paulus
bahwa bukan lagi dia yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam
dia. Ia hidup bukan lagi untuk mengikuti
kehendaknya sendiri, melainkan untuk mengikuti kehendak Kristus dan dalam
pelayanan itulah ia menemukan kebebasannya yang sempurna.[59]
Hal
senada dikatakan oleh M. H. Bolkestein, “Pengertian menyangkal diri di sini
tidak ada kaitannya dengan menanggalkan keakuan, tetapi untuk mempersembahkan
hidup ini demi kehendak Yesus dan Kerajaan itu.”[60]
Bagian
ini dilanjutkan dengan pernyatan Yesus yang radikal pada ayat 35, sebuah etika
baru sedang Yesus nyatakan tentang pemuridan.
Cox mengaitkan kehilangan nyawa seseorang melalui penyangkalan diri,
memikul salib dan mengikut Yesus karena kepentingan-Nya dan karena Injil, maka
ia akan menyelamatkan nyawanya. Dengan
perkataan lain, seseorang yang menjalani hidup baru sebagai murid Tuhan akan
menyelamatkan nyawanya untuk hidup yang kekal.
Sedangkan mereka yang berharap untuk hidup nyaman dan puas, yang hanya
memperhatikan keinginan dan hasrat mereka, sesungguhnya akan kehilangan nyawa
mereka.[61] Pengajaran Yesus pada ayat 8:36-9:1, lebih
lanjut menguraikan nilai pemuridan menurut kehendak Allah, yaitu seorang murid
bukan mengejar keinginan untuk memiliki apa pun yang ada di dalam dunia ini
(36-37), melainkan memiliki keinginan dan keberanian menantang dunia ini dengan
memberitakan nama Kristus dan Injil yang bernilai kekal (38:9:1).
Donald
H. Juel memberi kesimpulan terhadap bagian ini yang merupakan pengajaran
tentang pemuridan dengan mengatakan bahwa pemuridan adalah hidup dalam
pemahaman tentang salib dan kemuliaan yang akan datang.[62]
Rome reserved crucifixion for those who
challenged their authority and power. So,
when Jesus says that crucifixion is part of the future for those who follow
him, he is saying that his disciples must directly confront the powerful in
society. Lumped together with this central teaching are additional sayings of
Jesus. The Son of Man will return in
glory and distinctions will be made on the basis of shame about Jesus. Some would see the coming of the kingdom of God with power. Discipleship is lived in view of the cross but
also in view of the coming glory.[63]
Jadi
pemuridan adalah kesiapan dan komitmen seseorang untuk kehilangan segala
sesuatu yang sementara demi sesuatu yang bernilai kekal yaitu Kristus dan
Injil.
Pengajaran dalam
Pemberitahuan Kedua tentang Penderitaan dan Kebangkitan
Respons
murid-murid terhadap pemberitahuan kedua ini adalah mereka memperbincangkan
siapa yang terbesar di antara mereka (9:33-34).
Dari respons tersebut Yesus memberikan pengajaran. Yesus duduk dan memanggil kedua belas murid
dan berkata, “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi
terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya” (9:35). Untuk memberikan ilustrasi tentang itu, Yesus
mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka,
kemudian Ia memeluk anak-anak itu dan berkata kepada mereka; “Barangsiapa
menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang
disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.”
Soal
siapa yang terbesar, memang selalu berkecamuk dalam pemikiran yang salah dari
orang-orang Yahudi itu. Pertanyaan itu
pasti akan muncul dalam setiap peristiwa yang bagaimana pun sifatnya. Juga dalam zaman yang akan datang itu, orang
masih saja membedakan antara yang besar dan yang kecil. Menurut pandangan mereka, di dunia akhirat
pembedaan itu akan dilakukan kembali untuk selamanya, dan dalam hal ini akan
berbeda dengan dunia ini yang sebentar-sebentar berubah. Seluruh perjuangan hidup orang Yahudi yang
saleh itu dipersiapkan untuk menjadi besar dalam zaman baru itu. Hal itu hanya mungkin jika ia hidup dengan
tulus, mengetahui secara tuntas kitab Taurat dan bersedia mati syahid.[64]
Yesus
menyambut permasalahan itu, tetapi memberikan jawaban yang cukup radikal, yang
dengan tegas mengatakan, bahwa kerajaan yang Ia masyhurkan itu bukanlah
kelanjutan dari keadaan masa kini, tetapi bahkan kebalikannya. Yang pertama dalam kerajaan itu adalah dia,
yang tidak pernah memperhitungkan untuk memperoleh tempat yang terdahulu, juga
yang bersedia untuk menjadi pelayan bagi semua orang. Tempat yang paling belakang adalah tempat
yang paling rendah (Luk. 14:10).
Barangsiapa berkurban demi kepentingan orang lain, itulah pelayan yang
paling utama. Karena panggilan untuk
menjadi yang terakhir, serta pelayan bagi semuanya, maka usaha untuk menempati
tempat yang paling utama menjadi kabur dan bahkan berubah sekali.[65]
Pada
bagian ini Yesus mencoba mengaitkan antara pengajaran-Nya pada pemberitahuan
pertama dengan pengajaran-Nya pada pemberitahuan kedua. Pada pemberitahuan pertama Yesus menekankan
seorang murid haruslah menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Dia dengan
setia, kemudian Ia mengaitkannya dengan pengajaran yang kedua, pentingnya
melakukan hal tersebut di dalam pelayanan.
Penyangkalan diri, memikul salib dan mengikut Dia terkonfirmasi dalam
hidup yang melayani sesama dengan rendah hati.
Hal ini diungkap oleh Cox:
Jesus brings a new aspect into his teaching
on discipleship. For the first time he espouses servanthood as a form of
ministry (9:35). The passion of Jesus is
now linked to the need for service. This is the heart of his message on
discipleship further from the first instalment after his first prophecy (8:34f),
by incorporating to the notion of self denial, cross-bearing and faithful
following, the idea of service.[66]
Demikianlah
pula Hurtado menegaskan bahwa Yesus mengajarkan murid-murid untuk melayani
sesama, “After the second passion
prediction (9:32-34), Jesus’ teaching to the Twelve about service to others is
again couched in terms that open out to include the readers (“anyone who would
be first,” 9:35; “whoever,” 9:37).”[67] Pemuridan tanpa pelayanan bukanlah pemuridan
yang Yesus ajarkan. Pemuridan adalah
kerelaan untuk mengambil posisi yang paling hina, yang terwujud dalam melayani
sesama.
Yesus
memberi contoh tentang konsep pemuridan yang rela mengambil posisi yang paling
hina dengan metafora ‘anak-anak’ (9:36-37). Mereka adalah orang-orang yang diabaikan dan
tidak mendapat tempat yang penting dalam konteks masyarakat Roma Palestina pada
masa itu.[68] Namun Yesus memberikan penghargaan terhadap
mereka dengan menyatakan bahwa siapa yang menyambut mereka berarti menyambut
Allah. Jadi mengambil posisi yang paling
hina seperti anak-anak itulah, yang Tuhan perkenan.
Yesus
melanjutkan pengajaran kepada murid-murid tentang pemuridan yang menghambakan
diri dalam kisah seorang yang bukan murid mengusir setan (9:38-41). Pemuridan yang mengambil posisi hamba teraplikasi
dalam sikap hidup yang memiliki hati yang terbuka dan menerima orang lain
meskipun bukan termasuk kelompok mereka.[69]
Pada
ay. 9:42-48, Yesus ingin mengajarkan pentingnya seorang murid menahan diri dari
dosa dan tidak menyebabkan orang lain berdosa. Ia juga mengajarkan pentingnya kesederhanaan
dan ketekunan untuk menjalani paggilan dengan setia, agar terhindar dari nasib
yang mengerikan pada masa yang akan datang.
Ia menggunakan ilustrasi garam dan api (9:49-50) sebagai simbol bahwa
seorang murid harus terus dimurnikan melalui penderitaan dan pergumulan
hidup. Dengan demikian mereka dapat
menjadi berkat bagi sesama.[70]
Pengajaran dalam
Pemberitahuan Ketiga tentang Penderitaan dan Kebangkitan
Respons
murid-murid pada pemberitahuan ketiga adalah Yakobus dan Yohanes datang kepada
Yesus dengan permintaan khusus. Mereka
meminta, “Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang di
sebelah kanan-Mu dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu (ay. 10:37).” Kemudian Yesus berkata kepada mereka, “Kamu
tidak tahu apa yang kamu minta. Dapatkah
kamu meminum cawan yang harus Kuminum dan dibaptis dengan baptisan yang harus
Kuterima?” (ay. 10:38). Mereka menjawab
dengan keyakinan, “Kami dapat” yang ditanggapi Yesus dengan pernyataan bahwa
hal itu adalah kedaulatan Allah.
Dari
respons murid-murid–yang menandakan ketidakmengertian mereka akan makna dan
harapan mengikut Dia–kemudian Yesus memanggil mereka dan memberikan pengajaran
pada ay. 10:42-45. Pengajaran Yesus
tentang pemuridan pada bagian ini merupakan klimaks, di mana Ia menggabungkan
tema pemuridan dari pengajaran yang terkandung dalam pemberitahuan tentang
penderitaan-Nya yang pertama dan kedua.
Cox mengatakan, “. . . the first
prophecy twins the passion of Jesus with the idea that self-denial is a
prerequisite for attainment of faithful discipleship. The second prophecy couples Jesus’ passion
with the concepts of service and humility.
And the final prophecy, similarly, ties servanthood with the passion of
Jesus.”[71]
Hurtado
lebih menjelaskan klimaks ini dalam uraian berikut:
The third passion prediction (10:32-34)–the
longest and most detailed, suggesting, therefore, its climactic placement among
the three passion prediction in Mark–is also immediately followed by a scene of
Jesus teaching on discipleship (10:35-45). And in this scene earlier themes on
discipleship appear again. For it is
Jesus’ cup and Jesus’ baptism that James and John must partake of, probably
referring to Jesus’ own sufferings as the index of their commitment. The references to Jesus’ cup and baptism,
found only in Mark, probably allude to the two widely practiced rites of early
Christians, the Lord’s supper and baptism. If so, the intention may have been to teach
readers to associate these rites with Jesus’ sufferings and therefore to make
participation in the rites references commitment to Christian discipleship. The “whoever” in verses 10:43-44, however,
again seems intended to extend the circle of adressees to include the readers,
with Jesus’ admonition serving to point away from the domineering models
proposed by the disciples to the self sacrificing service exemplified by the
Son of Man. Furthermore, the explicit
congruence between the discipleship and Jesus’ fate demanded in 8:34, after the
first passion prediction, comes to the fore again in 10:43-45 after the final
passion prediction.[72]
Yesus
memanggil murid-murid-Nya untuk berbeda, tidak seperti mereka yang menjalankan
kekuasaan dengan kekerasan (42).
Murid-murid dipanggil untuk menjadi pelayan dan hamba seperti Anak
Manusia (43-45). Jadi Yesus mengajarkan
bahwa memiliki kekuasaan berarti untuk melayani. Yang kuat justru melayani yang lemah. Dan kemudian Yesus mengungkap tujuan
kedatangan-Nya, Ia datang untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya menjadi
tebusan bagi banyak orang.
Kesimpulan
E.
Best[73]
menyimpulkan bagian ini dengan menggambarkan sebuah perjalanan ke Yerusalem dan
Salib, sebuah perjalanan di mana Yesus memimpin murid-murid-Nya. Yesus dan murid-murid-Nya ‘on the way’ menuju Yerusalem (8:27;
9:33; 10:17, 32, 52). Murid-murid
diberitahu untuk memikul salib mereka; mereka berjalan dengan Yesus ke
Yerusalem dan kematian. Jadi Markus
bertujuan untuk menekankan pada pembacanya bahwa pemuridan adalah perjalanan
menuju salib.[74] Namun Best segera menambahkan bahwa salib
bukanlah satu-satunya tujuan yang ditekankan oleh Markus. Yesus pergi ke Yerusalem dan mati tetapi
setelah kematian-Nya, kubur itu kosong; Ia telah pergi jauh dari
Yerusalem. Pemberitahuaan-Nya sendiri
dan orang muda di kuburan itu menyatakan bahwa Yesus telah pergi ke Galilea;
murid-murid mengikuti Dia. Jadi
perjalanan melintasi salib dan Yerusalem menuju Yesus yang bangkit dan Galilea,
adalah tempat (perjalanan) terjadinya misi.
Dalam sepanjang masa orang-orang Kristen hidup dalam dua kenyataan salib
menuju kebangkitan. Ketika mereka
menjalani salib, mereka menderita tetapi terus-menerus diperbaharui karena
mereka juga sedang berjalan menuju kebangkitan Kristus di Galilea. Bagi Markus perjalanan salib menuju
kebangkitan atau Yerusalem ke Galilea adalah sebuah tujuan yang dinamis. Perjalanan di mana murid-murid pergi ke
tempat yang terbuka, sebuah perjalanan misi kepada dunia. Itu adalah perjalanan keluar dan melintas
batas, tetap tekun menjalani natur salib dan kebangkitan, tetapi perjalanan
yang tidak pernah terbatas pada jalur misi.
Dan, ketika misi telah terpenuhi dan Injil telah diberitakan kepada
segala bangsa (13:10) kemudian tibalah akhir dari semua perjalanan itu.
Masih
dalam satu bingkai (8:22-10:52) tersebut, Yesus melanjutkan pengajaran-Nya
tentang pemuridan terlepas dari pola ‘passion
prediction-misunderstanding-corrective teaching’ namun mengandung makna
yang sangat penting. Pengajaran Yesus
tersebut adalah bagaimana pemuridan dalam kaitan dengan perceraian (10:1-12),
anak-anak (10:13-16) dan kekayaan (10:17-31).[75]
KONSEP PEMURIDAN DALAM INJIL
MARKUS DARI PENGGAMBARAN TENTANG MURID-MURID
Pemahaman
terhadap pandangan Markus tentang pemuridan ialah liputannya terhadap
murid-murid Yesus, secara khusus terhadap kedua belas murid itu. Tetapi kedua belas murid, meskipun diberi
status khusus, tampaknya mewakili kelompok murid yang lebih besar juga di dalam
Injil Markus. Dan kegagalan mereka juga
mewakili kegagalan kelompok murid dalam lingkup yang lebih besar. Jadi tidak ada perbedaan antara kedua belas
murid dengan murid-murid dalam lingkup yang lebih besar itu.[76]
Memperhatikan
kedua penggambaran tentang murid-murid, baik yang positif dan negatif, membuat
pembacanya mengerti bahwa Markus memiliki motivasi pastoral.[77] Markus memiliki penghargaan yang tinggi terhadap
murid-murid, ia menggunakan kegagalan mereka untuk mengingatkan
komunitasnya. Ia menekankan kesulitan
murid-murid dalam memahami pesan dan pelayanan Yesus. Harapan murid-murid, sangat jauh berbeda dari
apa yang menjadi harapan Yesus bagi mereka, karena itu mereka sulit memahami
Dia. Markus menggunakan sejarah
murid-murid untuk menunjukkan kepada pembacanya betapa sulitnya untuk mengerti
misteri Yesus dan salib. Bagian-bagian
yang menekankan ketidakmengertian murid-murid mengajarkan kepada jemaat Markus
tentang pentingnya berpikir apa yang dipikirkan Allah dan bukan apa yang
dipikirkan manusia (8:33). Adegan
kebangkitan menetapkan penggenapan Yesus tentang pemberitahuan-Nya (9:9; 14:28)
dan mewajibkan pembaca untuk memperhitungkan rekonsiliasi antara murid-murid
dan Petrus dengan Yesus sejak mereka bertemu Dia di Galilea seperti yang
dikatakan-Nya kepada mereka (16:7). Panggilan
ke Galilea memberikan jaminan kepada Petrus dan murid-murid, meskipun
menyangkal dan meninggalkan Yesus, tidak ditolak oleh Tuhan yang bangkit. Markus menekankan kebodohan murid-murid untuk
mengajarkan kepada pembacanya tentang arti pemuridan yang autentik yaitu “selfless servanthood” (“kehambaan yang tidak mementingkan
diri sendiri”).[78]
Murid-murid
yang diberi hak istimewa untuk menjadi anggota Kerajaan Yesus adalah seorang
hamba, yang memikirkan pikiran Allah (8:31-33), mengejar hidup yang memikul salib
(34-38), melalui pesan (9:1-8) dan teladan Yesus (9:9-32), dan karena itu
menolak status (9:33-37), eksklusivisme (9:38-10:16), dan kekayaan dunia
(10:17-31). Pengajaran tentang pemuridan mengarahkan mereka untuk memikirkan
Jalan Allah, jalan penderitaan dan salib melalui kehambaan.[79]
Pengajaran
dan penggambaran tentang murid-murid membuka wawasan untuk meneliti lebih
lanjut apa yang penulis ingin paparkan pada bab ketiga. Sebuah studi terhadap perintah-perintah Tuhan
Yesus yang berkaitan dengan tema pemuridan.
Langit dan bumi akan berlalu,
tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu (Mrk. 13:31).
BAB III
PERINTAH TUHAN YESUS DAN RESPONS MURID-MURID
DALAM INJIL MARKUS
Setelah menguraikan latar belakang dan konsep pemuridan
kitab Markus menurut beberapa ahli, maka pada bab ini penulis akan mengadakan studi
terhadap perintah-perintah Tuhan Yesus yang terdapat dalam kitab Markus dan
yang berkaitan dengan pemuridan.
Langkah-langkah yang penulis lakukan dalam bab ini adalah
sebagai berikut: Pertama, penulis
menentukan beberapa perintah Yesus yang secara langsung ditujukan kepada
murid-murid-Nya. Kedua, penulis mengelompokkan perintah-perintah tersebut
berdasarkan pembagian struktur pengajaran Yesus terhadap murid-murid-Nya. Selanjutnya,
penulis akan membahas kaitan antara perintah Yesus dengan konteks dan
respons murid-murid Yesus.
Penelitian pada bab ini mengacu pada menyimak perintah
Yesus dalam kerangka berpikir Markus tentang pemuridan dan bagaimana respons
murid-murid dalam konteks yang dikembangkan Markus terhadap perintah tersebut.
perintah tuhan yesus DALAM KITAB
MARKUS
Kitab Markus terdiri dari 16 pasal, 678 ayat. Perkataan Tuhan Yesus dalam Kitab Markus dari
penelitian penulis terdapat 282 ayat, itu berarti 41,46%.[80] Penulis membagi perkataan Tuhan Yesus ke
dalam lima
kategori pendengar, yaitu: orang banyak,
murid, musuh, individu (yang tidak termasuk dalam ketiga kategori sebelumnya),
alam dan Bapa-Nya. Kepada orang banyak
Tuhan Yesus berbicara dalam 29 ayat, murid:160 ayat, musuh: 62 ayat, individu:
26 ayat, alam: dua ayat dan kepada Bapa-Nya: dua ayat.
Penelitian ini akan memusatkan perhatian kepada
perintah-perintah Tuhan Yesus dari 160 ayat yang diucapkan Tuhan Yesus kepada
murid-murid-Nya. Perintah-perintah yang
diucapkan Yesus langsung kepada murid-murid-Nya terdapat dalam 25 perikop
berdasarkan Terjemahan Baru Indonesia.[81] Perikop-perikop tersebut adalah sebagai
berikut: 1:16-20; 1:35-39; 2:13-17; 4:1-33; 4:35-41; 6:6b-13; 6:45-52; 8:14-21;
8:31-9:1; 9:33-37; 9:38-41; 9:42-50; 10:13-16; 10:35-45; 11:1-11; 11:20-26;
12:38-40; 13:3-13; 13:14-23; 13:33-37; 14:12-21; 14:22-25; 14:32-42; 16:9-20.
Penulis akan meneliti perintah-perintah Tuhan Yesus
berdasarkan struktur kitab Markus ditinjau dari sudut pengajaran Tuhan Yesus
terhadap murid-murid-Nya. Delorme
membagi struktur tersebut demikian: Pertama,
panggilan murid-murid (1:16-6:6a); Kedua,
pendidikan murid-murid (6:6b-10:52); Ketiga,
wahyu yang dialami para murid di Yerusalem (11-16).[82]
perintah yesus dalam narasi
pemanggilan murid (1:16-6:6a).
Markus memulai kisahnya dengan menampilkan Yesus memanggil
murid-murid-Nya yang pertama. Perintah
Yesus “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia” (Deute ovpi,sw mou, kai.
Poih,sw u`maj gene,sqai a`lieij avnqrw,pwn –
Mrk. 1:17), terdapat dalam narasi pemanggilan empat murid yang pertama. Kisah ini didahului dengan semacam ringkasan
mengenai karya Yesus di Galilea: Sesudah Yohanes ditangkap, datanglah Yesus ke
Galilea memberitakan Injil Allah, kata-Nya: “Waktunya telah genap; Kerajaan
Allah sudah dekat. Bertobatlah dan
percayalah kepada Injil!”
Narasi yang mengambil setting
di danau Galilea/Tiberias, terkesan amat mendadak. Menurut cerita ini, Yesus muncul dengan
tiba-tiba dan langsung berkata kepada mereka: “Ikutlah Aku!” Kejadian seperti ini sukar dibayangkan dan
kiranya mustahil, entah ditinjau dari sudut psikologi maupun dari sudut
sejarah. Namun cerita mengenai panggilan
itu ditempatkan di awal kisah selanjutnya.
Maka dapat disimpulkan bahwa penempatan itu pasti beralasan. Markus ingin melukiskan Yesus yang senantiasa
bersama-sama dengan murid-murid-Nya.[83]
Narasi ini juga terkesan tidak ada persiapan secara
psikologis dan tidak dijelaskan apakah sebelumnya telah terjadi perkenalan
antara Yesus dengan mereka. Barclay
mengatakan, “Mereka pasti sudah pernah bercakap-cakap dengan-Nya ketika orang
banyak sudah pergi. Mereka pasti sudah
pernah merasakan betapa hebat kehadiran-Nya dan betapa berpengaruh tatapan
mata-Nya.”[84] Jadi, Markus ingin menekankan pada perkataan
Yesus yang berkuasa penuh atas mereka dan mereka mengikut Dia.[85]
Perkataan Yesus yang berkuasa itu dimulai dengan frasa deute opisw mou. Kata deute adalah
sebuah kata keterangan yang berarti ‘sini’ atau ‘mari,’ yang biasanya digunakan
sebagai tambahan dari kata kerja imperative
untuk jamak. Dalam frasa ini, setelah deute
tidak diikuti kata kerja namun diikuti dengan sebuah penunjukkan tempat ovpi,sw mou. Jika deute
diikuti sebuah penunjukkan tempat—dalam hal ini ovpi,sw mou—itu berarti
kalimat tersebut merupakan sebuah imperative[86]
yang diterjemahkan oleh LAI “Mari, Ikutlah Aku!”
Barclay menuliskan dalam bukunya bahwa perkataan Yesus
“Ikutlah Aku!” itu berarti semuanya dimulai dengan reaksi orang per orang
terhadap-Nya; semuanya dimulai dengan sesuatu yang menyentak hati, yang
melahirkan kesetiaan yang tak tergoyahkan.
Mengikut Kristus adalah seperti orang yang jatuh cinta. Sebagaimana dikatakan, “Kita mengagumi orang
dengan alasan; kita mencintai mereka tanpa alasan.”[87]
Menurut Bolkestein, wibawa Mesianis tampak dalam cara Yesus memanggil mereka
untuk mengikut Dia.[88] Yesus tidak memanggil mereka untuk menjadi
pengikut Allah melainkan dipanggil untuk mengikut Yesus.[89] Ucapan Yesus dan pribadi Yesus kena mengena
dengan Allah sendiri. Allah menyambut
mereka secara nyata dalam diri Mesias.
Dengan demikian dapatlah Yesus berkata, Ikutlah Aku! Ia mewakili
Allah. Di dalam Dia Kerajaan Allah
hadir. Sebagai pengemban dan pembawa
Kerajaan itu Yesus mengadakan ikatan antara Diri-Nya dengan
murid-murid-Nya. Hal mengikut itu
bukanlah menuruti saja, melainkan suatu penyerahan dan pengikatan diri dari
manusia seutuhnya kepada Yesus Kristus.
Suatu sikap meninggalkan segala sesuatu yang sebelumnya telah menguasai
hidup manusia. Suatu keterikatan yang
begitu mutlak, yang tidak memberikan kemungkinan lagi untuk berbalik. Mengikuti berarti tunduk pada pimpinan Yesus
sebagai Tuhan. Di dalamnya tersirat
pengertian sebagai pemikul salib, dan sekaligus pewaris Kerajaan (8:34; 10, 21,
28; Mat. 10:37 dst.; Luk. 9:62).
Mengikut berarti juga terbukanya Kerajaan bagi manusia.[90] Jadi manusia dimungkinkan memasuki Kerajaan
hanya karena mengikut. Charles R.
Erdmans mengatakan, “This call involves
sacrifice and separation. We are not to
suppose that these were men of even moderate wealth, yet they were compelled to
abandon whatever they possessed, at least to suspend their usual tasks; and
James and John were asked to leave behind them their father, Zebedee.”[91]
Perkataan Yesus yang berkuasa itu dilanjutkan dengan frasa kai. poih,sw u`maj gene,sqai a`lieij
avnqrw,pwn.
Frasa ini memiliki sebuah kata kerja aktif, orang pertama tunggal poih,sw dengan
modalitas indicative, dan bentuk future. LAI menerjemahkan “. . . dan Aku akan
menjadikan kamu penjala manusia.” Makna
modalitas indicative yang digunakan
dalam perkataan ini yang disandingkan dengan kalimat imperative ingin menegaskan bahwa perintah Yesus merupakan sebuah
keharusan dalam kehidupan mereka. Sebuah
panggilan yang datang dalam kehidupan mereka sehari-hari, dan menuntut respons
yang riil pula dari mereka. Sedangkan
modalitas dalam bentuk future menunjukkan
panggilan ini adalah sebuah proses yang panjang dan perlahan dalam membuat
mereka menjadi pemenang jiwa.[92]
Respons Simon dan Andreas terhadap perintah Yesus adalah
mereka segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia (1:18), dan respons
Yakobus dan Yohanes adalah mereka meninggalkan ayahnya, Zebedeus, di dalam
perahu bersama orang-orang upahannya lalu mengikuti Dia (1:20). Jadi, dari respons mereka tersebut
menunjukkan bahwa perintah Yesus bersifat Mesianik, perintah yang berkuasa dari
Raja di atas segala raja. Perintah yang
bersifat mutlak dan menuntut respons yang segera dan totalitas.
Perintah “Ikutlah Aku!” ( vAkolou,qei moi) kembali
diucapkan Yesus dalam Markus 2:14.
Perkataan ini ditujukan kepada Lewi pemungut cukai. Pemungut cukai tak pernah menjadi bagian
popular dalam masyarakat, sebaliknya mereka dibenci. Namun Yesus justru memanggil orang yang tidak
diinginkan oleh masyarakat dan menawarkan persahabatan kepada orang yang oleh
orang lain ditolak sebagai sahabat.[93]
Pemanggilan yang terjadi tanpa persiapan secara psikologis,
terulang kembali. Perintah yang Yesus
sampaikan kepada empat orang penjala ikan, sebagaimana yang dikisahkan dalam
1:16-20, perintah itu pula yang diterima Lewi.[94]
Kata vakolou,qei[95] yang artinya “Ikutlah Aku” adalah sebuah kata kerja aktif
yang memiliki modalitas imperative
yang ditujukan kepada orang kedua tunggal dan memiliki bentuk present.
Ini adalah sebuah kata yang berarti “berjalan pada jalan yang
sama.” Itu berarti “mengikuti seseorang
yang telah mendahului, mengikuti dia sebagai pelayannya, mengikuti seseorang
sebagai muridnya, berdampingan dalam pestanya.”
Itulah semua yang terkandung dalam perintah Tuhan. Kata tersebut lebih daripada sebuah undangan
atau ajakan. Ini bukan semacam ajakan,
“Maukah kamu mengikuti Aku? Saya
menyampaikan undangan ini kepadamu.” Di
sini yang memberi perintah adalah Raja, yang berdaulat dalam tuntutan-Nya. Lewi menyadari nada imperative dari perkataan Tuhan.
Ini adalah panggilan yang efektif, seperti panggilan keselamatan. Seseorang yang dipanggil, diubah menjadi rela
untuk merespons. Lewi meninggalkan meja
pemungut pajaknya karena kuasa dari sebuah tekanan yang tidak ia pahami. Baginya, berarti kemiskinan, daripada
memiliki kekayaan dan kemewahan yang telah dialaminya. Kata kerja ini adalah present tense, yang mengandung sebuah permulaan dari sebuah
tindakan dan kebiasaan dari tindakan tersebut tetap dilanjutkan terus-menerus. Itu berarti, “Dimulai dari mengikut Aku, dan
dilanjutkan sebagai sebuah kebiasaan hidup yang mengikuti Aku.” Itulah yang terjadi dalam kehidupan Lewi,
yang mulai sekarang ia mau berjalan pada jalan yang sama dengan jalan yang
Yesus lalui, sebuah jalan pengurbanan diri, sebuah jalan pemisahan, sebuah
jalan yang mementingkan orang lain, sebuah jalan penderitaan, sebuah jalan
kekudusan. Namun, perintah tersebut
bukan sekadar ‘Ikutlah Aku’ melainkan ‘Ikutlah dengan Aku.’ Kata ganti tersebut (moi) dalam associative-instrumental case. Seseorang yang diindikasikan dengan kata
ganti adalah instrument yang melengkapi
asosiasi antara dua individu. Tuhan
Yesus kemudian tidak hanya memerintah Lewi untuk menjadi pengikut-Nya melainkan
Ia menyambut Lewi masuk berpartisipasi dalam persahabatan dengan-Nya. Itu adalah berjalan berdampingan pada jalan
yang sama. Dan, persekutuan yang
diberkati ini adalah untuk setiap orang yang percaya kepada Yesus.[96]
Perintah Yesus yang berkuasa itu membuat Lewi bangkit
berdiri, rela meninggalkan kenikmatan dan kemewahan hidupnya dan mengikut
Yesus. Perpisahan dengan masa lampau
menimpanya dengan cara yang sangat radikal, sama seperti keempat murid yang
pertama kali menerima panggilan Yesus.[97] Respons Simon, Andreas, Yakobus, Yohanes dan
Lewi diikuti pula oleh murid-murid yang lainnya seperti yang dikisahkan Markus
dalam 3:13: “Kemudian naiklah Yesus ke atas bukit, Ia memanggil orang-orang
yang dikehendaki-Nya dan mereka pun datang kepada-Nya.”
Setelah Yesus memanggil murid-murid-Nya yang pertama
(1:16-20), Markus mengisahkan Yesus masuk ke dalam rumah ibadat di Kapernaum, Ia
mengajar dan mengusir Roh jahat.
Kemudian Yesus menyembuhkan ibu mertua Simon dan banyak orang yang
menderita bermacam-macam penyakit dan mengusir banyak setan (1:33). Markus menggambarkan betapa pedulinya Yesus
terhadap orang banyak. Namun, keesokan
harinya, pagi-pagi benar, Ia bangun dan pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa
di sana. Murid-murid-Nya menyusul dan menemukan Yesus
di tempat sunyi untuk memberi tahu bahwa orang banyak sedang mencari Dia. Kemudian Yesus berkata kepada mereka:
“Marilah kita pergi ke tempat lain, ke kota-kota yang berdekatan supaya di sana juga Aku memberitakan
Injil, karena untuk itu Aku datang” (1:38).
Yesus tidak memberi respons kepada orang banyak karena ada yang lebih
utama yang harus dikerjakan. Orang banyak
mencari Dia untuk memperoleh tanda-tanda ajaib, sesungguhnya bukan itu yang
menjadi tujuan Yesus melainkan untuk memberitakan Injil di mana-mana. Memberitakan Injil meliputi dua hal yaitu
Yesus mengajar dan bertindak dengan kuasa (penyembuhan-penyembuhan dan
pengusiran roh-roh jahat). Pengajaran
dan kuasa Yesus merupakan kesatuan yang menunjukkan siapakah Yesus itu. Jadi Injil dipahami oleh Markus sebagai suatu
kegiatan yang penuh dinamisme.
Memberitakan Injil berarti menunjukkan melalui Firman pemberitaan bahwa
Allah sedang berkarya di tengah-tengah peristiwa.[98]
Perintah ini mendapat respons segera dari
murid-murid-Nya. Mereka mengikuti Yesus
pergi ke seluruh Galilea dan memberitakan Injil dalam rumah-rumah ibadat mereka
dan mengusir setan-setan. Jadi, seorang
murid tidak boleh disibukkan dengan segala aktivitas yang bukan menjadi tujuan
utama melainkan mereka harus memahami dan terlibat dalam misi kedatangan
Kristus yaitu memberitakan Injil.
Markus melanjutkan kisahnya—untuk menggambarkan apa yang
Yesus lakukan dalam misi-Nya memberitakan Injil—dengan beberapa peristiwa
penyembuhan (sakit kusta: 1:40-45; orang lumpuh: 2:1-12; mati sebelah tangan:
3:1-6; banyak orang dengan berbagai penyakit: 3:7-12), dan Yesus bercakap-cakap
dengan orang-orang lain (2:13-17; 18-22; 23-28; 3:20-35).
Yesus melanjutkan misi pemberitaan Injil-Nya melalui
pengajaran tentang Kerajaan Allah dengan beberapa perumpamaan. Dalam rangkaian perumpamaan pada pasal
4:1-33, Yesus memberikan perintah kepada orang banyak dan murid-murid-Nya ei; tij e;cei w=ta avkouein avkoue,tw (“Barangsiapa mempunyai telinga, hendaklah ia mendengar!”).
Ble,pete ti, avkou,ete) vEn w-|
me,trw| metrei/te metrhwh,setai u`mi/n kai. prosteqh,setai u`mi/n (“Camkanlah apa yang kamu dengar! Ukuran yang kamu pakai
untuk mengukur akan diukurkan kepadamu,” 4:23, 24).
Perkataan ‘Barangsiapa mempunyai telinga, hendaklah ia
mendengar!’ tidak dimulai dengan partikel ean yang menandakan sesuatu yang
bersifat akan datang atau belum terpenuhi.
Perkataan ini dimulai dengan partikel ei; yang menandakan bahwa
kalimat tersebut merupakan sebuah pernyataan conditional yang syaratnya terpenuhi—sesuatu yang sudah pasti
kondisinya.[99] Ei; tij e;cei w=ta avkouein avkoue,tw harus
diartikan bahwa kalimat ini ditujukan bagi mereka yang memang mempunyai telinga
dan karena itu mereka harus menggunakan telinga mereka untuk mendengar.[100]
vAkouein dan avkoue,tw merupakan dua kata kerja yang memiliki bentuk present, sementara avkoue,tw
memiliki modalitas imperative
sehingga perkataan ini menekankan perintah ‘untuk mendengarkan’ harus terus-menerus
menjadi gaya hidup seorang murid.
Kemudian Tuhan Yesus melanjutkan perkataan-Nya, “ble,pete ti, avkou,ete)” Bila sebuah present imperative aktif ble,pete dirangkai
dengan interrogative ti, sebagai
indirect question, akan membuat ble,pete ti, avkou,ete berarti “Perhatikan apa yang kamu dengar!”[101] Jadi, perkataan Tuhan Yesus ini ingin
menekankan pengajaran bahwa bukanlah asal mendengar yang penting, melainkan
bagaimana seseorang mendengar. France
memberi kesimpulan terhadap penekanan ini, “The
whole discourse has been about the difference between effective and ineffective
hearing.”[102]
Markus mengulang kalimat ei; tij e;cei w=ta avkouein avkoue,tw dua kali pada rangkaian
perumpamaan tentang Kerajaan Allah (ay. 9 dan 23) karena ingin menekankan
pentingnya perumpamaan-perumpamaan Yesus ini diperhatikan dengan saksama, dimengerti dan diaplikasikan dalam kehidupan
setiap orang yang ingin menjadi murid-Nya.
Penekanan Markus ini dipertegas dengan sebuah janji “Ukuran yang kamu
pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu, dan di samping itu akan
ditambahkan lagi kepadamu.” Schweizer
dengan lugas mengurai janji ini dengan mengatakan:
The promise that
God’s grace will give him more and more understanding is given to the one who
listen attentively. This how the phrase
“the same rules you use” (Greek: “in the same measures”) is to be
understood. Greater discernment will be
granted to the one who is able to recognize the secret of the Kingdom of God
in Jesus’ parable.[103]
Setelah rangkaian perumpamaan tentang Kerajaan Allah yang
memuat perintah untuk mendengar, kemudian Markus melanjutkan kisahnya dengan
menggambarkan kuasa Yesus melalui peristiwa angin ribut diredakan
(4:35-41). Melihat peristiwa angin ribut
diredakan, murid-murid memberi komentar: “Siapa gerangan orang ini, sehingga
angin dan danau pun taat kepada-Nya?”
Komentar yang seharusnya mengingatkan murid-murid akan perintah
Yesus. Jikalau angin dan danau saja taat
apalagi manusia yang mempunyai telinga seharusnya lebih taat untuk mendengar
apa yang menjadi kehendak Allah.
Markus melanjutkan misi pemberitaan Injil yang Yesus
lakukan dengan mengisahkan pengusiran roh jahat dari orang Gerasa (5:1-20),
penyembuhan anak Yairus dan perempuan yang sakit pendarahan (5:21-43). Kisah demi kisah yang Markus rangkai
(meredakan angin ribut, pengusiran roh jahat, dan penyembuhan) ingin menyatakan
bahwa Yesus adalah Tuhan atas segalanya.
Di akhir bagian narasi pemanggilan murid, Markus kembali
mengisahkan misi pemberitaan Injil Yesus di tempat asal-Nya. Ia mengajar di rumah ibadat, dan jemaat yang
besar menjadi takjub ketika mendengar Dia, lalu mereka berkata: “Dari mana
diperoleh-Nya semua itu?” Masih banyak
komentar lainnya yang menandakan mereka menolak untuk mendengar dan
percaya. Mereka mempunyai telinga tetapi
tidak mau mendengar.
perintah yesus dalam narasi pendidikan
murid (6B-10:52).
Pendidikan bagi murid-murid dalam bagian ini dimulai dari
6:6b-10:52. Perintah Tuhan Yesus
terdapat dalam 10 perikop.[104] Perintah-perintah Yesus dalam perikop-perikop
tersebut menjadi sebuah rangkaian proses Yesus sedang mendidik murid-murid.
Bagian ini dimulai dengan kisah Yesus mengutus kedua belas
rasul (6:6b-13). Ia memanggil kedua
belas murid itu dan mengutus mereka berdua-dua.
Ia memberi kuasa kepada murid-murid-Nya atas roh-roh jahat. Kemudian
Ia memberi dua perintah kepada
mereka. Pertama, “Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan, kecuali tongkat,
roti pun jangan, bekal pun jangan, uang dalam ikat pinggang pun jangan, boleh
memakai alas kaki, tetapi jangan memakai dua baju.” Perintah ini mengenai apa yang boleh mereka
bawa. Sebuah persyaratan yang mutlak
dipenuhi para utusan Yesus. Delorme
mengatakan bahwa utusan Yesus harus menjadi ringan dan membuang segala
beban. Pelepasan segala beban itu
merupakan tindak lanjut yang logis dari keputusan untuk mengikut Yesus dan
mengikrarkan kehidupan bagi Injil.
Seluruh kehidupan harus dipersembahkan kepada Yesus. Unsur inilah yang ditonjolkan Markus: seorang
murid Yesus harus menjadi “ringan” dalam perjalanan dan harus siap menghadapi
keadaan penuh kesukaran dalam menunaikan tugasnya.[105]
Perintah kedua dalam
kisah pengutusan kedua belas murid adalah o]pou evan eivse,lqhte eivj oivkian( evkei/ me,nete
e[wj a;n evxe,lqhte evkei/qen (“Kalau di suatu
tempat kamu sudah diterima dalam suatu rumah, tinggallah di situ sampai kamu
berangkat dari tempat itu”). Kai. o]j a;n to,poj mh. de,xhtai u`ma/j
mhde. Avkou,swsin u`mwn( evkporeuo,menoi evkei/qen evktina,xate to.n cou/n to.n
u`poka,tw tw/n podw/n u`mw/n eivj martu,rion auvtoi/j (“Dan kalau ada
suatu tempat yang tidak mau menerima kamu dan kalau mereka tidak mau
mendengarkan kamu, keluarlah dari situ dan kebaskanlah debu yang di kakimu
sebagai peringatan bagi mereka, 6:10, 11).
Me,nete adalah present imperative aktif
yang ditujukan kepada orang kedua jamak—dalam hal ini murid-murid Yesus. Me,nete[106]
berarti ‘tinggallah’ di suatu rumah yang
menerima dengan tangan yang terbuka sampai keluar dari situ. Imperative
me,nete memberi penekanan pada apa yang harus diperbuat
murid-murid yaitu menetap di rumah orang yang siap menerima mereka dan
Injil. Imperative tersebut juga menimbulkan kesan bahwa dalam melaksanakan
tugasnya, murid-murid Yesus akan menghadapi penolakkan juga.
vEktina,xate adalah aorist imperative aktif yang juga ditujukan kepada murid-murid
Yesus apabila mereka mengalami penolakkan.
vEktina,xate to.n
cou/n berarti ‘kebaskanlah’ debu dari kakimu, ini adalah simbol yang ekstrim,
penghinaan terhadap orang lain, dan penolakkan untuk memiliki pergaulan
dengannya.[107] Kebiasaan ini dijelaskan oleh Schweizer: “The gesture of shaking off the dust was
performed by Jews when they returned to the Holy Land
from a Gentile region and wished to leave everything unclean behind them.”[108] France
menjelaskan, “The rabbis shook the dust
off their feet when leaving Gentile territory, to avoid carrying its defilement
with them.”[109]
Tindakan mengebaskan debu dari kaki bertujuan sebagai
peringatan bagi mereka ‘eivj
martu,rion auvtoij.’ Frasa ini memberi kesan bahwa tindakan
tersebut bertujuan membawa mereka pada perubahan hati.[110] Schweizer menambahkan, “It might be a “sign” (translated here as “warning”) for those who were
not ready to repent, so that they might recognize the seriousness of their
action and perhaps repent even yet, or it may be a sign against them, namely on
the Day of judgement.”[111]
Itu berarti kedua imperative
tersebut (me,nete* evktina,xate% mengajarkan kepada murid-murid bahwa tugas pemberitaan
Injil bukan sesuatu yang ringan, mereka akan menghadapi banyak kesulitan. Teks ini harus dilihat sebagai ungkapan
Markus yang khas. Ia seolah-olah ingin
berkata begini: “Jangan cemas, sebab semuanya itu sudah diketahui sebelumnya!
Yesus sendiri sudah memberitahukan bahwa kamu akan ditolak.”[112] Mereka harus siap menghadapi keadaan diterima
maupun ditolak.
Respons murid-murid menanggapi kedua perintah Yesus dalam
kisah pengutusan ini ialah: “Lalu pergilah mereka memberitakan bahwa orang
harus bertobat, dan mereka mengusir banyak setan, dan mengoles banyak orang
sakit dengan minyak dan menyembuhkan mereka.”
Misi pemberitaan Injil yang Yesus lakukan kini dilakukan oleh
murid-murid Yesus.
Setelah murid-murid pergi menunaikan tugasnya, Markus
mengisahkan tentang pendapat Herodes mengenai Yesus dan kisah pembunuhan
Yohanes Pembaptis. Seolah-olah Markus
ingin berkata para murid telah pergi; mereka sadar bahwa pemberitaan Injil akan
disertai aniaya dan penolakkan; peristiwa dibunuhnya Yohanes Pembaptis menjadi
bukti nyata.[113]
Kemudian rasul-rasul itu kembali berkumpul dengan Yesus dan
memberitahukan kepada-Nya semua yang mereka kerjakan dan ajarkan. Lalu Yesus memberi perintah kepada mereka:
“Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan berisitirahat
seketika!” (6:30, 31). Barclay
menyebutkan perintah beristirahat sebagai irama kehidupan kristiani. Kehidupan kristiani merupakan gerak
berkelanjutan untuk masuk ke hadirat Allah setelah dari hadapan manusia lalu
tampil keluar ke hadapan manusia setelah dari hadirat Allah.[114]
Orang-orang banyak segera berdatangan, Yesus memandang
mereka dengan penuh belas kasihan. Lalu
mulailah Yesus mengajarkan banyak hal kepada mereka (6:34). Ketika hari sudah malam Yesus memberi
perintah kepada murid-murid-Nya: “Kamu harus memberi mereka makan!”
(6:37). Tuhan Yesus sedang mengajarkan
perlunya kepekaan untuk memperhatikan kebutuhan sesama. Yesus telah mengajar orang banyak itu, namun
Ia juga memperhatikan kebutuhan mereka akan makanan—misi yang holistik. Respons murid-murid adalah mereka ingin
menyuruh orang banyak itu pergi mencari makanan sendiri. Murid-murid berpikir, mereka tidak mungkin
memberi orang banyak itu makan karena apa yang ada pada mereka tidak
cukup. Perintah Yesus terkesan tidak
masuk akal bagi mereka. Karena itu,
Yesus ingin mengajar mereka bahwa jikalau seseorang melakukan misi Allah maka
Allah akan berkarya melalui hidupnya.
Yang utama adalah melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya dan
mengandalkan-Nya dalam segala sesuatu.
Murid-murid hanya terpesona saja, mereka tidak memahami kaitan makna
tindakan Yesus memberi makan 5000 orang yang penuh kuasa dengan identitas
pribadi-Nya.
Mujizat memberi makan 5000 orang dilanjutkan dengan kisah
Yesus berjalan di atas air (6:45-52).
Sementara murid-murid-Nya berangkat lebih dulu ke Betsaida, Yesus berdoa
seorang diri di bukit. Yesus melihat
dari kejauhan murid-murid-Nya sedang kepayahan mendayung karena angin
sakal. Yesus menyusul mereka dengan
berjalan di atas air. Mereka mengira
Yesus hantu, karena itu Ia berkata: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” Lalu Yesus naik ke perahu mendapatkan mereka,
dan angin pun redalah. Respons
murid-murid Yesus tampak dari komentar Markus: “Mereka sangat tercengang dan
bingung, sebab sesudah peristiwa roti itu mereka belum mengerti juga, dan hati
mereka tetap degil.” Perintah Yesus “Tenanglah!
Aku ini, jangan takut!” menyatakan Ia berkuasa terhadap alam–Ia menunjukkan
keilahian-Nya–namun murid-murid belum juga mengerti. Mereka tidak menangkap harapan Yesus agar
mereka sendiri mampu mengatasi badai yang mengamuk. Mereka tidak memahami kaitan antara makna
Yesus berjalan di atas air dan meredakan angin sakal yang penuh kuasa dengan
identitas pribadi-Nya.[115]
Markus secara konsisten menggambarkan bahwa misi utama
Yesus adalah memberitakan Injil melalui pengajaran dan pengusiran
setan/penyembuhan. Yesus menyembuhkan
orang-orang di Genesaret (6:53-56); mengusir setan dari anak perempuan Siro
Fenisia (7:24-30); menyembuhkan seorang tuli (7:31-37). Yesus juga mengajar melalui perumpamaan
ketika menentang adat istiadat orang Yahudi (7:1-23), Ia kembali memberi
perintah “Barangsiapa bertelinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!”
Markus kemudian mengungkap perintah Yesus o`rate( ble,pete avpo. tn/j zu,mhj tw/n
farisai,wn kai th/j zu,mhj Hrw,|dou (Berjaga-jagalah dan awaslah terhadap ragi orang Farisi dan
ragi Herodes, 8:15). `Orate adalah
bentuk imperative dari o`ra,w,[116] yang
berfungsi sebagai sebuah perintah atau larangan. `Orate merupakan present
imperative yang memberi perintah
untuk memulai suatu tindakan dan menjadikannya kebiasaan yang terus-menerus
dilakukan.[117]
Ble,pete adalah
bentuk imperative dari ble,pw,[118] yang memiliki fungsi dan jenis imperative yang sama dengan o`rate) Sebuah present imperative
yang berarti “Be constantly keeping a
watchful eye open to consider and take heed of.” Kedua imperative
tersebut (ble,pete dan o`rate% mengacu kepada menolak ‘ragi orang Farisi dan ragi
Herodes. Bagi orang Yahudi, ragi adalah
lambang hal yang jahat. Ragi adalah
potongan adonan yang dipertahankan dari dalam bahan kue yang dibakar dan
difermentasi. Pemuaian sama artinya
dengan pembusukan dan karena itu ragi adalah lambang kejahatan.[119]
Konteks imperative
ini adalah orang Farisi baru saja meminta tanda dari Tuhan Yesus—suatu tanda
dari sorga (8:11, 12) dan Herodes yang begitu ketakutan terhadap kehilangan
kekuasaan, kemakmuran, pengaruh dan prestise karena tersaingi oleh popularitas
Yesus. Bagi orang Farisi dan Herodes,
konsep Kerajaan Allah adalah kerajaan duniawi yang dibangun atas kemenangan-kemenangan
yang diraih dengan kekuatan berdasarkan kuasa dan kebesaran dunia. Mereka berpikir tentang Mesias dalam
kerangka: hal-hal ajaib, penaklukan, peristiwa-peristiwa mukjizat, kemenangan
nasionalistik, dan supremasi politis.
Karena itu, Yesus ingin mempersiapkan para murid untuk memiliki
pandangan yang benar tentang Kerajaan Allah dan Mesias—bukan seperti pandangan
orang Farisi dan Herodes. Dalam konteks
demikian, perkataan Yesus tertuju kepada murid-murid-Nya: “Orate( ble,pete avpo. tn/j zu,mhj tw/n
farisai,wn kai th/j zu,mhj Hrw,|dou)” Sebuah perintah
dengan larangan yang harus terus-menerus menjadi perhatian para murid, untuk
menyingkirkan ragi orang Farisi dan Herodes dari pikiran dan cara hidup mereka.[120]
Markus kemudian mengisahkan bagaimana Petrus dihardik oleh
Yesus: [Upage ovpi,sw
mou( Satana/( o[ti ouv fronei/j ta. tou/ qeou/ avlla. tw/n avnqrw,pwn (“Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang
dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia”). Sampai tahap ini murid-murid belum mengerti
siapa Yesus yang sesungguhnya, padahal Petrus baru saja mengakui Yesus adalah
Mesias.
Present imperative aktif “Upage
ovpisw mou( Satana” yang
ditujukan kepada Petrus juga merupakan peringatan keras untuk menyingkirkan
pemahaman yang salah tentang Mesias dari pola pikir Petrus dan murid-murid
lainnya. Bentuk present menunjukkan betapa pola pikir seperti itu tidak boleh
melintas di pikiran mereka sampai kapan pun karena pola pikir tersebut bukanlah
berasal dari Allah melainkan dari manusia.
Kemudian Markus menyatakan perintah Yesus dalam pasal 8:34
“Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul
salibnya dan mengikut Aku” (Ei; tij qe,lei ovpi,sw mou avkolouqei/n(
avparnhsa,sqw e`auto.n kai. avra,tw to.n stauro.n auvtou/ kai. avkolouqei,tw
moi)) Perkataan Yesus ini merupakan sebuah pengajaran menanggapi
reaksi Petrus terhadap pemberitahuan pertama tentang kematian-Nya. Perkataan ini bernada sangat keras bagaikan
pukulan yang dijatuhkan di atas kepala pembaca.
Ada tiga
kata kerja yang bernada imperative
merangkai kalimat ini. Ketiga kata kerja
tersebut bertujuan mengungkap pengajaran Yesus tentang arti menjadi murid yang
sejati.
Kata kerja avparnhsa,sqw (menyangkal diri)
dan avra,tw (memikul), keduanya memakai modalitas imperative dengan bentuk aorist
yang menyatakan sebuah tindakan yang terjadi sekali untuk selamanya. Kata kerja tersebut diikuti dengan bentuk present ‘mengikut Aku’ yang menunjukkan
sebuah proses yang berlangsung secara terus-menerus.[121]
Penjelasan tentang pengulangan “Orang yang mau mengikut Aku
. . . harus mengikut Aku.” Antara pangkal dan ujung kalimat ini
diberi penjelasan terperinci: sebelum seseorang memutuskan untuk menjadi murid
Kristus, ia harus menyadari bahwa ia harus meniru dan membuktikan bahwa ia mampu untuk ‘menyangkal
diri’ dan ‘memikul salib.’[122] Pemahaman ini dijelaskan Zerwick dengan
menyebutkan aturan gramatika bahwa jika sebuah imperative (avkolouqei,tw) dihubungkan dengan kata sambung ‘dan’ kepada imperative sebelumnya (avra,tw dan avparnhsa,sqw), maka anak kalimat terakhir mengandung konsekuensi dari
tindakan-tindakan sebelumnya.[123] Jadi bila seseorang ingin mengambil keputusan
untuk menjadi murid Kristus, ada dua hal yang perlu diperhatikannya yaitu: yang
batiniah (menyangkal diri) dan lahiriah (memikul salib sendiri).
Markus menggunakan
kata kerja avparnhsa,sqw
(menyangkal diri) dan avra,tw (memikul),
keduanya memakai bentuk aorist yang
menyatakan sebuah tindakan sekali untuk selamanya, dan kata-kata kerja tersebut
diikuti dengan present tense avkolouqei,tw (mengikut Aku) yang menunjukkan sebuah proses yang
berlangsung secara terus-menerus. vAparnhsa,sqw dan avra,tw
memakai modalitas imperative, sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa perkataan Yesus
ini menyatakan sebuah perintah bagi seseorang yang ingin menjadi murid Kristus,
tindakan menyangkal diri dan memikul salib bukanlah tindakan sekali seumur
hidup melainkan tindakan yang terus-menerus harus teraplikasi dalam perjalanan
hidupnya. Kesimpulan ini senada dengan
Wuest:
The first two
imperative are aorist giving a summary command to obeyed at once. The “coming after” and the “taking up” are to
obeyed at once and are to be a once-for-all act. That is, these acts are to be looked upon as a
permanent attitude and practice of life. The whole life is to be characterized by an
habitual coming after and taking up of the cross. After having once for all given over the life
to the Lord, the believer must hence-forward count it ever so given over. He is the Lord’s property. The word “follow” however, is in the Present
imperative, which commands the doing of an action and its habitual, moment by
moment continuance. The first two
imperative give direction to the life. The last speaks of the actual living of that
which has been given direction by two once-for all acts.[124]
Narasi Markus dalam perjalanan ke Yerusalem memperlihatkan
adanya perbedaan antara apa yang diharapkan para murid dari tindakan mengikut
Yesus dengan apa yang diharapkan Yesus dari para murid. Rhoads dan Michie menjelaskan harapan
murid-murid Yesus:
Para murid berharap bahwa bila Mesias datang Allah akan
mendudukkan-Nya sebagai raja di Israel
dalam kuasa dan kemuliaan. Para murid berpendapat bahwa jika Yesus adalah Mesias,
mereka akan mendapat keuntungan karena bergabung bersama Dia. Para murid
mengharapkan bahwa dengan mengikut Yesus mereka akan menyelamatkan hidup
mereka. Dengan meninggalkan segala
sesuatu demi pemerintahan Allah dan sekarang dengan menjadi anggota kelompok
dua belas pilihan Yesus, mereka berharap bahwa ketika Yesus menegakkan
pemerintahan Allah di Israel mereka akan mendapatkan kemakmuran (memperoleh
seluruh dunia), posisi yang penting sebagai yang berkuasa. Apa yang dahulu telah mereka alami tentang
Yesus dalam cerita selama ini lebih memperkuat harapan-harapan tersebut:
penyembuhan-penyembuhan, tindakan pengusiran setan, tindakan-tindakan penuh
kuasa atas alam dan banyaknya orang yang mengagumi Yesus. Dan kepada mereka dikatakan bahwa mereka akan
menjadi penjala manusia.[125]
Dalam Markus 9:39, Yesus memberi perintah kepada
murid-murid-Nya: Mh. kwlu,ete
auvto,n) Ouvdei.j ga,r evtin o]j poih,sei du,naming evpi. tw/| ovno,mati, mou
kai. duvn,setai tacu. kakologh/sai, me (“Jangan
kamu cegah dia! Sebab tidak seorang pun yang telah mengadakan mujizat demi
nama-Ku dapat seketika itu juga mengumpat Aku”).
Kwlu,ete adalah present imperative aktif yang ditujukan kepada orang kedua jamak
(murid-murid). Pola mh. + present imperative menyatakan bahwa
pembicara melarang sebuah tindakan sampai selama-lamanya.[126] Mh. kwlu,ete auvto,n “Jangan kamu
cegah dia!” berarti murid-murid dilarang untuk mencegah orang-orang yang
mengadakan mujizat demi nama Kristus walaupun mereka bukan termasuk kelompok
kedua belas.[127] Yesus mengajarkan mereka untuk memiliki hati
yang selalu terbuka menerima orang-orang lain pula. Cox memberi catatan tentang bagian ini
demikian:
The pericope
wherein Jesus addresses John’s exclusivist concerns about an outsider
exorcising in Christ’s name (9:38-41), portrays Jesus appealing to John and to
all his follower to be open and tolerant of all people who call on his name (9:40). In this context it means regardless of
whether they belong to the group of the ‘The Twelve or not.[128]
Sangat menarik untuk menyimak kesimpulan Delorme mengenai
Markus 9:38-40, ia menjelaskan demikian:
Arti ketiga ayat ini menjadi lebih jelas, bila
menghubungkannya dengan ayat 35.[129] Yesus minta, supaya kedua belas murid menjadi
pelayan-pelayan. Yohanes dan rasul-rasul
lain, sebaliknya, berlagak ibarat penguasa: mereka ingin berkuasa dan tidak mau
berbagi kekuasaannya dengan orang lain.
Mereka hendak memonopoli kuasa Kristus.
Orang-orang Kristen sebagai kelompok memang selalu tergoda untuk
menguasai, padahal hukum yang diberikan Kristus sebagai dasar eksistensi
kelompok murid-murid-Nya ialah hukum melayani.[130]
Jadi, larangan Yesus dalam imperative mh.
kwlu,ete auvto,n menyadarkan dan menyentak
murid-murid untuk membuang karakter yang ingin berkuasa dan menggantikannya
dengan hati yang terbuka dan toleran terhadap orang lain.
Dalam Markus 9:43, 45, 47, 50 Yesus menggunakan beberapa imperative dalam bagian ini yaitu avpo,koyon (Penggallah!); e;kbale (Cungkillah) mengajarkan
pentingnya murid Kristus untuk menahan diri dari dosa dan dari tindakan yang
menyebabkan orang lain berbuat dosa. Imperative ini juga menegaskan bahwa
seorang murid harus setia mempertahankan hidup yang murni, jauh dari
keserakahan dan kenajisan, sebaliknya hidup dalam kesederhanaan dan ketulusan.[131] Bentuk aorist
dalam imperative ini menuntut
keputusan segera dari murid-murid untuk meninggalkan segala kejahatan dan
keserakahan dunia ini.
Yesus menutup bagian pengajaran-Nya dalam Markus 9:38-50
(tentang tema kehambaan dengan mengaplikasikan nilai-nilai pemuridan dalam
kehidupan sehari-hari)[132]
dengan imperative “e;cete evn e`autoi/j a[la kai. eivrhneu,ete
evn avllh,loij” (Hendaklah kamu selalu
mempunyai garam dalam dirimu dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang
lain). Dua imperative (e;cete
dan eivrhneu,ete) yang
Yesus gunakan ini bernada positif sebagai perintah yang seharusnya dilakukan
terus-menerus oleh murid-murid berlawanan dengan sikap hidup dunia ini (yang
ditentang Yesus dalam imperative pada
paragraf yang di atas). Murid-murid
harus menjadi garam yang mempunyai pengaruh positif pada sesama (bukan hidup
dalam dosa dan menyebabkan orang lain berbuat dosa) dan mereka harus membawa
damai bagi kehidupan antar sesama.
Kemudian Markus melanjutkan kisahnya dengan menggambarkan
Yesus yang setia mengerjakan misi-Nya.
Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah sungai Yordan (10:1). Yesus dan murid-murid-Nya telah meninggalkan
kawasan orang-orang kafir di Galilea dan kini mereka berada di wilayah
orang-orang Yahudi di Yudea, sudah mendekati kota Yerusalem. Markus menceritakan Yesus sedang berhadapan
dengan orang-orang Yahudi yang ingin mencobai-Nya. Pada bagian ini, Yesus mengajarkan bagaimana
pemuridan berkaitan dengan: perceraian (10:2-12), anak-anak (10:13-16) dan
kekayaan (10:17-31).
Pengajaran Yesus tentang pemuridan yang berkaitan dengan
anak-anak (10:13-16) terdapat perintah Yesus kepada murid-murid-Nya: a;fete ta. paidi,a e;rcesqai pro,j me(
mh. kwlu,ete auvta( tw/n ga.r toiou,twn evstin h` basilei,a tou/ qeou/ (Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan
menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang seperti itulah yang empunya
Kerajaan Allah) (10:14).
Pola mh.
+ present
imperatif kembali muncul dalam perkataan Tuhan Yesus ini. Kwlu,ete berasal dari kata kwluw “to forbid, hinder, prevent.” Mh. kwlu,ete merupakan imperative
of prohibition, “Stop, jangan menghalang-halangi.”[133] Murid-murid Yesus baru saja menghardik
anak-anak, kemudian Yesus mengatakan imperative
ini dengan marah. Bentuk present menyatakan bahwa Yesus melarang
mereka melanjutkan tindakan menghalang-halangi anak-anak tersebut. Menurut Delorme,[134]
Markus menanggapi persoalan ini dari sudut menyambut Kerajaan Allah sebagaimana
seorang anak kecil tahu menyambutnya.
Sebab Kerajaan Allah adalah suatu pemberian dan orang harus dapat
menerimanya sebagai suatu hadiah dari Allah.
Anak tidak pernah bersikap seolah-olah hadiah yang telah diterimanya,
direbutnya dengan paksa. Sebab ia tahu
bahwa ia bergantung pada orang lain.
Karena itu, tidak ada seorang pun dapat merebut Kerajaan Allah dengan
paksa, dengan kekuatan sendiri. Itulah
sebabnya, murid-murid tidak boleh menghalang-halangi anak-anak itu, namun
sebaliknya murid-murid harus menerima mereka dan belajar sikap dari anak-anak
tersebut. Murid-murid harus menyadari
bahwa Yesus tidak pernah mengharapkan mereka menjadi orang-orang yang mencari
kebesaran dan kekuasaan, melainkan mereka harus mengejar yang utama yaitu
membesarkan Kristus dan Kerajaan-Nya melalui pemberitaan Injil.
Kemudian Markus melanjutkan narasinya mengenai pemuridan
yang berkaitan dengan kekayaan dalam narasi orang kaya yang datang kepada Yesus
(10:17-27). Pada bagian ini terdapat
perintah: “Juallah apa yang kau miliki . . . kemudian datanglah kemari dan
ikutlah Aku.” Melalui perintah ini,
Yesus ingin mengajarkan bahwa pemuridan harus menjadi prioritas yang terbesar
dalam hidup seorang murid bukan kekayaan materi. Pemuridan artinya melepaskan segala kebanggaan,
kekayaan dan kesenangan masa lalu untuk mengikut Yesus.
perintah yesus dalam narasi wahyu yang dialami para murid di yerusalem (11-16).
Kini Markus membawa pembaca untuk menyimak apa yang terjadi
selama Yesus berada di Yerusalem. Markus
membuka alur cerita ini dengan peristiwa Yesus menunggangi keledai memasuki
Yerusalem. Banyak orang yang menghamparkan
pakaiannya di jalan, ada pula yang menyebarkan ranting-ranting hijau yang mereka
ambil dari ladang. Orang-orang berjalan
di depan dan mereka yang mengikuti dari belakang berseru: “Hosana! Diberkatilah
Dia yang datang dalam nama Tuhan, diberkatilah Kerajaan yang datang, Kerajaan
bapak kita Daud, hosana di tempat yang maha tinggi!”
Melalui peristiwa awal memasuki Yerusalem ini, Yesus ingin
menyatakan bahwa Ia adalah Mesias.
Kemesiasan Yesus tampak ketika Ia memerintahkan dua murid-Nya untuk
pergi ke kampung dan menemukan keledai muda yang tertambat. Perintah Yesus sangat tepat seperti yang
dialami oleh kedua murid yang diperintah-Nya.
Perintah Mesianik yang diresponi kedua murid dengan ketaatan penuh ini,
menyatakan Ia adalah Tuhan yang Mahatahu.
Dan sekaligus mengindikasikan bahwa peristiwa ini masuk dalam agenda
yang telah dirancang Yesus.
Peristiwa Yesus dielu-elukan di Yerusalem merupakan suatu
tindakan demonstratif, seolah-olah Yesus ingin menyatakan kepada orang banyak
bahwa jikalau mereka yang mempunyai telinga tetapi tidak mau mendengar, baiklah
mereka melihat sekarang.[135]
Tindakan demonstratif ini Yesus lakukan
untuk menunjukkan bahwa Ia adalah Mesias.
Namun Ia datang menunggangi keledai. Di Palestina, seorang raja yang mengendarai
kuda melambangkan ia datang dengan maksud perang, bila mengendarai keledai ia
datang dengan maksud damai.[136] Yesus datang menyatakan Diri-Nya sebagai Raja
yang lemah lembut dan rendah hati. Ia
datang dalam damai dan demi kedamaian.[137]
Perintah Yesus kepada murid-murid-Nya kembali terdengar
setelah Yesus mengutuk pohon ara. Kisah
Yesus mengutuk pohon ara pada 11:12-14 dan 11:20-26 membingkai kisah tentang
Yesus menyucikan Bait Allah. Perintah
Yesus kepada murid-murid-Nya menjadi makna dari peristiwa pengutukan pohon ara
tersebut. Perintah Yesus: “Percayalah
kepada Allah! Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa berkata kepada
gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! Asal tidak bimbang
hatinya, tetapi percaya, bahwa apa yang dikatakannya itu akan terjadi, maka hal
itu akan terjadi baginya. Karena itu Aku
berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu
telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu. Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah
dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya
juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu.”
Pengutukan pohon ara mengajarkan bahwa Firman Kristus itu
berkuasa dan membawa hasil. Karena itu
Yesus memerintahkan mereka untuk percaya kepada Allah. Ia menanggapi iman dan doa mereka yang
berseru kepada-Nya. Ia juga mengajarkan
murid-murid untuk meresapi semangat pengampunan terhadap sesama sebagai bukti
iman kepada Allah.
Rangkaian kisah berikutnya, Markus mengisahkan perlawanan
yang dihadapi Yesus dari musuh-musuh-Nya.
Ahli-ahli Taurat dan tua-tua mempertanyakan sumber kuasa Yesus
(11:27-33). Beberapa orang Farisi dan
Herodian berusaha menjerat Yesus dengan pertanyaan tentang kewajiban membayar
pajak kepada Kaisar (12:13-17). Orang
Saduki menjebak dengan pertanyaan tentang kebangkitan (12:18-27). Seorang ahli Taurat mempertanyakan tentang
hukum mana yang paling utama (12:28-34).
Menanggapi musuh-musuh-Nya, kemudian Yesus memberi pengajaran tentang
hubungan antara Diri-Nya dan Daud. Dalam
pengajaran-Nya, Ia memberi perintah: “Hati-hatilah terhadap ahli-ahli Taurat
yang suka berjalan-jalan memakai jubah panjang dan suka menerima penghormatan
di pasar, yang suka duduk di tempat terdepan di rumah ibadat dan di tempat
terhormat dalam perjamuan, yang menelan rumah janda-janda, sedang mereka
mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Mereka ini pasti akan menerima hukuman yang
lebih berat.” Kemudian Markus
melanjutkan kisahnya dengan persembahan janda miskin (12:41-44). Kisah janda miskin ini juga merupakan tanggapan
terhadap kemunafikan musuh-musuh Yesus—yang memberi persembahan hanya untuk
dilihat dan dipuji orang—dan terhadap ketamakan mereka yang dikontraskan dengan
pengurbanan seorang janda miskin tersebut.[138]
Perintah Yesus untuk berhati-hati terhadap ahli-ahli Taurat
merupakan serangan atas praktik kehidupan ahli-ahli Taurat. Kesungguhan dan kerajinan mereka dalam
menuntut kesalehan adalah kemunafikan semata-mata.[139] Yesus memperingatkan murid-murid-Nya untuk
menjauhi praktik kehidupan ahli-ahli Taurat tersebut. Murid-murid harus menjalani hidup dalam
kesalehan yang murni.
Pada pasal 13, imperative
dalam perkataan Yesus yang sering muncul adalah “Hati-hatilah! (ble,pete)
dan Berjaga-jagalah!” (agrupteneite
atau gregoreite). Ble,pete terdapat pada 13:5, 23
dalam konteks Yesus memperingatkan murid-murid untuk hati-hati terhadap
penyesatan,[140]
karena akan datang banyak orang yang memakai nama Yesus dan mengaku bahwa
mereka adalah Mesias yang menjanjikan hal-hal yang muluk-muluk dan yang
membangkitkan pengharapan yang bukan-bukan.
Peringatan ini diulang kembali dalam 13:21 dengan mengunakan imperative yang berbeda.[141]
Ble,pete terdapat
juga pada 13:9 dalam konteks Yesus mempersiapkan murid-murid menghadapi
penganiayaan dan penderitaan yang akan mereka alami karena memberitakan Injil.[142] Mereka harus menyadari bahwa pemberitaan
Injil di seluruh dunia, tidak mungkin terlepas dari perlawanan, konflik dan
aniaya.[143]
Ble,pete (Hati-hatilah!)
dan avgrupteneite (Berjaga-jagalah)( terdapat pada 13:33 dan gregorei/te (Berjaga-jagalah!) pada 13:35 dan 37 dalam konteks Yesus
memperingatkan murid-murid untuk siap sedia menghadapi kedatangan Anak Manusia
yang sama pastinya seperti datangnya musim panas yang diisyaratkan dengan
melembutnya dan bertunasnya ranting-ranting pohon ara (13:28). Tetapi hari dan saatnya kejadian itu adalah
rahasia yang diketahui Allah Bapa saja.[144] Present
imperative ini menuntut murid-murid untuk bertanggung jawab menjalani
kehidupan ini sampai kedatangan Anak Manusia yang kedua kali.
Pasal 14-16, merupakan puncak dari kisah Markus. Dalam perjamuan terakhir (14:22-25), Yesus
memberi perintah: “Ambillah, inilah tubuh-Ku. . . . Inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang
ditumpahkan bagi banyak orang.” Dalam
bahasa Aram,
kata tubuh menunjukkan tubuh manusia, dalam arti: “Inilah Aku (yang memberikan
Diri-Ku).” Dengan menyebut darah,
ditegaskan gagasan mengenai pengurbanan dalam arti: “Aku mengurbankan hidup-Ku
sebagai persembahan.” Dalam dunia yang
bermentalitas Yunani, ungkapan sedemikian menyatakan pengurbanan yang
menyeluruh (Latin: immolation), sebab
darah dinyatakan sebagai unsur yang terpisah dari tubuh.[145] Kematian Yesus ditujukan bagi banyak orang
dan melalui kematian-Nya perjanjian antara Allah dan umat manusia dimeteraikan
untuk selama-lamanya. Perintah ini
mengingatkan murid-murid terhadap Mesias yang harus menderita. Mesias yang harus mengurbankan diri untuk
menggenapkan rencana Allah bagi penebusan banyak orang. Kini, Yesus menyatakan dengan jelas siapa Dia
sesungguhnya. Ia menyatakan Diri-Nya
adalah Kristus, Anak Allah di hadapan Mahkamah Agama (14:60-62). Dan melalui pernyataan seorang kafir,
prajurit Romawi, Markus membuka rahasia siapa Yesus. Sambil menyaksikan Yesus disalib, prajurit
Romawi itu berkata: “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah” (15:39).[146]
Di taman Getsemani, Yesus memerintahkan murid-murid-Nya
demikian: “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam
pencobaan; roh memang penurut, tetapi daging lemah.” Tiga kali Yesus memberikan perintah
“Berjaga-jaga dan berdoalah” namun respons murid-murid-Nya adalah mereka
tertidur. Mereka tidak memahami apa yang
akan terjadi ke depan. Murid-murid tidak
mendengar, mereka tidak mengerti padahal Yesus sudah memberitahukan tentang
kematian-Nya tiga kali kepada mereka.
Akhirnya, murid-murid gagal menghadapi ujian iman. Mereka meninggalkan Yesus seorang diri. Yudas menjual Yesus, sementara Petrus
menyangkal Dia.
Markus menggambarkan penangkapan sampai kematian Yesus yang
ditanggung-Nya dengan kekuatan Allah, sementara murid-murid-Nya gagal, lemah
dan jatuh ke dalam pencobaan. Namun
setelah Yesus bangkit, Ia berpesan kepada murid-murid-Nya dan Petrus bahwa Ia
mendahului mereka ke Galilea, di sana
mereka akan bertemu. Sebuah rekonsiliasi
terjadi antara Yesus dan murid-murid-Nya.
Rekonsiliasi yang diprakarsai oleh Yesus sendiri. Yesus mengasihi mereka dan kini
murid-murid-Nya mengenal Yesus—Anak Allah.
Inilah titik balik dalam hidup mereka.
Mereka siap melanjutkan misi Kristus bagi dunia ini.
Perintah yang terakhir yang Yesus berikan terdapat dalam Markus
16:15 Poreuqe,ntej eivj to.n ko,smon
a]panta khru,xate to. Euvagge,lion pa,sh/| th/| kti,sei (“Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada
segala makhluk . . . ”). Amanat
ini diberikan setelah kebangkitan Kristus. Itu berarti bahwa tanpa kebangkitan Kristus
murid-murid tidak dapat melanjutkan pemberitaan Injil. Amanat Agung ini diberikan kepada mereka
karena Yesus telah mempersiapkan dan mendidik mereka untuk memberitakannya.[147]
Khru,xate[148]
adalah aorist imperative aktif
menyatakan bahwa misi pemberitaan Injil mengacu pada suatu jangka waktu
tertentu. Kini murid-murid telah siap
diutus, mereka harus menyatakan Injil yang berotoritas mengubahkan
manusia. Makna penting dari Amanat Agung
ini ialah bahwa Injil adalah bagi semua bangsa, murid-murid diutus ke seluruh
dunia dan Injil harus diwartakan ke seluruh makhluk.[149] Ruang lingkup pengutusan bersifat
universal. Murid-murid diutus kepada
bangsa, suku dan kaum dan bahasa.[150]
Pemberitaan
Injil mengandung konsekuensi: “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan
tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum” (16:16). Pemberitaan Injil bukanlah misi yang mudah
melainkan sarat dengan penderitaan dan kesusahan. Murid-murid Yesus telah mengalami beratnya
penderitaan dan kesusahan itu. Kisah
Para Rasul mencatat penganiayaan yang dialami oleh rasul-rasul dan jemaat
mula-mula. Dalam pemberitaan Injil
selalu saja ada dua respons yaitu mereka menerima atau menolak.[151]
Tuhan
Yesus memberi jaminan penyertaan-Nya bagi mereka yang mengerjakan misi
Kristus. Ada tanda-tanda yang menyertai:
Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya:
mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam
bahasa-bahasa yang baru bagi mereka, mereka akan memegang ular, dan sekalipun
mereka minum racun maut, mereka tidak akan mendapat celaka; mereka akan
meletakkan tangannya atas orang sakit dan orang itu akan sembuh (Mrk. 16:17-18).
Murid-murid membutuhkan otoritas dan kuasa Allah untuk
mengerjakan misi Kristus karena pemberitaan Injil bukanlah melawan darah dan
daging melainkan melawan pemerintah-pemerintah, penguasa-penguasa, melawan
penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.[152] Tuhan Yesus memberikan tanda-tanda yang akan
menyertai murid-murid yang memberitakan Injil.
Tanda-tanda ini menyatakan kejayaan Injil bahwa Tuhan akan menyertai,
melindungi dan menguatkan murid-murid yang memberitakan Injil dari kuasa setan,
alam dan manusia.[153] Murid-murid tidak pernah ditinggalkan
sendirian melakukan misi-Nya. Kristus
selalu bekerja dengan, di dalam, dan melalui mereka.[154]
Rangkuman
Pada bagian narasi pemanggilan murid (1:16-6:6a) terdapat
dua perintah untuk mengikut Yesus (1:16 dan 2:14) yang mendapat respons
ketaatan dari para murid. Terdapat pula
dua perintah pergi ke tempat yang lain untuk memberitakan Injil (1:38 dan
4:35). Selain itu, ada perintah untuk
mendengar apa yang Yesus ajarkan (4:23).
Jadi perintah-perintah Yesus pada proses pemanggilan murid menekankan
kesiapan untuk mengikut Yesus, kesiapan untuk terlibat dalam misi Kristus—memberitakan
Injil dan ketaatan untuk mendengar apa yang Yesus ajarkan.
Pada bagian narasi pendidikan murid (6:6b-10:52) terdapat
perintah untuk pergi memberitakan Injil dengan berserah kepada Tuhan atas
kebutuhan hidup dan konsekuensi mengerjakan misi itu (6:8-10). Terdapat juga perintah yang berkaitan dengan
perlunya memiliki kesegaran fisik dan rohani di dalam mengerjakan misi
pemberitaan Injil (6:31). Yesus memberi
perintah kepada murid-murid untuk memiliki kepekaan terhadap kebutuhan fisik
orang-orang yang dilayani dan untuk memahami siapa Yesus dari apa yang
didemonstrasikan-Nya (6:37-38, 50).
Yesus juga memerintahkan kepada mereka untuk mengenal Dia sebagai Mesias
yang harus menderita (8:15, 33) dan murid-murid juga harus siap mengambil bagian
dalam penderitaan Kristus. Yesus
memerintahkan mereka untuk siap menyangkal diri dan memikul salib (8:34),
menjadi yang terakhir, pelayan dan hamba dari semuanya (9:35, 39, 10:43, 44),
dan menjadi berkat bagi sesama (9:43, 44, 47, 49, 50).
Pada bagian narasi wahyu yang dialami murid-murid di
Yerusalem (11-16), Yesus memerintahkan murid-murid untuk memiliki iman yang
teguh kepada Tuhan dan menunjukkan iman itu di dalam relasi terhadap sesama
(11:2, 22, 24, 25; 14:13-15), dan menjalani hidup dalam kesalehan yang murni
(12:38). Iman yang teguh membuat
murid-murid tidak tergoyahkan oleh penyesatan (13:5, 21), tidak gentar
menghadapi penderitaan dalam mengerjakan misi Kristus (13:9, 11), dan menjalani
hidup dengan bertanggung jawab sambil menantikan kedatangan Kristus yang kedua
kali (13:33, 35, 37). Perintah-perintah
Yesus selanjutnya mulai mengarahkan murid-murid menghadapi kematian-Nya
walaupun mereka belum juga memahami apa yang akan terjadi (14:22, 32, 38, 41). Pada akhirnya murid-murid memahami bahwa
Yesus adalah Mesias yang harus menderita dan Tuhan yang berkuasa dan yang
bangkit. Saat itulah Yesus memberi
perintah kepada mereka untuk mengerjakan misi pemberitaan Injil—yang sarat
dengan penderitaan dan kesusahan—ke seluruh dunia dan kepada segala makhluk
dengan tanda-tanda dari Tuhan yang menyertai (16:15-18).
Rangkaian
perintah-perintah Yesus yang penulis uraikan pada bab ini, menjadi acuan untuk
mengungkap teologi pemuridan dari Injil Markus.
BAB IV
TEOLOGI PEMURIDAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PROSES PEMURIDAN MASA KINI
Pada bab ini penulis akan merumuskan teologi pemuridan
berdasarkan studi terhadap perintah-perintah Tuhan Yesus kepada
murid-murid-Nya. Kemudian penulis akan
membahas implikasi dari teologi tersebut terhadap proses pemuridan masa kini.
TEOLOGI PEMURIDAN DALAM INJIL MARKUS
Perintah “Ikutlah Aku!” ditujukan Tuhan Yesus kepada
murid-murid disertai dengan tujuan Yesus memanggil mereka yaitu menjadi penjala manusia. Setelah panggilan dan respons murid-murid
yang taat, dilanjutkan dengan dua perintah (1:38 dan 4:35) untuk pergi ke
berbagai tempat untuk memberitakan Injil.
Markus ingin menunjukkan bahwa Yesus segera melibatkan murid-murid-Nya
di dalam misi pemberitaan Injil, dan itulah yang paling utama di dalam hidup
Kristus dan murid-murid-Nya. Misi
Kristus memberitakan Injil terimplementasi dalam dua hal yaitu: mengajarkan
kebenaran dan bertindak dengan kuasa (menyembuhkan/mengusir setan). Murid-murid mengikuti Yesus pergi ke seluruh
Galilea. Mereka melihat Yesus mengajar
dan bertindak dengan penuh kuasa. Markus
ingin menyatakan bahwa pemuridan adalah
panggilan untuk mengikut Yesus di dalam misi-Nya dan mengalami serta memberitakan karya Yesus
yang berkuasa kepada dunia ini.
Perintah “Barangsiapa mempunyai telinga untuk mendengar
hendaklah ia mendengar” (4:23) diungkapkan Yesus ketika Ia mengajarkan tentang
Kerajaan Allah. Perintah ini ditempatkan
Markus dalam bingkai pemanggilan murid-murid.
Mereka telah terlibat dalam misi Kristus, karena itu perintah ini bertujuan
agar murid-murid menaruh perhatian untuk memahami dan menaati apa yang Yesus
ajarkan. Selain itu, perintah ini
bertujuan agar mereka menyadari dan mengenal siapa Yesus dari
tindakan-tindakan-Nya yang penuh kuasa.
Murid-murid tidak boleh melewati begitu saja apa yang Yesus ingin
sampaikan melalui pengajaran dan tindakan-tindakan penuh kuasa yang
dikerjakan-Nya. Murid-murid harus
menangkap maksud Yesus bahwa pengajaran dan tindakan-tindakan-Nya membuktikan
bahwa Ia adalah Anak Allah. Jadi bagi
Markus, pemuridan adalah panggilan untuk
mengikut Yesus untuk mengenal dan mengalami Yesus sebagai Anak Allah. Ia adalah Tuhan Yang Mahakuasa.
Mengawali bingkai narasi pendidikan murid, Yesus mengutus
murid-murid-Nya untuk pergi memberitakan Injil.
Yesus memberikan tiga perintah yang harus mereka kerjakan ketika
memberitakan Injil. Perintah yang pertama,
yaitu; “Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan . . .” (6:8-9), disusul dengan
perintah “Tinggallah di situ sampai kamu berangkat dari tempat itu” (6:10) dan
“Keluarlah dari situ dan kebaskanlah debu yang di kakimu sebagai peringatan
bagi mereka” (6:11). Melalui tiga perintah
tersebut, Yesus ingin menyatakan bahwa seorang murid yang telah mengambil
komitmen untuk mengikut Yesus harus rela melepaskan segala beban. Ia harus mempersembahkan seluruh hidupnya
kepada Yesus dan mengikrarkan kehidupan bagi Injil. Yesus juga ingin menekankan bahwa misi pemberitaan Injil
bukanlah tugas yang mudah. Murid-murid
akan mengalami banyak kesulitan. Ada orang yang akan menerima
pemberitaan Injil yang mereka sampaikan, namun ada pula yang akan menolaknya.
Markus mencatat respons murid-murid: “Lalu pergilah mereka
memberitakan bahwa orang harus bertobat, dan mereka mengusir banyak setan, dan
mengoles banyak orang sakit dengan minyak dan menyembuhkan mereka”
(6:12-13). Misi pemberitaan Injil yang
Yesus lakukan dalam dua implementasi (mengajarkan kebenaran dan bertindak
dengan kuasa) kini dilakukan oleh murid-murid Yesus. Markus ingin menegaskan bahwa pemuridan
adalah mengikut Yesus dalam mengerjakan misi pemberitaan Injil seperti yang
Yesus lakukan. Penekanan pada ‘seperti
yang Yesus lakukan’ adalah misi pemberitaan Injil harus selalu di dalam dua
implementasi yaitu mengajarkan kebenaran dan bertindak dengan kuasa.
Setelah memberitakan Injil, murid-murid kembali berkumpul
dengan Yesus. Lalu Ia
memberikan perintah, “Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian dan
beristirahat seketika!” (6:31). Perintah
ini berkaitan dengan perlunya murid-murid memiliki kesegaran fisik dan rohani
di dalam mengerjakan misi pemberitaan Injil.
Kemudian Yesus tergerak oleh belas kasihan kepada orang
banyak. Ia mulai mengajar mereka dan
ketika hari sudah mulai malam, Yesus memberi perintah kepada murid-murid, “Kamu
harus memberi mereka makan” (6:37) dan “Cobalah periksa!” (6:38). Perintah ini menegaskan bahwa misi harus dikerjakan
secara holistik. Murid-murid harus
memiliki kepekaan terhadap kebutuhan fisik orang-orang yang dilayani. Perintah ini dalam konteksnya, juga ingin
mengajarkan kepada murid-murid bahwa jika seseorang melakukan misi Allah maka
Allah akan berkarya melalui hidupnya.
Yang utama adalah melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya dan
mengandalkan Dia dalam segala sesuatu.
Perintah-perintah Yesus di dalam narasi ‘memberi makan 5000
orang’ dan perintah “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” (6:50)—yang berada di
dalam konteks Yesus berjalan di atas air ketika Ia menjumpai murid-murid yang
sedang kepayahan mendayung karena angin sakal—menegaskan kepada murid-murid
bahwa Ia berkuasa terhadap kebutuhan manusia dan kekuatan alam. Tuhan Yesus ingin membuka mata
murid-murid-Nya untuk memahami bahwa Ia adalah Anak Allah, Tuhan Yang
Mahakuasa. Namun, respons murid-murid
menandakan mereka belum juga memahami. Markus mencatat respons mereka ketika
angin sakal itu reda: “Mereka sangat tercengang dan bingung, sebab sesudah
peristiwa roti itu mereka belum juga mengerti dan hati mereka tetap
degil.” Mereka menjadi begitu tercengang
sehingga tidak menangkap harapan Yesus agar mereka sendiri mampu mengatasi
badai yang mengamuk. Mereka tidak
memahami kaitan antara makna tindakan penuh kuasa dari Yesus dengan identitas
pribadi-Nya. Pemuridan adalah proses
mengenal identitas pribadi Yesus sebagai Anak Allah Yang Mahakuasa dan
mengalami serta mendemonstrasikan kuasa-Nya.
Pada suatu waktu, murid-murid Yesus lupa membawa roti—Yesus
memakai moment ini dengan memberi
perintah yang relevan yaitu “Berjaga-jagalah dan awaslah terhadap ragi orang
Farisi dan Herodes” (8:15). Perintah ini
juga berkaitan dengan narasi ‘orang Farisi yang meminta tanda’ (8:11-13). Melalui perintah tersebut, Yesus mengingatkan
murid-murid untuk memiliki pemahaman akan kehendak Allah yang berbeda dengan
nilai-nilai dunia, namun ternyata mereka tidak dapat menangkap maksud-Nya. Karena itu, ketika Petrus menegur Yesus setelah
Ia memberitahukan tentang kematian-Nya Ia langsung mengatakan sebuah imperative yang sangat tajam, “Enyahlah
Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa
yang dipikirkan manusia” (8:33)–kedua imperative
ini mengingatkan murid-murid
untuk menghindari pemahaman manusia yang keliru tentang Mesias. Pemuridan adalah proses mengenal Yesus
sebagai Mesias yang harus menderita.
Pemuridan bukan hanya berhenti pada pengenalan terhadap
Mesias yang harus menderita, namun juga pada kesiapan untuk mengambil bagian
dalam penderitaan Kristus. Untuk
menekankan maksud tersebut, Yesus memberikan perintah: “Setiap orang yang mau
mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku”
(8:34). Selain itu, Yesus juga memberi
perintah “. . . hendaklah ia menjadi terakhir dari semuanya dan pelayan dari
semuanya” (9:35) dan “. . . hendaklah ia menjadi pelayanmu . . . hendaklah ia
menjadi hamba untuk semuanya” (10:43, 44).
Ini merupakan perintah-perintah yang mengikuti reaksi/tanggapan
murid-murid ketika Yesus menyampaikan pemberitahuan tentang penderitaan dan
kematian-Nya. Yesus menyampaikan tolok
ukur pemuridan yang sungguh baru yaitu siapa yang ingin mengikut Dia harus
menyangkal diri dan memikul salib.
Tindakan para murid untuk mengikut Yesus selama ini ternyata bermuara
pada pemberitahuan bahwa Sang Mesias akan dibunuh dan bahwa mereka juga
akhirnya akan mati karena penganiayaan.
Ini bertolak belakang dari pemikiran murid-murid yang ingin mendapatkan
kemakmuran, posisi yang penting sebagai yang berkuasa. Yesus malah memerintahkan murid-murid untuk
menjadi yang terakhir, menjadi pelayan dan hamba dari dan untuk semuanya. Pemuridan adalah proses mengenal dan menjadi
serupa dengan Yesus sebagai Mesias (yang menderita, yang menjadi pelayan dan
hamba bagi semua orang) dan mengambil bagian dalam penderitaan-Nya.
Untuk mengaplikasikan secara konkrit bagaimana menjadi
pelayan dan hamba, Yesus memberikan perintah: “Jangan kamu cegah dia!” (9:39)
dalam konteks ada orang di luar kelompok murid sedang mengusir setan; dan
“Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka”
(10:14). Kedua perintah tersebut memberikan
petunjuk kepada murid-murid bagaimana bertindak secara konkrit dalam
mengaplikasikan perintah menjadi pelayan dan hamba. Murid-murid harus mengambil posisi
yang paling hina seperti anak-anak yang diabaikan dan dipandang rendah.
Murid-murid harus mengambil posisi hamba yang memiliki hati yang terbuka dan
menerima orang lain meskipun bukan termasuk kelompok mereka.
Kehidupan seorang murid menjadi sorotan yang tajam bagi
Yesus. Ia memberikan perintah
“Penggallah!” (9:43, 44); “Cungkillah!” (9:47); “Hendaklah kamu selalu
mempunyai garam dalam dirimu dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang
lain” (9:50). Melalui perintah-perintah
tersebut, Yesus ingin mengajarkan pentingnya seorang murid menahan diri
dari dosa dan tidak menyebabkan orang lain berdosa. Ia juga mengajarkan pentingnya kesederhanaan
dan ketekunan untuk menjalani panggilannya dengan setia, agar terhindar dari
nasib yang mengerikan pada masa yang akan datang. Ia menggunakan ilustrasi garam dan api
(9:49-50) sebagai simbol bahwa seorang murid harus terus dimurnikan melalui
penderitaan dan pergumulan hidup. Dengan
demikian mereka dapat menjadi berkat bagi sesama. Jadi pemuridan adalah proses pembentukan
karakter untuk menjadi serupa dengan Kristus sehingga dapat menjadi berkat bagi
sesama.
Pada bagian narasi ‘wahyu yang dialami murid-murid di
Yerusalem diawali dengan perintah “Pergilah ke kampung yang di depanmu itu”
(11:2) dalam konteks Yesus membutuhkan keledai yang ditunggangi untuk memasuki
Yerusalem. Dan ketika ingin
mempersiapkan perjamuan, Ia memberikan perintah, “Pergilah ke kota;
di sana kamu
akan bertemu seorang . . . dan katakanlah . . . , kamu harus mempersiapkan
perjamuan” (14:13-15). Kedua perintah
Yesus tersebut dialami oleh kedua murid yang diperintah-Nya dengan sangat tepat. Perintah Mesianik yang diresponi kedua murid
dengan ketaatan penuh ini, menyatakan Ia adalah Tuhan yang Mahatahu. Dan sekaligus mengindikasikan bahwa peristiwa
ini masuk dalam agenda yang telah dirancang Yesus. Jadi melalui perintah-perintah tersebut,
Markus ingin menyatakan bahwa pemuridan adalah proses mengenal Yesus sebagai
Anak Allah (Tuhan yang Mahatahu) dan mengalami kuasa-Nya.
Memasuki Yerusalem, Yesus mulai menekankan pentingnya
murid-murid memiliki iman yang teguh terhadap Dia. Ia memberi perintah “Percayalah kepada
Allah!” (11:22); “Percayalah bahwa kamu telah menerimanya” (11:24). Selain itu, Yesus juga menekankan kepada
murid-murid untuk memiliki iman yang teraplikasi dalam relasi dengan
sesama. Ia memerintah murid-murid-Nya,
“Ampunilah” (11:25). Perintah-perintah
tersebut berada dalam konteks peristiwa pengutukan pohon ara yang mengajarkan
bahwa Firman Kristus itu berkuasa dan membawa hasil. Karena itu Yesus memerintahkan mereka untuk
percaya kepada Allah. Ia menanggapi iman
dan doa mereka yang berseru kepada-Nya.
Ia juga mengajarkan murid-murid untuk meresapi semangat pengampunan
terhadap sesama sebagai bukti iman kepada Allah. Jadi melalui perintah-perintah ini, Markus
ingin menyatakan bahwa pemuridan adalah proses mengenal dan mengimani Yesus
sebagai Anak Allah (Tuhan yang Mahakuasa) dan membuktikan iman itu di dalam
semangat pengampunan terhadap sesama.
Iman yang teguh juga tampak dalam kesalehan yang
murni. Yesus memberi perintah “Hati-hatilah
terhadap ahli-ahli Taurat . . .” (12:38); Yesus memperingatkan murid-murid-Nya
untuk menjauhi praktik kehidupan ahli-ahli Taurat tersebut. Jadi menurut Markus, pemuridan adalah
menjalani hidup dalam kesalehan yang murni.
Iman yang teguh membuat murid-murid tidak mudah untuk
disesatkan. Yesus memberi perintah, “Waspadalah
supaya jangan ada orang yang menyesatkan kamu” (13:5); “Lihat, Mesias ada di sini,
atau: Lihat, Mesias ada di sana,
jangan kamu percaya” (13:21). Yesus
memperingatkan murid-murid untuk hati-hati terhadap penyesatan, karena akan
datang banyak orang yang memakai nama Yesus dan mengaku bahwa mereka adalah
Mesias yang menjanjikan hal-hal yang muluk-muluk dan yang membangkitkan
pengharapan yang bukan-bukan. Dari
perintah-perintah ini, Markus ingin menyatakan bahwa pemuridan adalah mengenal
dengan benar Pribadi Yesus dan beriman teguh kepada-Nya.
Iman yang teguh menjadikan murid-murid tidak gentar
menghadapi penderitaan di dalam mengerjakan misi Kristus. Yesus memberi perintah, “Hati-hatilah!”
(13:9); dan “Jangan kamu kuatir akan apa yang harus kamu katakan, tetapi katakanlah
apa yang dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga” (13:11). Yesus mempersiapkan murid-murid menghadapi
penganiayaan dan penderitaan yang akan mereka alami karena memberitakan
Injil. Mereka harus menyadari bahwa
pemberitaan Injil di seluruh dunia, tidak mungkin terlepas dari perlawanan,
konflik dan aniaya. Dari
perintah-perintah ini, Markus ingin menyatakan bahwa pemuridan adalah mengambil
bagian dan siap mengalami penderitaan serta kuasa Kristus di dalam mengerjakan
misi pemberitaan Injil.
Yesus juga memberi perintah agar murid-murid memiliki hidup
yang selaras dengan iman mereka yang teguh kepada Kristus. “Hati-hatilah dan berjaga-jagalah!” (13:33,
35, 37); present imperative ini
menuntut murid-murid untuk bertanggung jawab menjalani kehidupan ini sampai
kedatangan Anak Manusia yang kedua kali.
Dari perintah-perintah dalam bagian ini, Markus ingin menyatakan bahwa
pemuridan adalah menjalani hidup dengan bertanggung jawab di hadapan Allah
sambil menantikan kedatangan Yesus yang kedua kali.
Perintah-perintah Yesus selanjutnya mulai mengarahkan
murid-murid menghadapi kematian-Nya walaupun mereka belum juga memahami apa
yang akan terjadi. “Ambillah, inilah
tubuh-Ku” (14:22), perintah ini mengingatkan murid-murid terhadap Mesias yang
harus menderita. Mesias yang harus
mengurbankan diri untuk menggenapkan rencana Allah bagi penebusan banyak orang,
dan sekaligus menjadi panggilan bagi murid-murid untuk mengambil bagian di
dalam penderitaan-Nya. Dari perintah
ini, Markus ingin menyatakan bahwa pemuridan adalah mengenal Yesus sebagai
Mesias yang harus menderita dan mengambil bagian di dalam penderitaan-Nya.
Di taman Getsemani, Yesus memberikan perintah “Duduklah di
sini sementara Aku berdoa” (14:32); “Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah”
(14:32); “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam
pencobaan” (14:38). Setelah Yesus
bergumul, Ia berkata, “Tidurlah sekarang dan istirahatlah. . . . Bangunlah, marilah kita pergi. Dia yang menyerahkan Aku sudah dekat”
(14:41). Mereka tidak memahami apa yang
akan terjadi ke depan. Murid-murid tidak
mengerti padahal Yesus sudah memberitahukan tentang kematian-Nya tiga kali
kepada mereka. Akhirnya, murid-murid
gagal menghadapi ujian iman. Mereka
meninggalkan Yesus seorang diri. Yudas
menjual Yesus, sementara Petrus menyangkal Dia.
Dari perintah-perintah ini Markus ingin menyatakan bahwa pemuridan
adalah menyerahkan hidup kepada Allah di dalam segala pergumulan dan sepanjang
hidup serta siap menghadapi kematian demi melaksanakan kehendak-Nya.
Pada akhirnya murid-murid memahami bahwa Yesus adalah
Mesias yang harus menderita dan Tuhan yang berkuasa dan yang bangkit. Saat itulah Yesus memberi perintah kepada
mereka untuk mengerjakan misi pemberitaan Injil, “Pergilah ke seluruh dunia,
beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (16:15). Makna penting dari Amanat Agung ini
ialah bahwa Injil adalah bagi semua bangsa, murid-murid diutus ke seluruh dunia
dan Injil harus diwartakan ke seluruh makhluk. Ruang lingkup pengutusan bersifat
universal. Murid-murid diutus kepada
bangsa, suku dan kaum dan bahasa.
Pemberitaan
Injil mengandung konsekuensi: “Siapa yang percaya dan dibaptis akan
diselamatkan tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum” (16:16). Pemberitaan Injil bukanlah misi yang mudah
melainkan sarat dengan penderitaan dan kesusahan. Ada
yang menerima dan ada yang menolak.
Murid-murid membutuhkan otoritas dan kuasa Allah untuk
mengerjakan misi Kristus karena pemberitaan Injil bukanlah melawan darah dan
daging melainkan melawan pemerintah-pemerintah, penguasa-penguasa, melawan
penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara. Tuhan Yesus memberikan tanda-tanda yang akan
menyertai murid-murid yang memberitakan Injil.
Tanda-tanda ini menyatakan kejayaan Injil bahwa Tuhan akan menyertai,
melindungi dan menguatkan murid-murid yang memberitakan Injil dengan kuasa-Nya
dari setan, alam dan manusia.
Murid-murid tidak pernah ditinggalkan sendirian melakukan misi-Nya. Kristus selalu bekerja dengan, di dalam, dan
melalui mereka.
Amanat Agung pada Markus 16:15-18 mendapat respons yang
positif dari murid-murid dan Markus mengatakan, “Tuhan turut bekerja dan
meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya.” Jadi, pemuridan
adalah kesiapan untuk pergi mengerjakan misi Kristus dan mendemonstrasikan
kuasa Allah kepada dunia.
Kesimpulan
Bagi Markus, pemuridan adalah proses mempersiapkan murid
untuk melanjutkan misi Kristus. Dengan
kata lain, Markus ingin menyatakan bahwa pemuridan
adalah panggilan untuk mengikut Yesus di dalam misi-Nya dan mengalami serta
memberitakan karya Yesus yang berkuasa kepada dunia ini. Markus ingin menekankan pada ‘seperti yang
Yesus lakukan’ adalah misi pemberitaan Injil harus selalu di dalam dua
implementasi yaitu mengajarkan kebenaran dan mendemonstrasikan kuasa
Allah. Murid-murid harus mengerjakan
misi seperti yang Yesus telah perbuat. Yesus
ingin murid-murid-Nya dapat melakukan sama seperti apa yang telah
dilakukan-Nya. Yesus ingin
murid-murid-Nya mengajarkan kebenaran yang berkuasa kepada dunia ini seperti
yang disampaikan-Nya. Yesus ingin
murid-murid-Nya memiliki iman untuk dapat mendemonstrasikan kuasa Allah kepada
dunia yang tidak percaya seperti yang telah dilakukan-Nya.
Untuk mempersiapkan murid melanjutkan misi Kristus, Markus
menekankan bahwa seorang murid harus mengenal dan mengalami Yesus sebagai Anak
Allah dan Mesias. Ia harus mengenal
bahwa Yesus adalah Tuhan Yang Mahakuasa dan Mesias yang harus menderita. Esensi pemuridan adalah mengenal Yesus secara
komprehensif dan mengalami Dia.
Mengerjakan misi Kristus tanpa pengenalan dan pengalaman bersama dengan
Kristus akan menghasilkan misi yang rapuh dan mandul.
Markus lebih lanjut menekankan bahwa mengikut Yesus untuk
mengerjakan misi-Nya mengandung konsekuensi—ada harga yang harus dibayar. Seorang murid harus rela melepaskan segala
sesuatu untuk mengikut Yesus. Ia harus
mempersembahkan seluruh hidupnya kepada Yesus dan mengikrarkan kehidupan bagi
Injil. Ia harus menyangkal diri untuk
hidup berbeda dari nilai-nilai dunia ini.
Ia harus mengambil bagian dalam penderitaan Kristus, menjadi pelayan dan
hamba bagi semuanya dan siap menyerahkan nyawa sekalipun demi Injil.
Markus
juga ingin menyatakan bahwa seorang murid yang mengerjakan misi Kristus harus
hidup menjadi berkat bagi sesama bukan menjadi batu sandungan. Seorang murid harus menahan diri dari dosa
dan tidak menyebabkan orang lain berdosa. Ia harus memiliki hati yang terbuka dan selalu
siap mengampuni orang lain. Ia harus menjalani hidup dalam kesalehan yang murni. Murid harus hidup dalam kesederhanaan
dan ketekunan untuk menjalani panggilannya dengan setia. Seorang murid harus terus dimurnikan melalui
penderitaan dan pergumulan hidup. Ia
harus melakukan apa yang menjadi kehendak Yesus dan
mengandalkan Dia dalam segala sesuatu. Dengan
demikian mereka dapat menjadi berkat bagi sesama.
IMPLIKASI
TEOLOGI PEMURIDAN TERHADAP PEMURIDAN MASA KINI
Pada
bab pertama penulis mengemukakan adanya kondisi stagnan di dalam pelipatgandaan atau multiplikasi. Kondisi stagnan
itu ditandai dengan masalah adanya anggota KTB yang tidak mengalami
pertumbuhan rohani dan tidak memiliki kerinduan untuk memuridkan, sehingga
kurang terjadi kontinuitas dalam pelipatgandaan proses pemuridan.
Kondisi
pemuridan yang stagnan harus
diubah. Dalam hal ini peran pemimpin KTB
sangat diperlukan untuk memutuskan “rantai kemandegan
spiritualitas” dalam proses
pemuridan tersebut. Karena itu, solusi
yang tepat untuk akar permasalahan stagnasi
tersebut adalah seorang pemimpin KTB meneladani proses pemuridan yang Tuhan
Yesus lakukan terhadap murid-murid-Nya.
Penulis
akan mengimplikasikan teologi pemuridan berdasarkan perspektif
perintah-perintah Tuhan Yesus terhadap pemuridan masa kini dalam tiga prinsip,
yaitu: prinsip pemilihan murid, prinsip pembinaan dan prinsip pengutusan. Melalui ketiga prinsip tersebut diharapkan
pemimpin KTB dapat mengatasi kondisi stagnan
pemuridan dan menciptakan murid-murid yang terus bermultiplikasi.
Prinsip Pemilihan Murid
Bagi
Markus, prinsip pemilihan adalah memanggil orang-orang yang rela meninggalkan
masa lalunya dan mengikut Yesus. Markus
juga menekankan bahwa di dalam pemilihan murid harus disertai dengan kesadaran
akan panggilan untuk mengerjakan misi Kristus.
Ketika Yesus memilih orang-orang yang akan dimuridkan, Ia secara
langsung menyatakan panggilan untuk mengikuti Dia dan tujuan yang akan dicapai
oleh mereka setelah mengikut Dia–menjadi
penjala manusia. Seorang pemimpin
KTB masa kini ketika hendak memilih orang-orang yang akan dimuridkan perlu
meneladani apa yang Yesus lakukan.
Pemimpin KTB harus memberikan pemahaman kepada calon murid tentang apa
visi dan misi pemuridan itu. Mereka
harus memahami dengan baik sebelum memutuskan untuk terlibat dalam proses
pemuridan. Jangan tergesa-gesa memulai
proses pemuridan melalui KTB apabila tiap orang belum memahami visi dan misi
tersebut.[155]
Seorang
pemimpin KTB harus melihat apakah telah terjadi perubahan hidup dalam diri
seseorang yang akan dimuridkan setelah mendengar Injil yang telah disampaikan
kepadanya. Murid-murid menunjukkan
perubahan yang radikal ketika mereka dipanggil untuk mengikut Yesus. Simon, Andreas, Yakobus dan Yohanes segera
meninggalkan jala, Lewi meninggalkan profesinya yang menjanjikan kekayaan dan
kemewahan. Ini menjadi sebuah perubahan
hidup. Jadi, pemimpin KTB harus melihat
perubahan hidup dari orang-orang yang akan dimuridkan sebelum masuk dalam
proses KTB. Tidak mungkin mengajarkan
kebenaran apabila mereka belum meninggalkan kehidupan yang lama. Harus ada titik balik pertobatan terlebih
dahulu.
Seorang
yang siap dimuridkan adalah mereka yang telah mengalami perubahan hidup. Ciri yang utama adalah mereka membenci dosa,
meninggalkan kebiasaan dan kebanggaan hidup yang lama serta mereka memiliki
kerinduan untuk belajar Firman Tuhan.
Seorang yang mendengar adalah seorang yang siap untuk belajar dan
menaati apa yang Tuhan kehendaki dalam hidup mereka (teachable).[156]
Bagi
mereka yang akan memimpin harus belajar melayani. Begitu juga seseorang yang akan melatih
orang-orang lain harus rela meluangkan waktunya dengan mereka dalam percakapan
yang memakan waktu berjam-jam dan menjalin hubungan dalam kehidupan
sehari-hari. Itulah salah satu sebabnya
mengapa seorang pemimpin tidak dapat melatih terlalu banyak orang sekaligus. Seorang pemimpin harus dapat membagi diri
secukupnya dengan mereka. Seorang
pemimpin mempunyai persediaan emosi, waktu dan kapasitas rohani yang terbatas,
sehingga ia tidak dapat melatih orang dalam jumlah yang besar. Kesalahan yang umum ialah orang ingin mencoba
melakukan terlalu banyak, terlalu cepat, dan dengan terlalu banyak orang.[157] Robert E. Coleman mengatakan: “The necessity is apparent not only to select
a few laymen, but to keep the group small enough to be able to work effectively
with them.”[158]
Prinsip Pembinaan
Pembinaan
yang harus dilakukan adalah membawa seorang anggota kelompok mengenal dan
mengalami Yesus sebagai Tuhan dan Mesias di dalam hidupnya. Pembinaan harus membawa seorang murid
memiliki keyakinan yang teguh terhadap Yesus sehingga mereka tidak dapat
diombang-ambingkan oleh rupa-rupa pengajaran sesat. Pembinaan yang dilakukan bertujuan
mempersiapkan mereka mengerjakan misi Kristus dalam pemahaman yang benar
terhadap identitas dan misi Kristus.
Yesus
membina murid-murid-Nya selama kurang lebih tiga setengah tahun. Metode yang Yesus pakai untuk membina
murid-murid adalah melalui kehidupan, pengajaran dan pelatihan/praktik
lapangan. Seorang pemimpin KTB harus
memiliki waktu yang khusus untuk membina orang-orang yang dimuridkan. Bukan hanya mengandalkan pertemuan KTB sekali
seminggu melainkan juga melalui interaksi dalam kehidupan nyata.[159]
Yesus
mempersiapkan mereka untuk menghadapi perlawanan, bahkan penolakan (6:11). Pada waktu sedang melatih calon murid,
beritahu kepadanya tentang kesulitan pelayanan yang pernah pemimpin
hadapi. Pemimpin berbicara kepada mereka
tentang saat-saat ditolak ketika bersaksi. Pemimpin menyatakan kepada mereka tentang risiko
pemuridan.
Yesus
melatih murid-murid langsung di medan
pertempuran. Sewaktu-waktu Ia
membawa orang-orang-Nya menyepi untuk waktu yang khusus bersama-sama, tetapi
kebanyakan latihan-Nya diberikan langsung di lapangan. Mereka melayani bersama-sama dengan Dia. Melalui teladan Tuhan Yesus ini, maka
sangatlah penting bagi seorang pemimpin untuk melibatkan murid-murid dalam
kehidupannya. Murid-murid dapat melihat
keteladanan pemimpin rohaninya baik melalui kehidupan dalam keluarga, gereja,
profesi, dan lingkungan sekitarnya.
Pemimpin melibatkan murid-murid yang dipimpinnya dalam pelayanan
bersama, sehingga mereka dapat melihat secara langsung apa yang diajarkan oleh
pemimpinnya.
Yesus
membina murid-murid-Nya dalam proses yang panjang dan perlahan agar
murid-murid-Nya dapat mengenal Dia dengan benar. Pengenalan yang
benar akan menghasilkan kepercayaan dan keyakinan yang luar biasa dan pada
akhirnya membawa seseorang menyerahkan diri secara total kepada Yesus dalam
pengabdian yang tinggi untuk mengerjakan misi-Nya. Pemimpin masa kini harus mengajarkan
murid-murid untuk mengenal Yesus adalah Anak Allah dan Mesias. Bila seorang murid mengenal Yesus dengan
benar maka Ia akan menjadikan Yesus Tuhan yang akan mengontrol seluruh
hidupnya. Hidup dan keteladanan seorang
pemimpin yang menghayati Ketuhanan Kristus memberi pengaruh yang besar bagi
murid untuk menghayati hidup yang mentuhankan Kristus pula. Gareth Weldon Icenogle mempertanyakan, “What is it about the small discipleship
group that makes it such a nurturing environment for planting and growing the
realm of God on earth?”[160] Kemudian ia memberikan jawaban demikian:
Personal and
intimate contact with Jesus and with those who know Jesus is the nurturing
process. . . . Only in the close community can
the explanations about the realm of God make sense, for the realm is about the
liberation and restoration of humanity for human community. It was in the smaller gatherings of real
people around Jesus that the secrets of realm made sense and that the invisible
realm became visible, touchable, knowable and real.[161]
Yesus
membina murid-murid-Nya untuk siap mengerjakan misi pemberitaan Injil. Misi pemberitaan Injil sering kali terhalang
oleh karakter seseorang yang memberitakannya.
Karena itu, sebelum murid-murid pergi mengerjakan misi pemberitaan
Injil—Yesus melakukan proses pembentukan karakter di dalam hidup mereka. Pemimpin masa kini dalam membina murid-murid
perlu memperhatikan beberapa karakter yang harus dimiliki seorang murid yang
siap diutus untuk memberitakan Injil.
Karakter yang harus dimiliki seorang murid antara lain: taat dan rela
meninggalkan segala sesuatu yang berharga demi Kristus dan Injil; sadar akan
ketidaklayakan di hadapan Tuhan (semua karena anugerah); siap untuk mendengar
pengajaran Tuhan artinya mau belajar dan diajar (teachable); hidup dalam kesucian dan kemurnian hati; pembawa damai
(menjadi garam dan terang); memiliki keterbukaan; rendah hati (mengambil posisi
pelayan dan hamba); kritis dalam menghadapi serangan musuh dan pengajaran
sesat; kasih yang memotivasi hidupnya; memiliki pengharapan yang teguh akan
kedatangan Kristus; disiplin menjalankan kehidupan rohani (relasi dengan Tuhan
dan sesama); memiliki kepekaan terhadap kebutuhan orang lain; murah hati; siap
mengampuni orang lain; berani dan setia
memberitakan Injil.
Yesus
membina murid-murid untuk siap mengerjakan misi pemberitaan Injil. Karena itu murid-murid harus melewati proses
pembentukan skill. Pemimpin masa kini harus memperhatikan
beberapa hal yang Tuhan Yesus tekankan dalam pembentukan skill murid-murid-Nya. Skill yang harus dimiliki murid-murid,
antara lain: bagaimana mengajar, berelasi dan berinteraksi dengan sesama (interpersonal relationship skill),[162]
berapologetika, pelayanan pastoral dan pemberitaan Injil.
Karakteristik
yang harus dimiliki pemimpin KTB dalam proses pembinaan adalah: Pertama, ia adalah seorang pemimpin yang melayani (servant-leader);[163] Kedua, ia adalah seorang yang memiliki
komitmen untuk menolong orang yang dimuridkan untuk bertumbuh (committed to helping others grow);[164] Ketiga, ia adalah seorang yang mendorong
pertumbuhan orang yang dimuridkan dengan menolong mereka mengembangkan
kemampuan dan potensi mereka (stimulate
growth in others by helping them to develop their own skills and resource);[165] Keempat, ia adalah seorang yang
berorientasi pada proses (process-oriented);[166] Kelima, ia adalah seorang yang memahami
bahwa Roh Kudus adalah agen perubahan di dalam hidup anggota-anggota kelompok (know the Holy Spirit is the change agent in
the lives of the group members).[167]
Prinsip Pengutusan
Bagi
Markus, pengutusan dilakukan ketika murid-murid telah memiliki pengenalan dan pemahaman bahwa Yesus adalah Mesias yang harus menderita dan
Tuhan yang berkuasa dan yang bangkit.
Saat itulah Yesus memberi perintah kepada mereka untuk mengerjakan misi
pemberitaan Injil—yang sarat dengan penderitaan dan kesusahan—ke seluruh dunia
dan kepada segala makhluk dengan tanda-tanda dari Tuhan yang menyertai
(16:15-18).
‘Pergilah
ke seluruh dunia.’ Penekanan Markus pada
ruang lingkup pengutusan adalah bersifat universal. Murid-murid diutus kepada bangsa, suku dan
kaum dan bahasa.[168] KTB menjadi wadah untuk mengutus anggotanya
kepada dunia di dalam nama Kristus.
Ruang lingkup yang universal juga bermakna anggota KTB diutus ke dalam
dunia di mana mereka hidup dan beraktivitas.
Anggota diutus ke rumahnya, ke tempat profesinya, ke gereja, ke lingkungan
pergaulannya bahkan ke tempat-tempat yang berbeda, asing dan tak terjangkau
sekalipun.[169]
‘Beritakanlah
Injil kepada segala makhluk.’ Ruang
lingkup misi secara universal lebih ditekankan sekali lagi yaitu kepada segala
makhluk, artinya kepada semua orang tanpa terkecuali harus mendengar berita
Injil.[170] Penekanan perintah Yesus yang bersifat
universal ini adalah beritakanlah Injil.
Murid-murid diutus untuk memberitakan Injil karena Injil adalah kekuatan
Allah yang mengubahkan dan menyelamatkan setiap orang yang percaya. Karena KTB merupakan base bagi murid-murid untuk diutus, maka KTB harus menjadi wadah
yang memfasilitasi proyek penginjilan. Dan
KTB harus mempersiapkan pemimpin yang akan segera memuridkan orang-orang yang
telah mendengar Injil. Keberhasilan
sebuah KTB, bila menghasilkan murid-murid yang menjadikan penginjilan sebagai gaya hidupnya. Selain itu, ketika sebuah KTB menghasilkan
orang-orang baru yang siap dimuridkan—yang merupakan hasil penginjilan
mereka—bukan sekadar adopsi.
Tuhan
Yesus memberi jaminan penyertaan-Nya bagi mereka yang mengerjakan misi
Kristus. Ada tanda-tanda yang menyertai:
Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya:
mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam
bahasa-bahasa yang baru bagi mereka, mereka akan memegang ular, dan sekalipun
mereka minum racun maut, mereka tidak akan mendapat celaka; mereka akan
meletakkan tangannya atas orang sakit dan orang itu akan sembuh (Mrk. 16:17-18).
KTB membutuhkan otoritas dan kuasa Allah untuk mengerjakan
misi Kristus karena pemberitaan Injil bukanlah melawan darah dan daging
melainkan melawan pemerintah-pemerintah, penguasa-penguasa, melawan
penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.[171] Tuhan Yesus memberikan tanda-tanda yang akan
menyertai murid-murid yang memberitakan Injil.
Tanda-tanda ini menyatakan kejayaan Injil bahwa Tuhan akan menyertai,
melindungi dan menguatkan murid-murid yang memberitakan Injil.[172] Murid-murid tidak pernah ditinggalkan
sendirian melakukan misi-Nya. Kristus
selalu bekerja dengan, di dalam, dan melalui mereka.[173]
Kualifikasi
murid yang siap diutus: pertama,
murid yang siap diutus adalah murid yang telah mengenal Yesus dengan
benar. Ia teguh tentang keyakinan
imannya sehingga ia tidak mudah diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin
pengajaran. Ia memiliki ajaran yang
benar untuk disampaikan kepada orang lain.
Kedua, murid yang siap diutus
adalah murid yang telah menjadi serupa Kristus dalam pembentukan
karakternya. Ketiga, murid yang siap diutus adalah murid yang telah
diperlengkapi dengan skill yang
memampukan ia mengerjakan misi Kristus bagi dunia. Dalam tahap pengutusan seorang pemimpin KTB
mengambil peran mendorong, menguatkan, menyertai dan mendampingi anggota KTB
yang siap menjangkau murid baru.
Injil
Markus ditutup dengan kalimat-kalimat yang membuat pembaca akhirnya menyadari
Kristus adalah disciple maker yang
sempurna:
Sesudah Tuhan
Yesus berbicara demikian kepada mereka, terangkatlah Ia ke sorga, lalu duduk di
sebelah kanan Allah. Mereka pun pergilah
dan memberitakan Injil ke segala penjuru, dan Tuhan turut bekerja dan
meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya (Mrk. 16:19-20).
Markus
mengisahkan pada bagian akhir narasinya tentang sebuah keberhasilan dan kemenangan. Murid-murid memahami dan mengenal pribadi dan
misi Kristus. Murid-murid mengerjakan
misi Kristus. Misi yang terus dikerjakan
dahulu, sekarang dan sampai selama-lamanya.
O God, we realize: You do not call
us to be successful in the marketplace; You call us to be faithful as disciple
of Jesus; You do not call us to
achievement in work, but to responsible living; You do not call us to make a
great fortune, but to a labor for Your reign; Guide us into greater
understanding of Your priorities. Amen (Anton
K. Jacobs).[174]
BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN
Injil Markus disusun secara kronologis sehingga
perintah-perintah Tuhan Yesus di dalam Injil Markus yang ditujukan kepada
murid-murid-Nya merupakan rangkaian perintah yang semakin memuncak. Perintah-perintah yang Tuhan Yesus berikan
kepada murid-murid-Nya disesuaikan dengan perkembangan murid-murid-Nya dalam
mengikut Dia. Karena itu, penulis
berpendapat bahwa pembaca masa kini dapat menemukan teologi pemuridan dari
rangkaian perintah-perintah Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya.
Dari penelitian terhadap rangkaian perintah-perintah Tuhan
Yesus kepada murid-murid-Nya, penulis menemukan bahwa pemuridan menurut Markus
adalah proses pembentukan seorang murid untuk mengalami dan mengerjakan misi
Kristus. Panggilan murid adalah
panggilan untuk memasuki sebuah proses yang panjang dan perlahan dalam membuat
seseorang menjadi pemenang jiwa. Bagi
Markus proses ini adalah sebuah perjalanan[175]
dari ‘mengikut’ menuju tujuan ‘menjadi penjala manusia.’ Proses itu terjadi antara imperative pada Markus 1:17 (Deute
ovpi,sw mou, kai. Poih,sw u`maj gene,sqai a`lieij avnqrw,pwn “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia”)
dan Markus 16:15 (Poreuqe,ntej eivj
to.n ko,smon a[panta khru,xate to. euvagge,lion pa,sh| “Pergilah
ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk”).
Penekanan
Markus terhadap misi pemberitaan Injil yang Yesus kerjakan adalah mengajarkan
kebenaran dan mendemonstrasikan kuasa Allah.
Yesus ingin murid-murid-Nya dapat melakukan sama seperti apa yang telah
dilakukan-Nya. Yesus ingin
murid-murid-Nya mengajarkan kebenaran yang berkuasa kepada dunia ini seperti
yang disampaikan-Nya. Yesus ingin murid-murid-Nya
memiliki iman untuk dapat mendemonstrasikan kuasa Allah kepada dunia yang tidak
percaya—seperti yang dilakukan-Nya.
Untuk mengerjakan misi Kristus seorang murid harus mengenal
Yesus secara benar. Pengenalan yang
benar terhadap Yesus memampukan murid-murid untuk memberitakan Injil yang
berkuasa. Pengenalan yang benar akan
menghasilkan kepercayaan dan keyakinan yang luar biasa dan pada akhirnya
membawa seseorang menyerahkan diri secara total kepada Yesus dalam pengabdian
yang tinggi untuk mengerjakan misi-Nya.
Markus menyatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah, Ia
adalah Tuhan yang berkuasa dan berdaulat atas manusia, alam semesta, dan roh
kegelapan. Markus juga menyatakan bahwa
Yesus adalah Mesias yang datang untuk menebus dan menyelamatkan manusia dari
hukuman yang kekal. Yesus adalah Mesias
yang siap dan rela menempuh jalan salib dan penderitaan demi menebus dan
menyelamatkan manusia. Markus juga
menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan yang telah bangkit dari kematian, duduk di
sebelah kanan Allah Bapa dan sekarang senantiasa menyertai pemberitaan Injil
yang dilakukan oleh mereka yang telah menjadi murid–pengikut-Nya yang setia.
Markus lebih lanjut menekankan bahwa mengikut Yesus untuk
mengerjakan misi-Nya mengandung konsekuensi—ada harga yang harus dibayar. Seorang murid harus rela melepaskan segala
sesuatu untuk mengikut Yesus. Ia harus
mempersembahkan seluruh hidupnya kepada Yesus dan mengikrarkan kehidupan bagi
Injil. Ia harus menyangkal diri untuk
hidup berbeda dari nilai-nilai dunia ini.
Ia harus mengambil bagian dalam penderitaan Kristus, menjadi pelayan dan
hamba bagi semuanya dan siap menyerahkan nyawa sekalipun demi Injil.
Pemuridan adalah proses pembentukan karakter seseorang
untuk siap mengambil bagian dalam misi Kristus.
Misi Kristus adalah memberitakan Injil melalui pengajaran akan kebenaran
dan pembebasan manusia dari kuasa kegelapan, dosa, dan nilai-nilai dunia
ini. Ini panggilan pemuridan yang harus
dikerjakan oleh murid-murid sampai sekarang.
Panggilan yang tak pernah mati, panggilan yang harus terus dikerjakan
sampai kedatangan Kristus yang kedua kali.
Pemberitaan Injil harus diberitakan oleh murid-murid yang telah
mengalami pembentukan karakter—yang menjadikan mereka serupa dengan
Kristus. Sering kali pemberitaan Injil
terhalang oleh karakter orang yang memberitakannya. Karena itu, Tuhan Yesus menaruh perhatian
yang besar dalam pembentukan karakter murid-murid-Nya, sehingga mereka dapat
menjadi penjala manusia yang hidup
sesuai Berita Injil yang disampaikannya.
Menyikapi
kondisi stagnan di dalam
pelipatgandaan atau multiplikasi yang ditandai dengan masalah adanya anggota
KTB yang tidak mengalami pertumbuhan rohani dan tidak memiliki kerinduan untuk
memuridkan, maka kondisi pemuridan yang stagnan
harus diubah. Dalam hal ini peran
pemimpin KTB sangat diperlukan untuk memutuskan “rantai kemandegan spiritualitas” dalam
proses pemuridan tersebut. Karena itu,
solusi yang tepat untuk akar permasalahan stagnasi
tersebut adalah seorang pemimpin KTB meneladani proses pemuridan yang Tuhan
Yesus lakukan terhadap murid-murid-Nya.
Solusi
yang penulis ingin sampaikan merupakan implikasi teologi pemuridan dari
penelitian terhadap perintah-perintah Yesus kepada murid-murid-Nya terhadap
pemuridan masa kini. Pemimpin KTB perlu
memperhatikan kembali prinsip-prinsip pemuridan yang Tuhan Yesus lakukan, agar
kontinuitas pemberitaan Injil yang murid-murid Yesus kerjakan terus menjadi
bagian dalam pemuridan masa kini.
Prinsip
pemilihan murid adalah: pertama, pemimpin
KTB memilih murid yang telah memahami apa arti menjadi murid Kristus dan tujuan
pemuridan; kedua, memilih murid bukan
berdasarkan kriteria faktor lahiriah: fisik, intelektual atau status sosial
seseorang, melainkan faktor batiniah: kesiapan untuk berubah dan meninggalkan
masa lalu serta kesiapan untuk mendengar dan menaati perintah dan kehendak
Tuhan Yesus (teachable).
Prinsip
pembinaan murid adalah: pertama, membina
murid membutuhkan waktu dan keseriusan serta pembimbingan dan pemeliharaan; kedua, membina murid melalui pengajaran,
kehidupan dan pelatihan—sebuah proses keteladanan hidup seorang pemimpin; ketiga, membina murid agar mereka
mencapai pengenalan dan keyakinan yang teguh kepada Kristus, Anak Allah dan
Mesias yang mati dan yang telah bangkit; keempat,
membina murid agar mereka menjadi serupa dengan karakter Kristus; kelima, membina murid untuk mempersiapkan
mereka mengerjakan misi Kristus.
Prinsip
pengutusan murid adalah: pertama, lingkup
pengutusan murid bersifat universal; kedua,
murid-murid diutus untuk memberitakan Injil yang Yesus ajarkan, Injil yang
berkuasa—yang menyelamatkan setiap orang yang percaya; ketiga, pemberitaan Injil akan menghadapi dua respons: ada yang
percaya dan ada yang tidak percaya.
Murid-murid diminta untuk setia memberitakan Injil dan harus siap
menghadapi segala tantangan di dalam mengerjakan misi Kristus; keempat, Tuhan akan menyertai mereka
yang pergi memberitakan Injil dengan tanda-tanda ajaib; kelima, pemberitaan Injil harus segera dilaksanakan.
Penerapan
prinsip-prinsip pemilihan, pembinaan dan pengutusan dalam pemuridan diharapkan
dapat mengatasi masalah stagnasi dalam
proses pemuridan masa kini. Pemimpin KTB
dapat melihat anggota-anggota yang dimuridkan bermultiplikasi menjadi penjala manusia dalam kehidupan dan
generasinya.
SARAN
Skripsi
ini memberikan beberapa masukan bagi pemimpin KTB untuk dapat menjadi pemimpin
yang bermultiplikasi. Penulis menyadari
bahwa implikasi dari teologi pemuridan ini belum memberikan langkah konkrit dan
strategi pencapaian dalam setiap tahap.
Saran penulis kepada para pemimpin KTB agar dapat membuat strategi
pencapaian dan langkah konkrit di dalam tiap proses pemuridan yang dilakukan
(pemilihan, pembinaan dan pengutusan).
Penulis
mengusulkan agar pemimpin KTB dapat membuat kurikulum pemuridan berdasarkan
konteks kelompoknya masing-masing yang berpijak pada teologi pemuridan dan
implikasinya pada skripsi ini.
Penulis
mengusulkan ide untuk melanjutkan pembahasan teologi pemuridan di dalam Kitab
Markus dengan menyimak perintah-perintah Yesus kepada musuh-Nya dan atau kepada
karakter-karakter minor yang Markus tokohkan.
Selain itu, penulis juga melihat kemungkinan menyimak perintah-perintah
Yesus dalam Injil Sinoptik yang lainnya.
Akhirnya,
penulis berharap skripsi ini dapat menjadi masukan yang berarti bagi para
pemimpin yang ingin bermultiplikasi.
Penulis juga mengharapkan saran dan masukan dari pembaca untuk
mempertajam penelitian ini agar berguna bagi pengaplikasian sebuah esensi
pemuridan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
SUMBER BUKU
Barclay, William. Pemahaman
Alkitab Setiap Hari: Injil Markus. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1983.
Best,
Ernest. Mark: The Gospel As Story. Edinburgh: T. & T.
Clark, 1983.
Bolkestein, M. H. Kerajaan
yang Terselubung. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985.
Brooks, James A. An
Exegetical and Theological Exposition of Holy Scripture: Mark. The New American Commentary. Nashville:
Broadman, 1991.
Cole,
R. Alan. Mark. The Tyndale New
Testament Commentaries. Surabaya: Momentum, 2007.
Coleman, Robert E. Discipleship:
The Best Writings From the Most Experienced Disciple Makers. Eds.
Billie Hanks dan William A. Shell. Grand Rapids: Zondervan,
1981. 41-53.
Cox, Nicholas Christopher. Disciple
and Discipleship in the Gospel of Mark, with Particular Reference to Mark’s
Contrast Between Male and Female Disciples.
Pretoria: University Of South Africa,
2007.
Cranfield,
C. E. B. The Gospel According to St. Mark. The Cambridge Greek Testament Commentary. Cambridge: Cambridge University, 1966.
Delorme, J. Injil Markus. Yogyakarta:
Kanisius, 1978.
Dibbert, Michael T. dan Frank B. Wichern, Growth Groups:
A Key to Christian Fellowship and Spiritual Maturity in the Church. Grand Rapids: Zondervan,
1985.
Dobson,
John H. Learn New Testament Greek. Grand
Rapids: Baker Book, 1989.
Drane,
John. Memahami Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2001.
Drewes, B. F. Satu
Injil Tiga Pekabar. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982.
Eaton, Michael. Jesus
of the Gospel: Kronologi Kisah Yesus menurut Empat Injil. Yogyakarta: Andi, 2008
Edwards, James R. The
Gospel According to Mark. PNTC. Grand
Rapids: Eerdmans, 2002.
Eims, LeRoy. Pemuridan
Seni yang Hilang. Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2002.
Erdmans, Charles R. The
Gospel of Mark. Grand Rapids: Baker Book House, 1966.
Foster, Richard J. Celeberation
of Discipline. San Francisco: Harper & Row, 1988.
France, R. T. The
Gospel of Mark. NIGTC. Grand Rapids: Eerdmans,
2002.
Friedrich, Gerhard. “khrussw” dalam Theological Dictionary of
the New Testament. Vol. 3.
Ed. Gerhard Kittel. Grand Rapids: Eerdmans,
1964. 697-714.
Garland, David E. Mark. NIVAC.
Grand Rapids:
Zondervan, 1996.
Guelich, Robert A. Mark 1-8:26. WBC. Dallas: Word Books, 1989.
Gundry,
Robert H. Mark: A Commentary on His Apology for the Cross. Grand
Rapids: Eerdmans, 1993.
Guthrie, Donald. Pengantar
Perjanjian Baru. Vol. 1. Jakarta:
Momentum, 2008.
Hauck, F. “me,nw” dalam TDNT. Abridged ed. Eds. Gerhard Kittel & Gerhard
Friedrich. Grand Rapids: Eerdmans, 1985. 581-584.
Hurtado, Larry W. “Following Jesus in the Gospel of Mark—and
Beyond” dalam The Patterns of
Discipleship in the New Testament. Ed.
Richard N. Longenecker. Grand Rapids: Eerdmans, 1996. 9-29.
_______. Mark. New International Biblical
Commentary. Peabody: Hendrickson, 1983.
Icenogle, Gareth Weldon. Biblical
Foundation for Small Group Ministry.
Downers Grove: InterVarsity, 1994.
Kistemaker,
Simon J. The Miracles. Grand Rapids: BakerBook,
2006.
Kittel, G. “avkou,w” dalam TDNT. Abridged ed. Eds. Gerhard Kittel & Gerhard
Friedrich. Grand Rapids: Eerdmans, 1985. 34-35.
_______.
“avkolouqe,w” dalam TDNT. 33-34.
Michaelis,
W. “o`raw”
dalam TDNT. 706-716.
Mounce,
William D. Basics of Biblical Greek Grammar. Grand
Rapids: Zondervan, 2003.
Nicholas, Ron. Buku
Pegangan Pemimpin Kelompok Kecil. Jakarta: Perkantas, 1986.
Rhoads,
David dan Donald Michie. Injil Markus Sebagai Cerita. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2004.
Ryken,
Leland, et al., eds. “Donkey, Ass” dalam
Dictionary of Biblical Imagery. Downers Grove:
InterVarsity, 1998. 215.
________. “Leaven, Leavening” dalam Dictionary of Biblical Imagery. 498.
Schweizer, Eduard. The Good
News According to Mark. Atlanta:
John Knox, 1970.
Stewart,
Dorothy M. The Westminster
Collection of Christian Prayer. Louisville: Wesminster
John Knox, 2002.
Swete,
H. B. The Gospel According to St. Mark. London:
MacMillan and Co., 1908.
Swift,
C. E. Graham. “Markus: Pengantar” dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini. Vol.
3. Eds. Donald Guthrie, et al. Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1981. 128-133.
Van Bruggen, Jacob. Markus:
Injil Menurut Petrus. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1988.
Wallace,
Daniel B. Greek Grammar: Beyond the Basics. Grand Rapids: Zondervan, 1996.
Watts, Rikki E. Isaiah’s
New Exodus in Mark. Grand Rapids: Baker, 1997.
Weder,
Hans “Disciple, Discipleship” dalam The
Anchor Bible Dictionary. Vol. 2. Ed.
David Noel Freedman. New York: Double Day, 1992. 208-210.
Wessel, Walter W. “Mark” dalam The Expositors Bible Commentary: New Testament. Abridged ed.
Eds. Kenneth L. Barker & John R. Kohlenberger III. Grand
Rapids: Zondervan, 1994. 136-205.
Wilkins, Michael J. Following
the Master: A Biblical Theology of Discipleship. Grand
Rapids: Zondervan, 1992.
Witherington III, Ben. The
Gospel of Mark: A Sosio-Rhetorical Commentary. Grand
Rapids: Eerdmans, 2001.
Wuest, Kenneth S. Mark in
the Greek New Testament. Wuest’s
Word Studies. Grand Rapids: Eerdmans, 1959.
Zerwick, Max dan Mary Grosvenor. A
Grammatical Analysis of the Greek New Testament. Rome:
Biblical Institute, 1974.
SUMBER
JURNAL
Jokiman, Bob. “Dasar-Dasar Alkitabiah Pengembangan
Kepemimpinan.” Veritas 4/1 (April 2003) 87-106.
Meyer, Marvin. “Taking Up the Cross and Following Jesus:
Discipleship in the Gospel of Mark.” Calvin Theological Journal 37(2002) 230-238.
Samra, James G. “A Biblical View of Discipleship.” Bibliotheca
Sacra 160/683 (April-June 2003) 219-234.
SUMBER
MAJALAH
Deswanto, Yusuf. “Mentoring: Menemukan Titik Balik Perubahan
Hidup dalam Proses Pemuridan.” Disciple 4/1 (September-Okober 2007) 45-51.
_______.
“Peperangan Rohani dalam Proses
Awal Pemuridan: Menanamkan Konsep Peperangan Rohani dalam Meningkatkan Efektivitas Multiplikasi
KTB dalam Lingkup Pelayanan Mahasiswa.” Disciple
3/3 (Juni 2006) 32-41.
Kurniawan, Agung. “Kepemimpian Rohani.” Disciple 4/1 (September-Oktober
2007) 20-23.
SUMBER
INTERNET
Hays, Richard B. “The Way of the Cross: Discipleship and
Suffering in Mark’s Gospel.” http://www.westmont.edu/~fisk/Lecture%20Outlines/MarkDiscipleship.htm.
Juel, Donald. “Discipleship.” http://www.stjohnadulted.org/mark3.htm.
[1]James
G. Samra mengatakan, “Discipleship is the process of becoming like Christ” (“A Biblical View of Discipleship,” Bibliotheca Sacra 160/683 [April-June
2003] 219-234).
[2]Kelompok
Tumbuh Bersama sebagai sebuah kelompok yang terdiri dari 3-5 orang yang
bersama-sama berkomitmen untuk masuk dalam proses pemuridan. Mereka memiliki kerinduan untuk belajar
Alkitab dengan tujuan mengalami keserupaan dengan Kristus (Ron Nicholas, Buku Pegangan Pemimpin Kelompok Kecil [Jakarta:
Perkantas, 1986] 1-15).
[3]Yusuf
Deswanto, “Mentoring: Menemukan Titik Balik Perubahan Hidup dalam Proses
Pemuridan,” Disciple 4/1
(September-Oktober 2007) 45.
[4]“Peperangan
Rohani dalam Proses Awal Pemuridan: Menanamkan Konsep Peperangan Rohani dalam
Meningkatkan Efektivitas Multiplikasi KTB dalam Lingkup Pelayanan Mahasiswa,” Disciple 3/3 (Juni 2006) 32.
[5]Dari
data KTB mahasiswa di tiap kota
pada Rapat Kerja BPC Perkantas Jatim tahun 2005, setiap tahun ada sekian banyak
anggota KTB yang kemudian tidak mampu melanjutkan proses multiplikasi (memimpin
KTB baru). Dalam perhitungan kasar dari
berbagai kota kecuali Surabaya, persentase tingkat keberhasilan
multiplikasi KTB mahasiswa ternyata masih berkisar antara 30-50%. Sedangkan di kota
Surabaya
sendiri, dengan melihat data KTB hingga November 2005, tingkat keberhasilan
multiplikasi baru mencapai persentase 50-70%.
Jika data tahun 2005 dibandingkan dengan data tahun sebelumnya (2004),
di tiap kota selalu ada beberapa nama anggota KTB yang “hilang” tanpa
keterangan. Hampir bisa dipastikan,
lepas dari berbagai hambatan yang ada, nama-nama yang “hilang” ini telah
berhenti dan “menyerah” di dalam proses pemuridan (ibid. 33).
[6]Deswanto,
“Mentoring” 48.
[7]Old
Tappan: Fleming H. Revell, 1979 sebagaimana yang dikutip oleh Bob Jokiman,
“Dasar-Dasar Alkitabiah Pengembangan Kepemimpinan,” Veritas 4/1 [April 2003] 97.
[8]Ibid. 98-99.
[9]Richard
J. Foster mengatakan, “The desperate need
today is not for greater number of intelligent people, or gifted people, but for
deep people” (Celeberation of Discipline [San
Francisco: Harper & Row, 1988] 1).
[10]Agung
Kurniawan, “Kepemimpian Rohani,” Disciple
4/1 (September-Oktober 2007) 22.
[11]“Taking
Up the Cross and Following Jesus: Discipleship in the Gospel of Mark,” Calvin Theological Journal 37 (2002)
230.
[12]“Following
Jesus in the Gospel of Mark-and Beyond” dalam Patterns of Discipleship in the New Testament (Grand Rapids:
Eerdmans, 1996) 9.
[13]Ibid.
[14]Menurut
Michael Eaton, “Injil Markus disusun secara kronologis, hanya bagian kecil yang
tidak kronologis. Ada sedikit ‘flashback’ dalam Markus 6:17-29 yang menengok ke belakang pada
beberapa peristiwa sebelumnya untuk menjelaskan apa yang telah dikatakan dalam
6:14-16. Penyangkalan Petrus dilaporkan
setelah 14:55-65; hal itu dilaporkan sedikit terlambat dari apa yang terjadi
berkaitan dengan 14:54. Cerita tentang
Maria dari Betania enam hari sebelum Paskah (seperti diceritakan Injil Yohanes)
hanya diberi petunjuk waktu yang tidak begitu jelas dalam Injil Markus (sementara
ia berada di Betania) dan seharusnya bisa diberi tanggal lebih tepat sebelum
peristiwa 14:1-2 (Jesus of the Gospel:
Kronologi Kisah Yesus menurut Empat Injil [Yogyakarta:
Andi, 2008] 47).
[15]The Gospel According to St. Mark (London: MacMillan and Co.,
1908) lviii.
[16]Ibid.
lviii-lix.
[17]Donald
Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru (Surabaya: Momentum, 2008)
1.44.
[18]Following the Master (Grand Rapids:
Zondervan, 1992) 195.
[19]Guthrie,
Pengantar 61-62.
[20]Hurtado
mengatakan, “Since at least the second
century of the Christian era, it has
been suggested that the author of Mark was John Mark, the relative of Barnabas (Acts 12:12, 25), and that he wrote his Gospel in Rome” (Mark [NIBC; Peabody: Hendrickson, 1983] 6); Ahli lain mengatakan, “Bukti
bahwa Markus penulis Injil ini banyak terdapat dalam tulisan-tulisan para Bapa
Gereja dari keempat abad yang pertama. Papias,
Justin Martyr, Iranaeus, Clement dari Alexandria, Tertulian, Origenes, Eusebius
dan Jerome, semuanya menunjuk kepada hal itu” (C. E. Graham Swift, “Markus:
Pengantar” dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini [Jakarta: YKBK, 1996] 3.128).
[21]Ada beberapa bukti lainnya: pertama, Papias berkata bahwa
Markus adalah penafsir Petrus dan karena secara tradisional diyakini bahwa
Petrus meninggal di Roma, maka itu berarti Markus juga sempat tinggal di sana. Kedua, prolog anti-Marcion secara lebih
spesifik menegaskan bahwa Markus menulis di Italia setelah kematian
Petrus. Ketiga, rujukan kepada
penderitaan dan penganiayaan di dalam Markus diklaim merujuk kepada penganiayaan
Nero dan karena itu dianggap membuktikan kaitan penulis dengan gereja
Roma. Keempat, kesaksian terawal bagi
pemakaian Injil datang dari 1 Clement dan Shepherd
of Hermas. Keduanya mungkin mengenai
Injil Markus dan keduanya dikaitkan dengan Roma (Guthrie, Pengantar 54-55).
[22]Hurtado
mengatakan, “Mark wrote his Gospel, basing it in on the preaching of the
Apostle Peter. This is still the view of some scholars, though it must be admitted that the
evidence is little more than early church tradition” (Mark 6); John Drane mengatakan, “Sejumlah cerita dikisahkan dengan
rincian yang begitu hidup sehingga wajar untuk menganggap Injil Markus sebagai
laporan tangan pertama dari peristiwa-peristiwa tersebut. Cerita tentang panggilan Petrus (Mrk.
1:14-20), dan penyembuhan ibu mertua Petrus (Mrk. 1:29-34) mendukung anggapan
ini (Memahami Perjanjian Baru [Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2001] 207-208).
[23]Berikut
ini adalah kutipan yang dikatakan oleh Papias: “Markus, adalah penerjemah
Petrus, . . .” (William Barclay, Pemahaman
Alkitab Setiap Hari: Injil Markus [Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983] 6).
[24]Guthrie,
Pengantar 47; Swift, Markus 128.
[25]Barclay,
Injil Markus 1-3.
[26]Ibid.
3; R. Alan Cole mengatakan, “The material
of all three Gospels is very similar in wording, often strikingly so. Wherever this wording is altered in Matthew
or Luke from the wording of Mark, there is usually an obvious reason. . . . As regard contents, over 90% of the material
in Mark appears in either Matthew or Luke: to be exact, about 90% of Mark has parallels
in Matthew, and 50% has parallels in Luke” (Mark [TNTC; Surabaya:
Momentum, 2007] 31).
[27]Cole
mengatakan, “Both Matthew and Luke follow
the general order of Mark” (Mark 31).
[28]Ibid.
[29]Barclay,
Injil Markus 7.
[30]Satu Injil Tiga Pekabar (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1982) 105.
[31]James
R. Edwards, The Gospel According to Mark (Grand Rapids: Eerdmans,
2002) 20.
[32]R.
T. France, The Gospel of Mark (Grand Rapids: Eerdmans,
2002) 13-14.
[33]Ibid.;
Robert A. Guelich, Mark 1-8:26 (WBC; Dallas: Word Books, 1989) xxxvii.
[34]James
R. Edwards mengatakan, “Following
Caesarea Philippi the narrative is directed resolutely to Jerusalem. ‘On the way’ Jesus three times
predicts his imminent suffering, death, and resurrection (8:31; 9:31; 10:33-34). The
large crowds that attended him in Galilee fall
away, and Jesus focuses on teaching
the Twelve the meaning of discipleship” (The Gospel According to Mark 21).
Bagian ini akan dibahas lebih lanjut dalam sub bab konsep pemuridan
menurut Injil Markus.
[35]Eduard
Schweizer, The Good News According to
Mark (Atlanta: John Knox, 1970) 9-10.
[36]Bagi
pembaca Injil Markus nyatalah hubungan yang terjalin antara Yesus dengan
murid-murid-Nya yang selalu mendampingi-Nya.
Namun perkembangan hubungan itu tergantung pula dari hubungan Yesus
dengan khalayak ramai dan dari hubungan Yesus dengan musuh-musuh-Nya. Dengan demikian dalam Injil Markus tampaklah
adanya semacam segitiga hubungan timbal balik: khalayak ramai, para musuh dan
para murid (J. Delorme, Injil Markus [Yogyakarta:
Kanisius, 1978] 40).
[37]Keenam tahap tersebut tidak sama coraknya: keempat
tahap yang pertama mempersiapkan kedua tahap yang terakhir yang berlangsung di kota Yerusalem. Lagipula tahap-tahap itu berpasang-pasangan
(ibid. 40-41).
[38]Ibid.
[39] The whole of Mark’s Gospel undoubtedly intended
by its author to be instructive for its reader as they lived out their lives as
Christians–both its narrative portions and those materials more directly
presented as teaching (Hurtado, Following
Jesus in the Gospel of Mark 9).
[40]The primary difference is that the rabbi
does not call his disciples–he is sought by them (Schweizer, The Good News According to Mark 49).
[41]Ernest
Best, Mark: The Gospel As Story (Edinburgh:
T. & T. Clark, 1983) 83.
[42]Satu Injil 157.
[43]Ibid.
[44]Ibid.
158.
[45]Ibid.
[46]Menurut
Weder, “The call of Jesus demanded a
total break with the past. The disciple
immediately left their families and their vocations, and followed Jesus”
(“Disciple, Discipleship” dalam The
Anchor Bible Dictionary [New York:
Double Day, 1992] 2.208).
[47]Schweizer
mengatakan, “This concept of discipleship
is Jesus’ own creation. The Greeks and
the later rabbis spoke of “disciples of God”; however, they meant by this
“becoming like him” in an ethical sense”
(The Good News According to Mark 49).
[48]Barclay
mengatakan, “Yesus memanggil mereka bukan untuk bersenang-senang, melainkan
untuk melayani. Ada yang pernah berkata bahwa yang diperlukan
oleh manusia adalah “sesuatu yang bisa menginvestasikan kehidupannya.” Jadi, Yesus memanggil pengikut-Nya bukan
supaya mereka hidup senang dan nyaman atau bermalas-malasan tanpa
kegiatan. Ia memanggil mereka untuk
melakukan tugas yang menuntut mereka berkurban dan pada akhirnya mati bagi-Nya
dan bagi sesama mereka. Ia memanggil
mereka pada suatu tugas yang dengannya mereka dapat memenangkan sesuatu bagi
diri mereka sendiri hanya dengan menyerahkan diri mereka kepada-Nya dan kepada
sesamanya (Injil Markus 44-45).
[49]Menurut
Garland, “The disciples are called to be
agents who will bring a compelling message to others that will change their
lives beyond recognition. Jesus’ call has the same effect on them. Jesus call of disciple is therefore
dramatically authoritative and matches the biblical pattern of God’s calling of
humans: a command with a promise, which is followed by obedience. The call so overpowers these disciples that
will never be the same again” (Mark [NIVAC; Grand Rapids: Zondervan,
1996] 69-70).
[50]Disciple and Discipleship in the Gospel of
Mark, with Particular Reference to Mark’s Contrast Between Male and Female
Disciples (Pretoria: University of South Africa,
2007) 13; Barclay memberikan penjelasan tentang kesembuhan Bartimeus demikian,
“Bartimeus memang adalah seorang pengemis yang ada di pinggir jalan. Namun, sesungguhnya ia adalah orang yang tahu
berterima kasih. Setelah ia dapat
melihat, ia mengikut Yesus. Ia tidak
pergi dengan begitu saja menurut kemauannya sendiri ketika kebutuhannya sudah
dipenuhi. Ia mulai dengan kebutuhan dan
melanjutkan dengan berterima kasih, serta mengakhirinya dengan kesetiaan–ini
adalah ringkasan yang sempurna mengenai tahapan-tahapan menjadi murid Yesus (PASH: Injil Markus 435).
[51]France,
The Gospel of Mark 320; Simon J.
Kistemaker, The Miracles (Grand Rapids: BakerBook,
2006) 177, 180-181; Delorme mengatakan, “Dalam kitab Yesaya, pembukaan mata dan
telinga dipahami secara kiasan, sebagai lambang pembaharuan yang akan terjadi
di zaman Mesias. Markus akhirnya
menemukan kembali makna simbolis teks Yesaya itu dan memperkenalkan
mukjizat-mukjizat Yesus sebagai tanda-tanda penyembuhan batin manusia” (Injil Markus 120-121); James A. Brooks
mengatakan, “. . . a major purpose of the
division is to show how Jesus gave not only physical sight but spiritual
insight to his disciple. In this
division the disciple began to realize who Jesus was and what was involved in
following him as disciple” (An
Exegetical and Theological Exposition of Holy Scripture: Mark [NAC;
Nashville: Broadman, 1991] 172).
[52]Best
mengatakan, “Earlier we saw how the
blindness of Peter and the disciples was symbolized in the blindness of the man
who was healed in two stages. Peter
understands that Jesus is important, but does not understand the need for his
death. Disciples are in danger of following Jesus but not perceiving that in
following him they also must go the way of cross” (Mark The Gospel As Story 85).
[53]Drewes,
Satu Injil 113-114.
[54]Barclay,
PASH:Injil Markus 435.
[55]A Repeated Pattern: Jesus predicts
suffering; the disciple fail to understand; Jesus provides further teaching:
Passion Prediction
|
Misunderstanding
|
Corrective Teaching
|
8:31
|
8:32-33
|
8:34-9:1
|
9:31
|
9:33-34
|
9:35-37
|
10:32-34
|
10:35-41
|
10:42-45
|
(Richard B. Hays, “The Way
of the Cross: Discipleship and Suffering in Mark’s Gospel,” http://www.
westmont.edu/~fisk/Lecture%20Outlines/MarkDiscipleship.htm).
[56]The Jesus’ new ethics of discipleship are
folows: 8:34–‘deny themselves and take up their cross’: indicating the
importance of self-denial and sacrifice in one’s pilgrimage. 9:35–‘last of all
and servant of all’: pointing to the significance of humility, service and
servanthood. 10:31–‘(the) first will be last, and the last will be first’:
indicating a sense of divine justice, and a sign of true greatness (cf. 9:35b).
10:45–‘not to be served, but to serve’: indicating again the need for service,
and seeking the good of anothers with sacrificial love. 13:33, 35, 37–‘keep
alert/keep awake’: showing the immense need for perpetual watchfulness and
vigilance in one’s pilgrimage, at all times (Cox, Disciple 25-26).
[57]Best,
Mark 86 (Poin keempat ditambahkan
oleh penulis).
[58]Argumentasi
Cox, “To gain proper sense of the Markan
deployment of these verbs in 8:34 for ‘deny’(aparnesastho) and ‘take up’
(arato) are both in the imperative mood of the punctiliar aorist tense
indicating a single once-for-all action, and they are then succeeded by the
durative present tense for ‘follow me’ (akolutheito), indicating an on-going
continuous process. What this means is
that the aorist tense views the action of denying self and taking up the cross
of ‘however long duration, as telescoped to a point’. So a punctiliar statement may be made as we
have it here, but it is ‘all-embracing, summarizing numerous instances’” (Disciple
16).
[59]PASH: Injil Markus 334-335.
[60]Kerajaan yang Terselubung (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1985) 162.
[61]Disciple 17.
[62]“Discipleship,”
http://www.stjohnadulted.org/mark3.htm.
[63]Ibid.
[64]Bolkestein,
Kerajaan 182.
[65]Ibid.
182-183.
[66]Disciple 18.
[67]Following Jesus 11.
[68]Cox
mengatakan, “It is important to
understand that in the context of the 1st century in Roman
Palestine, ‘Judaism had little understanding of the individuality of the child’
and that children ranked among the most vulnerable and neediest in society and
least worthy of any honour and respect.
The occupied a very underpriviledged place in the societal and cultural
scheme of things (Disciple 18).
[69]Ibid.
[70]Ibid.
18-19.
[71]Ibid.
21.
[72]Following Jesus 11-12.
[73]Best,
Mark 83-92.
[74]Hal
ini dikuatkan dengan pandangan Wilkins: “Discipleship
teaching direct them to think God’s way, the way of suffering and the Cross through
servanthood” (Following The Master
200); Guthrie mengatakan, “Injil Markus dilihat sebagai “panggilan serius untuk
hidup pemuridan demi Yesus Kristus, yang menuntut penerimaan salib-Nya dalam
penganiayaan, dan mengikut Dia dalam kegelapan penderitaan yang tidak
terjelaskan dan tiada henti” (Pengantar 51).
[75]Pengajaran
tersebut akan dibahas dengan detil pada Bab III.
[76]Hurtado,
Following Jesus 17; Drewes mengatakan, “Ketika kita membaca
tentang perjamuan Paskah dalam pasal 14, jelaslah bahwa istilah
‘murid-murid-Nya’ dan ‘kedua belas’ dapat dipakai dalam arti yang sama. Dalam 14:14 Yesus mencari ‘ruangan yang
disediakan bagi-Ku untuk makan Paskah bersama-sama dengan murid-murid-Ku’; dan
dalam 14:17 kita baca: ‘Setelah malam, datanglah Yesus bersama kedua belas’” (Satu Injil 160).
[77]Menurut
Hurtado, “Ahli-ahli lain yang sebagian besar terdiri dari mereka yang
berpandangan bahwa Injil Markus lebih bertujuan sebagai didaktik daripada sebagai
polemik dan melihat kedua belas murid yang berfungsi untuk mengajarkan kepada
pembaca pelajaran tentang pemuridan (Following Jesus 18).
[78]Wilkins,
Following The Master 200.
[79]Ibid.
[80]Perkataan
yang dimaksud adalah perkataan Tuhan Yesus yang langsung ditujukan kepada
murid-murid-Nya menurut Alkitab versi Terjemahan Baru Indonesia.
[81]Dalam 25 perikop ini, Tuhan Yesus menggunakan modalitas imperative dalam 49 ayat—sebanyak 66
kali.
[82]Injil Markus 41.
[83]Delorme
memberi argumentasi, “Segera sehabis cerita ini dikatakan bahwa mereka tiba di
Kapernaum (1:21). Jadi Yesus sudah
dikelilingi oleh murid-murid-Nya.
Demikianlah Markus menggambarkan Yesus dalam Injilnya” (Injil Markus 44-45).
[84]Injil Markus 43-44.
[85]Bolkestein,
Kerajaan 30.
[86]France,
The Gospel 96.
[87]Barclay,
Injil Markus 44.
[88]Kerajaan
30; James R. Edwards mengatakan, “The call to the four fishermen is rooted not in the Torah, nor even in
the name of God, but in Jesus’ Messianic authority alone. . . . For Mark, the act of following Jesus entails a
risk of faith, and faith must be an act before it is a content of belief. Only as Jesus is followed can he be known”
(The Gospel 50).
[89]Dalam PL dikenal
panggilan untuk mengikut Allah (Ul. 10:12; 13:5 dst.) (Bolkestein, Kerajaan 30).
[90]Hal
ini dikuatkan pula oleh pendapat Jakob Van Bruggen, “. . . panggilan untuk
mengikut Yesus dalam ayat 17 ini harus dikaitkan dengan pemberitaan-Nya
mengenai Injil Kerajaan yang sudah dekat” (Markus:
Injil Menurut Petrus [Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998] 68).
[91]The Gospel of Mark (Grand Rapids: Baker
Book House, 1966) 37; Edwards mengatakan, “This
service is costly, requiring a separation from former allegiances in order to
be free for the new allegiance to Jesus” (The Gospel According to Mark 50-51).
[92]Kenneth
S. Wuest, Mark in the Greek New Testament (Wuest’s Word Studies; Grand Rapids:
Eerdmans, 1959) 29; Edwards mengatakan, “The
process of becoming disciple of Jesus is a slow and painful one for the Twelve;
it is not easy to understand (8:14-21), to watch (14:50), to suffer persecution
for the cause of Jesus (13:13). The life to which Jesus calls disciples
requires a rather than self (8:33). Only
thus can disciples participate in and serve the kingdom. As the Servant whose goal is not to be served
but to serve and give his life as a ransom for many (10:45), Jesus is the model
of those who would follow him” (The Gospel According to Mark 50).
[93]Barclay,
Injil Markus 82.
[94]Bolkestein,
Kerajaan 51-52.
[95]The term is reserved for being a disciple of
Christ (except when the sense is very general) and is confined to the four
Gospels. External following is still
involved (Mk. 10:28) but with a total commitment and in an exclusive relation
to one who is recognized as not just a teacher but the Messiah. This discipleship brings participation in salvation
(Mk. 10:17) but also in suffering (Mk. 8:34) (G. Kittel, “avkolouqe,w”
dalam TDNT [Abridged ed.;
Grand Rapids: Eerdmans, 1985] 33).
[96]Wuest,
Mark 52.
[97]Bolkestein,
Kerajaan 52.
[98]Delorme,
Injil Markus 47-48.
[99]The “if” here is not the conditional particle
ean which introduce a future, unfulfilled, hypothetical condition, but ei,
the particle of a fulfilled
condition. The point is, they had ears
with which to hear (Wuest, Mark 90);
ei, means
“if.”
It is used chiefly in statements
or clauses referring to the past, and in some that refer to the present. It is
used when the thought in the speaker’s mind is definite, or the statement clearly either true or
untrue. Its force can often best be expressed in English by the use of ‘in fact’
or ‘really’ (John H. Dobson, Learn
New Testament Greek [Grand Rapids: Baker Book, 1989] 219).
[100]It implies, as Mark 4:10-12 will explicitly
state, that not everyone has ears to hear, so that not all who have listened to
the parable will benefit from it (France, The Gospel of Mark 193); “avkou,w”
in the absolute can express the true
hearing of appropriation (Mk.
4:9). The content of hearing corresponds to that of what is heard. It is reception of grace and the calls to
repentance in response to salvation and its ethical demand. Thus faith and obedience are the marks of
real hearing: “the obedience of faith”
(G. Kittel, “avkou,w” dalam TDNT 35).
[101]France,
The Gospel 210.
[102]Ibid.
[103]The Good 101; Wuest memberi penjelasan
tentang janji ini, “The prefixed preposition proj in prosteqh,setai means toward. The idea is that more will be added to that
which is your due. There shall be given
over and above, not to those who hear, but to those who think on what they
hear: . . . the more a man thinks, the more he will understand, and the less a
man thinks, the less his power of understanding will become” (Mark
91).
[104]Pembagian perikop berdasarkan Alkitab versi Terjemahan Baru
Indonesia. Dari penelitian penulis, Markus menggunakan
modalitas imperative di dalam 15 ayat
pada bagian pasal 6:6b-10:52.
[105]Injil Markus 83.
[106]Berasal
dari kata yang berarti “to stay in a
place” (F. Hauck, “me,nw” dalam TDNT 581).
[107]Wuest,
Mark 124.
[108]The Good 130-131.
[109]The Gospel 250.
[110]Ibid.
[111]The Good 130-131.
[112]Delorme,
Injil Markus 82.
[113]Ibid.
87.
[114]PASH: Injil Markus 255.
[115]Kepada
para murid tidak disampaikan secara eksplisit dan jelas apa arti
tindakan-tindakan itu dan bahwa mereka diharapkan untuk mengulangi melakukan
tindakan-tindakan yang penuh kuasa yang Yesus telah lakukan (David Rhoads dan
Donald Michie, Injil Markus Sebagai
Cerita [Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2004] 112).
[116] `Ora,w: “to
see, to become acquainted with by experience.” This word gives prominence to
discerning mind (Wuest, Mark 161);
W. Michaelis, “o`raw” dalam TDNT 706.
[117]Perintah untuk melakukan suatu tindakan yang menjadi
kebiasaan tersebut adalah: “They were to
put the teachings of the Pharisees and the Herodians to the acid test of
experience, not in the actual doing of the things taught, but with the mind’s
eye following out the ultimate conclusion of the act of practicing what they
taught” (Wuest, Mark 161-162).
[118]Blepw: ‘to
perceive by the use of the eyes.’ It is used in metaphorical sense, ‘to see
with the mind’s eye, to discern mentally, understand, to turn the thoughts or
direct the mind to a thing, to consider, to take heed’ (ibid. 162).
[119]Barclay,
Injil Markus 308; “ble,pw” also
means “to see” with a stronger emphasis on the function of
the eye, so that it serves as the opposite of “to be blind.” It can also be used for intellectual or
spiritual perception, and in the absolute for insight (Michaelis, “o`raw” dalam TDNT Abridge: 707).
[120]Jesus saw the theology of some of his Jewish
contemporaries as potentially destructive to his disciple. So, for example, he warned his followers in
various place to beware the leaven of the Pharisees, Sadducees or Herod (Mt.
16:6, 11; Mk. 8:15). Though the disciple
were confused, Matthew makes it clear that Jesus was speaking of the teaching
of the Pharisees and Sadducees (Mt. 16:12), also identified as hyprocrisy (Lk.
12:1) (t.n., “Leaven, Leavening” dalam Dictionary
of Biblical Imagery [Eds. Leland Ryken, et al.; Downers
Grove: InterVarsity, 1998] 498).
[121]Cox,
Disciple 16.
[122]Hendaknya
diperhatikan bahwa tuntutan ini ditujukan Yesus kepada khalayak ramai maupun kepada
para murid. Ini tidak berarti bahwa ada
dua golongan orang Kristen, yaitu murid-murid yang dipanggil untuk berkurban
lebih banyak serta khalayak ramai. Ini
hanya berarti bahwa syarat-syarat itu harus dikenal semua orang. Mereka harus tahu bahwa para calon murid
harus mengikut Yesus sambil memikul salib mereka (Delorme, Injil Markus 129).
[123]Zerwick
mengatakan, “an imperative link by kai to
a previous imperative may contain the consequence of the preceeding actions” (A
Grammatical Analysis of the Greek New Testament [Rome: Biblical Institute,
1974) 134.
[124]Mark 170-171.
[125]Injil Markus 113.
[126]Mh, plus
the present imperative. Because it is a present imperative, the
speaker is prohibiting an undefined action (William D. Mounce, Basics of Biblical Greek Grammar [Grand Rapids: Zondervan,
2003] 315); The imperative is commonly
used to forbid an action. It is simply a negative command. Mh, (or cognate) is used before the imperative
to turn the command into a prohibition.
Almost all instances in the NT
involve the present tense (Daniel B. Wallace, Greek Grammar: Beyond the Basics [Grand Rapids: Zondervan, 1996]
487).
[127]Dengan
perkataan ini Yesus mengecam rasul Yohanes yang berjiwa terlampau fanatik. Ucapan ini mengundang pembaca untuk percaya
akan kegiatan Allah seperti dimaksudkan Gamaliel sewaktu ia berkata: “Kalau
(karya kristen ini) berasal dari Allah, kamu tidak akan dapat melenyapkan
orang-orang ini” (Kis. 5:39). Jadi ada
kemungkinan untuk bertindak dalam nama Yesus, juga di luar kelompok murid-murid
Kristus. Tetapi untuk menilai tindakan
tersebut, harus diperhatikan ucapan mengenai Yesus, iman akan Kristus (Delorme,
Injil Markus 146).
[128]Disciple 18.
[129]Markus
9:35 “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang
terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.”
[130]Injil Markus 147.
[131]Cox,
Disciple 18.
[132]Ibid.
[133]Wuest,
Mark 200.
[134]Injil Markus 150.
[135]Para
nabi Israel
selalu memiliki metode yang unik untuk menyampaikan pesan mereka. Bila perkataan gagal mendatangkan perubahan,
mereka melakukan sesuatu yang dramatik (1Raj. 11:30-32) (Barclay, Injil Markus 438).
[136]That Jesus rides not a war horse but the
donkey of Zechariah 9:9 makes him “meek.”
His chosen beast does not show him to be a poor or common man but a
king, albeit one who does not conquer.
Clearly he is innocent of the charge of rebelling against Caesar. A man on a donkey is not looking for war
(t.n., “Donkey, Ass” dalam Dictionary of
Biblical Imagery 215).
[137]Barclay,
PASH: Injil Markus 438-441.
[138]This story contrasts the greed of the teachers
of the law with the liberality of the widow (Walter W. Wessel, “Mark” dalam
The Expositors Bible Commentary: New
Testament Abridged [Eds. Kenneth L. Barker & John R. Kohlenberger III;
Grand Rapids: Zondervan, 1994] 185); The
true godliness of a widow now contrasts with the pretended righteousness of the
scribes “who devour widows’ house” (Robert H. Gundry, Mark: A Commentary on His Apology for the Cross [Grand Rapids:
Eerdmans, 1993] 728); Ben Witherington III, The
Gospel of Mark: A Socio-Rhetorical Commentary [Grand Rapids: Eerdmans,
2001] 335-336).
[139]Bolkestein,
Kerajaan 252.
[140]Ble,pete in
13:5, 23 was a call to the cooling of
expectation (France, The Gospel 544).
[141]“ vea,n
tij u`mi/n ei;ph|( ;Ide w-de o` Cristo,j( ;Ide evkei/( mh. pisteu,ete” (Jika orang berkata kepada kamu: Lihat, Mesias ada di sini,
atau: Lihat, Mesias ada di sana, Jangan
kamu percaya!).
[142]Ble,pete in
13:9 a call to prepare for hard times ahead, here it has a more positive note (France,
The Gospel 544).
[143]Delorme,
Injil Markus 181.
[144]Linked with avgrupneite( it is a
summons to vigilance, literally staying awake, a metaphor which is continued in
the double exhortation grhgorei/te in vv. 35 and 37; the converse is the danger of being caught asleep (13:36).
The metaphor is vivid, but apparently impractical. No one can stay awake all the time, not even
a porter (13:34), and the awareness that the parousia may happen at any time
does not relieve us of the ordinary business of living (France, The Gospel 544).
[145]Delorme,
Injil Markus 189-190.
[146]Ibid.
182.
[147]Without the resurrection of Jesus there
would be no preaching office. It exist
only because the risen Lord has charged His disciples to declare the message (Gerhard
Friedrich, “khrussw” dalam TDNT
[Ed. Gerhard Kittel; Grand Rapids: Eerdmans, 1965] 3.713).
[148]The Greek word for ‘preach’ is in the aorist
tense, implying proclamation of the gospel for an appointed time rather than
indefinitely. Of significance in the
saying is that the gospel is of universal import: the disciple are sent ‘into all
the world,’ and the gospel is ordained for ‘all creation’ (Edwards, Mark 506).
[149]The ‘all’ (a]panta) is emphatic. The gospel is not intended for Jews apart
from Gentiles, or Gentiles apart from Jews, but for all creation (ibid.); All people without distinction are to hear
the message (Gerhard Kittel, “khrussw” 713).
[150]Bangsa,
suku dan kaum dan bahasa akan berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak
Domba. Ini merupakan penglihatan yang
dialami rasul Yohanes di pulau Patmos (Why.
7:9). Karena itu, murid-murid harus
pergi menjangkau mereka yang akan berdiri di hadapan Allah kelak.
[151]The point of 16:16 is that the apostolic message brings either life or death for men; according as they respond to it with faith
or unbelief they will inherit salvation or be condemned in the final judgement. The
aorist is used (both pisteu,saj and baptisqei,j), because the thought is of the decision which
has to be made in response to the preaching (khru,xate). The
order, pisteu,saj before baptisqei,j answering to avpisth,saj, rule out a magical, mechanical conception of baptism (C. E. B.
Cranfield, The Gospel According to St.
Mark [The Cambridge Greek Testament Commentary; Cambridge: Cambridge
University, 1966] 473-474).
[152]Sebagaimana
yang diungkapkan Rasul Paulus dalam Efesus 6:12.
[153]Jacob
Van Bruggen mengatakan, “Pengutusan pertama kedua belas murid diiringi tanda
pengusiran roh jahat dan penyembuhan penyakit (6:12-13). Tanda-tanda itu juga yang akan mengiringi
perjalanan Injil di dunia ini. Selain
itu, akan ada tanda baru (berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru, memegang
ular, tidak mendapat celaka walau minum minuman beracun). Semua tanda itu memperlihatkan kejayaan
Injil: Roh jahat harus lari, batas-batas bahasa tidak berlaku lagi. Alam tidak lagi berbahaya (patukan ular tidak
mencelakakan). Permusuhan menjadi tidak
berdaya (minuman beracun tidak membawa mati).
Kehidupan sembuh: orang sakit pulih.
Injil itu sungguh-sungguh kabar baik yang datangnya dari Allah sendiri
(1:1) (Markus: Injil Menurut Petrus 631).
[154]Barclay,
Injil Markus 620.
[155]Menurut LeRoy Eims, “Ada tiga hal yang harus dilakukan bagi orang
yang ingin menolong orang lain menjadi kuat imannya, setia, dan berhasil di
dalam pelayanan Yesus Kristus. Pertama, Ia
harus mempunyai tujuan jelas tentang apa
yang ia kehendaki agar mereka mengetahui dan mengerti mengenai Allah dan
kebenaran-Nya. Ia harus tahu unsur-unsur
dasar dalam kehidupan seorang murid Kristus.
Kedua, Ia harus memiliki suatu gambar yang jelas
tentang menjadi seperti apa seharusnya murid-murid nantinya. Ia harus mengetahui unsur dasar watak Kristen
yang harus mereka miliki. Ketiga, Ia
harus memiliki visi yang baik akan apa yang harus mereka pelajari supaya
tercapai tujuannya dan rencana untuk menolong mereka menjalankannya” (Pemuridan Seni yang Hilang [Bandung: Lembaga Literatur
Baptis, 2002] 33-34).
[156]Yet Jesus saw in these simple men the
potential of leadership for the Kingdom.
They were indeed “unlearned and ignorant” according to the world’s
standard (Acts 4:13), but they were teachable (Billie Hanks & William
A. Shell, Discipleship [Grand Rapids:
Zondervan, 1981] 43).
[157]LeRoy
Eims, Pemuridan 28; Sebaiknya satu
kelompok terdiri dari 3-5 orang saja.
[158]Robert E. Coleman menjelaskan alasan mengapa perlu
berkonsentrasi terhadap beberapa orang saja: “In noting this fact, however, one does not want to miss the practical
truth of how Jesus did it. Here is the
wisdom of His method, and in observing it, we return again to the fundamental
principle of concentration upon those He intended to use. One cannot transform a world except as
individuals in the world are transformed, and individuals cannot be changed
except as they are molded in the hands
of the Master” (“Selection of Disciples” dalam Discipleship [Eds. Bill Hanks & William A. Shell; Grand Rapids:
Zondervan, 1981] 43).
[159]Pada
masa kini betapa sulitnya seorang pemimpin bertemu dengan orang-orang yang
dimuridkan. Karena itu seorang pemimpin
harus mengatur waktu dengan baik agar dapat berinteraksi dengan mereka di luar
jam pertemuan yang direncanakan juga.
[160]Biblical Foundation for Small Group Ministry
(Downers Grove: InterVarsity, 1994) 218.
[161]Ibid.
218-219.
[162]“Some important skill that are seemingly lost
within our culture, such as how to listen, how to display accurate empathy, how
to resolve conflicts, and how to complement others in a meaningful fashion”
(Michael T. Dibbert & Frank B. Wichern, Growth
Groups: A Key to Christian Fellowship and Spiritual Maturity in Church [Grand
Rapids: Zondervan, 1985] 114).
[163]He leads by providing guidance and direction
for group members. His means for doing
so involves very little verbal instruction but a great deal of modeling and
sharing of himself. He serves by helping
others mature, by being ardently devoted to their psychological, spiritual, and
intellectual growth. Servant leader
facilitate growth rather than try to control it; they are shepherds rather than
directors. Jesus is model of the servant
leader (Mrk. 10:45) (ibid. 54).
[164]They don’t use their position to solidify
their status and authority. They try,
instead, to help others become more self reliant and independent—they
discourage dependency! One of their primary objectives is to bring the gifts of
the group to play in the building up of each of the members (ibid.).
[165]They help others learn how to listen,
sympathize, and solve problems. They
encourage group members to take more initiative and assume more responsibility
for ministering to one another. And by
so doing, they help group members realize that they have within themselves vast
resources for creatively dealing with life (ibid.).
[166]They realize that growth often involves a
series of complex and subtle changes that occur over time. And they are interested more in creating a
climate for learning and helping others learn how to learn than in directly
teaching right answers and distributing information (ibid.).
[167]The changes that come about in the lives of
the group members. The changes that come
about in the believer’s life are due to the work of the Holy Spirit. A leader can facilitate because the Holy
Spirit is active in the lives of the group members. The group leaders who structures every
meeting from beginning to end and the leader who plans nothing do not expect
the Holy Spirit to bring about the maturity in Christ that they are
seeking. The leader both plans and
leaves openings because he or she knows that the Spirit is at work (ibid. 54-55).
[168]Bangsa,
suku dan kaum dan bahasa akan berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak
Domba. Ini merupakan penglihatan yang
dialami Rasul Yohanes di pulau Patmos (Why.
7:9). Karena itu, murid-murid harus
pergi menjangkau mereka yang akan berdiri di hadapan Allah kelak.
[169]Icenogle,
Biblical 336.
[170]Bdk.
Paulus, ‘Segala makhluk’ dapat dimengerti dari Rasul Paulus yang menulis, “. .
. di seluruh alam di bawah langit . . .” (Kol. 1:23); “. . . kepada orang
Yunani maupun kepada orang bukan Yunani, baik kepada orang terpelajar, maupun
kepada orang yang tidak terpelajar” (Rm. 1:14-15).
[171]Sebagaimana
yang diungkap Rasul Paulus dalam Efesus 6:12.
[172]Jacob
Van Bruggen mengatakan, “Pengutusan pertama kedua belas murid diiringi tanda
pengusiran roh jahat dan penyembuhan penyakit (6:12-13). Tanda-tanda itu juga yang akan mengiringi
perjalanan Injil di dunia ini. Selain
itu, akan ada tanda baru (berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru, memegang
ular, tidak mendapat celaka walau minum minuman beracun). Semua tanda itu memperlihatkan kejayaan
Injil: Roh jahat harus lari, batas-batas bahasa tidak berlaku lagi. Alam tidak lagi berbahaya (patukan ular tidak
mencelakakan). Permusuhan menjadi tidak
berdaya (minuman beracun tidak membawa mati).
Kehidupan sembuh: orang sakit pulih.
Injil itu sungguh-sungguh kabar baik yang datangnya dari Allah sendiri”
(1:1) (Markus: Injil Menurut Petrus 631).
[173]Barclay,
PASH: Injil Markus 620.
[174]Dorothy
M. Stewart, The Westminster
Collection of Christian Prayer (Louisville: Westminster John Knox,
2002) 69.
[175]Pemuridan
adalah sebuah perjalanan, merupakan istilah yang menjadi khas di dalam narasi
Markus (Rikki E Watts, Isaiah’s New
Exodus in Mark [Grand Rapids: Baker, 1997] 124-125).
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai dengan topik yang dibahas..